Share

Pawang Buaya Baperan
Pawang Buaya Baperan
Penulis: BintangAeri

Bab 1. Genit vs Baperan

“Dasar Genit!”

Naomy protes pada pria yang baru saja mencolek lengan kanannya. Gurat wajah wanita yang masih berusia dua puluh tahun itu begitu kentara menyiratkan amarah. Bahkan, dia spontan mengepalkan kedua tangan.

“Siapa yang genit?” tanya pria brewokan yang di mata Naomy tampak seperti om-om kurang kerjaan.

“Memangnya siapa yang sedang berdiri di hadapanku?”

“Aku,” sahut sang pria sembari menampilkan mimik wajah tenang seolah tidak peka dengan teguran Naomy.

Sejenak, Naomy memerhatikan penampilkan sang pria. Tubuhnya tidak terlalu berisi, tapi dia berpostur lebih tinggi dibanding Naomy. Bagi Naomy yang memang berkepribadian rapi dan bersih, bagian brewok dan kumis yang tidak terawat pada wajah sang pria sungguh tidak sedap dipandang mata. Jemari tangan Naomy terasa gatal, rasanya tak sabar ingin segera merapikan bagian jambang.

“Kenapa kau berkata seperti itu? Memangnya apa yang telah aku perbuat?” tanya sang pria dengan mimik wajah yang masih tetap sama.

“Kau mencolek lenganku!” tegas Naomy.

“Maaf, Nona. Apa mencolek lengan seseorang termasuk dalam kategori genit?”

“Iya. Apa lagi kau seorang pria.”

“Memangnya kenapa kalau aku adalah pria?”

“Apa lagi tujuan seorang pria mencolek lengan wanita kalau bukan untuk menggoda?”

Naomy menangkap perubahan mimik wajah pada pria yang masih belum dia ketahui namanya. Pria yang saat ini mengenakan kaos putih, celana jeans selutut, dan bersandal jepit itu mulai menunjukkan pandangan mata tegas.

“Apa aku tampak sedang menggodamu?” tanya sang pria sembari menatap ke dalam bola mata Naomy yang hitam kecoklatan.

“Iya. Kau terlihat seperti itu, Wahai Tuan Genit.”

Label genit terus-terusan diberikan. Naomy sama sekali tidak gentar, lantas terus memertahankan sikap yang menurut dia benar.

“Kau telah salah paham, Nona Baperan.”

“Apa kau bilang? Nona Baperan? Aku tidak terima kau sebut seperti itu!” tegas Naomy sembari mempererat kepalan tangan. Seolah akan ada sebuah tinju yang siap dilayangkan.

“Kalau kau tidak terima dengan kata-kataku, lebih baik kau terima uangku.”

Pandangan mata Naomy sontak melebar. Dia terkejut sekaligus terheran dengan kalimat sang pria yang begitu dadakan.

Gerak-gerik sang pria terus diamati oleh Naomy, hingga akhirnya terlihatlah sebuah dompet super tipis yang baru saja dikeluarkan dari saku sebelah kiri. Dompet super tipis itu dikira tidak memiliki isi. Hingga ketika dompet terbuka, terlihatlah beberapa kartu ATM dan kartu identitas diri milik sang pria.

“Berapa tagihanmu?”

“Eh? Tagihan apa yang kau maksudkan?” tanya Naomy yang kini semakin terheran lantaran kurang memahami arah pembicaraan.

“Tagihan yang membuatmu berdiri lama di depan kasir, sampai membuat antrian sepanjang ini. Lihat!”

Posisi Naomy memang berada di depan meja kasir. Dia tengah berada di sebuah rumah makan, dan kini harus membayar tagihan makanan yang telah dia pesan. Dia juga sempat berdebat kecil dengan sang penjaga kasir, sebelum akhirnya sebuah colekan di lengan kanan membuat dia harus berurusan dengan pria brewokan.

“Panjang sekali,” ucap Naomy lirih sembari melihat antrian orang-orang yang siap membayar tagihan makanan.

Seketika rasa malu pun meraja. Rambut panjang lurus Naomy yang sebelumnya tergerai bebas, kini diambil bagian ujungnya dan spontan digunakan untuk menutupi wajah. Benar-benar sikap kikuk yang teramat nyata. Efek samping dari rasa malu yang berujung salah tingkah.

“Jangan tutupi wajahmu! Sebutkan saja nominal tagihanmu dan terima uangku!”

Penegasan sang pria membuat Naomy tidak lagi menutupi wajah. Perempuan muda itu cengar-cengir, lantas mengatupkan kedua tangan di depan dada.

“Em … maaf. Aku sungguh tidak ada niat untuk membuat antrian kasir jadi sepanjang ini.”

“Jadi, berapa semua tagihan menu yang kau pesan?”

“Aku baru saja salah transfer uang dan dompetku hilang,” ungkap Naomy.

“Nona, aku bertanya nominal tagihanmu, bukan kisah hidupmu.”

Niat hati ingin sedikit mencurahkan keresahan hati atas kemalangan yang baru saja Naomy alami. Sayang sekali, yang dirasakan justru rasa malu yang membuat diri tak sanggup menatap ke arah pelanggan-pelanggan rumah makan yang masih mengantri.

“Cepat katakan saja, Nona, sebelum mereka menegurmu juga!”

“Em … itu … tujuh ratus sembilan puluh tiga ribu.”

“Baik. Aku akan membayarnya.”

“Eh? Jangan!” cegah Naomy sampai spontan memegangi lengan sang pria, tapi lekas dilepas lagi.

“Oke. Kalau begitu silakan kau yang bayar agar antriannya tidak lagi sepanjang ini.”

“Tapi … aku tidak ada uang.”

Mimik wajah sang pria kali ini benar-benar berubah, dan begitu kentara perubahannya. Perasaan gemas tengah bercampur dengan perasaan kesal. Akan tetapi, tak lagi demikian begitu sang pria menarik nafas dalam.

“Nona, biarkan aku yang membayar tagihanmu.”

“Tapi, aku tidak enak hat. Sungguh,” ungkap Naomy yang masih bertahan dengan alasan tak enak hati.

“Kalau kau merasa berhutang budi, maka balaslah setelah ini. Permisi! Minggir dulu sebentar!

Tidak ada basa-basi lagi. Pria brewokan yang sempat dipandang sebelah mata oleh Naomy, kini menjelma pahlawan. Tagihan makanan Naomy langsung dibayar.

“Selesai. Sekarang, ikuti aku!” pinta sang pria sembari mulai melangkah.

“Ikut ke mana?”

“Ikuti saja!”

Tidak ada pilihan lain bagi Naomy selain mengekor di belakang pahlawan brewokan berhati ibu peri. Ya, begitulah pikir Naomy hingga langkah kaki mereka terhenti di salah satu meja bernomor sembilan. Tampak sepiring spageti yang telah dimakan sebagian, juga segelas jus yang isinya masih utuh.

“Apa ini minumanmu?” tanya Naomy demi mengusir rasa penasaran.

“Iya. Kau mau pesan minum apa?”

“Eh? Tidak perlu. Aku tadi sudah memesan, dan … kau yang membayar. Hehe.”

Naomy tertawa kikuk sembari menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Demi mengatasi rasa malu, Naomy lekas berterima kasih atas kebaikan hati sang pria.

“Terima kasih sudah menolongku. Aku juga minta maaf karena telah menuduhmu genit. Maaf, ya, Om.”

“Om? Apa aku terlihat setua itu?”

“Tidak terlalu, sih. Hanya saja … terlihat lebih tua jika dibandingkan aku. Oh, ya. Salam kenal, namaku Naomy.”

Tak ada respon. Tangan Naomy dibiarkan saja, hingga akhirnya ditarik kembali dengan sikap kikuk yang semakin kentara.

“Naomy, berapa usiamu?”

“Baru dua puluh tahun, Om.”

“Jangan panggil aku Om, karena usiaku tak jauh beda denganmu.”

“Memangnya berapa?”

“Aku baru tiga puluh enam tahun.”

Dalam hati Naomy menggerutu. Sebenarnya ingin protes karena perbandingan usia mereka yang terlampau jauh. Akan tetapi, pria di hadapannya telah menjadi pahlawan. Akan sangat tidak sopan bila sang pahlawan dihujani teguran usai momen colekan lengan yang ternyata hanya salah paham.

“Sekarang, bolehkah aku tahu namamu, Tuan?” tanya Naomy yang kini mulai bisa mengatasi kekikukan yang sempat terjadi.

“Jangan panggil aku Tuan! Panggil saja langsung dengan namaku!”

“Kurasa itu akan terdengar kurang sopan.”

“Tidak masalah. Namaku Levin Mahardhi. Panggil Levin saja!”

Lantaran tidak ingin berdebat dengan sang pahlawan, Naomy akhirnya setuju dengan sebutan yang diminta.

“Baiklah, Levin. Untuk yang tujuh ratus sembilan puluh tiga ribu, aku hutang dulu, ya?

“Tidak. Kau harus membayarnya sekarang juga.”

“Eh? Loh? Kok, begitu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status