Share

2. Membuang Waktu

Bab 2

ADARA

*

Matahari senja terlihat semerah saga, masih terasa panasnya meski hari telah hampir magrib. Seorang gadis baru saja turun dari ojek yang mengantarnya ke sebuah cafe.

Adara namanya, orang-orang kerap menyapa Dara.

Gadis itu menatap bangunan yang lebih banyak didominasi oleh dinding kaca, hampir sama seperti bangunan tempat ia bekerja. Meskipun ia telah terbiasa dengan segala suasana cafe, tapi kali ini rasanya berbeda.

Dara menarik napas panjang, ia melihat penampilannya sendiri yang setidaknya masih sedikit rapi meski beberapa jam yang lalu ia berjuang dengan peluh keringat. Saat temannya datang menggantikan shift kerja, Dara langsung pamit dari cafe tempatnya bekerja dan menuju tempat tujuan selanjutnya.

“Maaf, siapa ini?” tanya Dara setelah ia memberi salam. Pagi tadi, ia mendapat sebuah panggilan dari nomor tak dikenal di ponselnya.

“Saya mamanya Rayyan, bisa bertemu sebentar?”

Dara bergeming di tempatnya berdiri. Gadis itu masih berada di dalam kamarnya, baru saja akan berangkat kerja setelah merapikan diri. Ia tak tahu kenapa wanita itu meneleponnya, tapi untuk menunjukkan rasa hormat, ia tetap memberitahu kapan bisa bertemu.

Ya, sore hari setelah pulang bekerja. Hanya waktu itu yang dimiliki oleh Dara, karena saat malam ia harus berada di rumah.

Gadis yang mengenakan pasmina cokelat susu itu masih berdiri di depan pintu cafe. Sekali lagi ia menarik napas dalam, lalu menarik pintu itu dan melangkah masuk.

Sejenak Dara mengedarkan pandangan, belum ia temukan sosok yang menunggunya di dalam sana. Pun, ini pertama kalinya Dara akan bertemu dengannya, selama ini gadis itu tak pernah mengenali wajahnya. Jadi, ia hanya sekilas melihat wajah itu dari foto profil W******p-nya.

Seorang wanita paruh baya melambai pada Dara yang berdiri di dekat pintu. Wanita yang ditaksir Dara berumur lima puluh tahun, hanya saja penampilannya sangat elegan hingga terlihat lebih muda dari usia. Dara tersenyum, lalu melangkah menuju meja yang ditempati oleh wanita itu. 

“Maaf, saya terlambat,” ucap Dara merasa bersalah karena membuat seseorang menunggu.

Wanita itu menatap tak acuh pada Dara. Tak bisa disembunyikan raut wajah tak sukanya karena telah membuang waktu berharganya.

Dara diam, ia tak akan memulai berbicara, karena ia sendiri tak tahu harus berbicara apa atas pertemuan ini. Namun, jantungnya berdebar dengan hebat menunggu apa yang ingin dikatakan oleh wanita di depannya. Debar kuat karena ketakutan yang menguasai hatinya.

Dalam diam, Dara masih mengamati wanita itu. Tatapan mengerling dan sinis, juga mata yang melihat penampilan Dara dari atas sampai bawah. Membuat Dara merasa semakin kecil dan kerdil.

“Siapa namamu, Dara ya?” tanya wanita itu memastikan.

Dara mengangguk, “ya, Adara.” Gadis itu tersenyum, tapi sayangnya senyum itu bahkan tak mendapatkan balasan.

“Kerja?” tanya wanita itu lagi.

Kembali Dara mengangguk ramah. Mengiyakan apa yang sebenarnya mungkin sudah diketahui oleh wanita itu.

“Orangtuamu?” Wanita itu menatap Dara penuh tekanan.

Pertanyaan yang kembali mengoyak sisi hati Dara. Ia bahkan bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini, ketika orang-orang bertanya tentang orangtuanya. Dan, selanjutnya bisa dipastikan mereka yang bertanya akan menginjak harga diri Dara dan keluarganya.

Meskipun pamannya sering mengatakan untuk menyembunyikan statusnya, tapi Dara lebih percaya pada kakek dan neneknya yang telah merawatnya dari kecil. Bukan hanya merawat Dara, tapi juga merawat ibunya hingga kini.

Merawat ibu yang tak pernah memberikan Dara sebuah pelukan, melainkan tatapan kosong yang melukai hati Dara.

Namun, apa pun kondisi keluarga Dara, mereka tetap keluarga. Dara tak akan membiarkan siapapun menginjak harga diri keluaganya.

Dara tersenyum sinis pada wanita di depannya, hingga membuat wanita itu menatapnya tak suka.

“Saya hanya punya ibu. Saya dibesarkan oleh kakek dan nenek, tanpa ayah.” Sengaja Dara menekankan bahwa ia tak punya ayah. Terserah orang akan menilainya seperti apa.

Dara terlahir karena sebuah musibah. Musibah yang tak bisa dielak dan diperbaiki oleh siapa pun. Permainan takdir yang bahkan ibunya sendiri tak pernah melihatnya sebagai anak yang benar. Bahkan kesalahan itu yang membuat orang-orang menghakimi ibunya sebagai perempuan gi la. Ibu Dara masih delapan belas tahun saat itu, ketika seorang lelaki dengan tega meruntuhkan mahkota yang paling dijaganya. Menanamkan benih yang tak pernah diharapkan Liana.

Liana, terkenal sebagai satu-satunya gadis tercantik di desa. Banyak yang ingin memilikinya. Juga beberapa yang melamarnya dan bersedia menunggu sampai gadis itu tamat SMA. Namun, orangtuanya tak mengizinkan, karena Liana sendiri ingin fokus belajar dan melanjutkan kuliah dengan beasiswa.

Delapan belas tahun masih usianya, mimpi itu harus sirna, karena kejahatan lelaki yang merenggut masa depannya. Saat itu hampir saja ujian nasional, tapi Liana terpaksa harus mendekam di rumah dengan perut yang membuncit.

“Maksudmu, kamu …,” Wanita itu terpaksa menjeda ucapannya. Karena Dara memilih untuk menjelaskan sendiri, ketimbang harus mendengar kalimat rendah dari orang lain untuk ibunya.

“Ya, aku anak ha ram.” Dara berkata, sembari menatap sinis wanita di depannya.

Kembali ingatan Dara berputar di kepala. Ingatan-ingatan tentang betapa orang-orang memandang rendah ia dan keluarga. Dikucilkan teman, dilempar barang mainan, hanya karena mereka tahu bahwa Dara anak ha ram. Dara terlahir tanpa ayah dan hanya bernasab pada ibunya.

“Anak orang gi la!” Salah satu teman sekelas Dara mengatainya sepulang sekolah.

Dara membantah. Saat itu ia masih sekolah dasar, kakek bilang ibunya hanya sakit yang susah disembuhkan. Gadis kecil itu membantah, tak terima apa yang dikatakan oleh teman-temannya.

Namun, saat ia mengatakan ibunya tidak gi la, saat ia membela, ia malah melihat sang ibu keluar dari rumah dan melompat seperti anak kecil sambil tertawa, setelah itu Liana menangis saat ia berbicara pada diri sendiri. Raut wajah Liana tak tertebak, kadang sedih, kadang tertawa sendiri. Dara menatap wajah dekil itu, dengan rambut kusut yang digepang pita.

Dara berlari ingin pulang, karena ia tak bisa menahan kejaran tertawaan dari teman-temannya. Teman-teman yang menertawakan pembelaannya terhadap sang ibu.

“Bagus lah, kalau kamu tahu diri.” Wanita itu tersenyum sinis pada Dara. Bangga, karena Dara sepertinya cukup cerdas untuk menyadari posisinya.

“Ibu membuang-buang waktu untuk bertanya,” ucap Dara yang langsung membungkam wanita itu. Ia tahu bahwa sebenarnya wanita di depannya itu sudah mengetahui bagaimana hidupnya, hanya saja ingin tetap melukai Dara dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Bukankah ibu sudah menyuruh seseorang untuk mencari tahu tentang saya?” Pertanyaan Dara sedikit menohok.

Pagi itu Dara ingin berangkat kerja, tapi urung saat ia melihat seorang lelaki di depan gang rumahnya. Gadis itu diam, mungkin saja lelaki itu ada keperluan lain mengunjungi daerah rumahnya. Sepulang kerja, Dara juga mendapati orang yang sama. Beberapa kali ia melihat lelaki itu seolah sedang mengintainya. Namun, gadis itu tetap tenang.

Lalu, wanita di depannya kini bertanya hal yang sudah diketahuinya? Buang waktu.

“Jadi, selain untuk merendahkan keluarga saya, ada perlu apa ibu bertemu dengan saya?” Dara bertanya yang membuat wanita itu tertawa karena kesombongannya.

“Kamu, orang miskin sombong yang pertama kali saya temui.” Wanita itu tergelak. Ia merasa gadis di depannya bukanlah seseorang yang mudah untuk diperdaya.

Dara tak menjawab. Ia hanya diam sambil menunggu apa yang selanjutnya dikatakan oleh wanita itu. Ia juga masih menggunakan sapaan formal, menggunakan kata saya.

“Sebagai ibu, saya berhak melindungi anak saya,” ucap wanita itu dengan serius. Ia kembali menatap tajam pada Dara yang hanya diam.

Lalu, ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. “Katakan jika ini kurang, lalu tinggalkan Rayyan.”

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status