Bab 9."Li, balikin ya. Itu punya anak Bu Asih, kasian besok dia sekolah."Seorang lelaki berusia empat puluh tujuh tahun itu membujuk. Sementara Liana yang dibujuk hanya tersenyum mengelus seragam SMA yang kini ada di tangannya. Herman, abang Liana duduk berdekatan dengan adik satu-satunya itu, ia ingin memberi pengertian bahwa seragam itu bukan miliknya. Herman ingin membangunkan kesadaran Liana, bahwa kini sudah berpuluh tahun berlalu, dan ia tak layak lagi mengenakan seragam SMA seperti dulu."Bu Asih, sabar dulu ya. Saya akan coba minta baik-baik." Herman berkata pada pemilik seragam itu.Suryadi dan Halimah ikut membujuk Liana, tapi mereka tak tahu caranya agar perempuan itu mengerti. Biasanya saat Halimah membujuk, wanita itu akan diam dan menurut, karena satu-satunya orang yang bisa ia kenali hanyalah Halimah, ibunya.Liana akan merasa aman jika Halimah berada di sampingnya, dan akan menjerit jika disentuh oleh lelaki termasuk ayah dan abangnya. Trauma yang ia alami telah me
Bab 10.Malam terasa menggigil karena langit begitu mendung dan gelap. Angin malam juga memberi hawa menyejukkan bagi tubuh Dara yang tak mengenakan jaket. Gadis itu kembali melirik jam di tangan, hampir pukul sembilan malam dan belum ada satupun angkutan umum yang lewat. Ia bangun dari halte dan memandang ke arah jalanan, hanya mobil-mobil pribadi yang lewat, selebihnya sepi."Bawa motorku aja, Ra. Besok kalau aku udah sehat, aku hubungi, dan kamu jemput ke sini. Pakek aja nggak apa-apa," kata Ayu sambil tetap menahan sakit di bagian perutnya."Aku naik angkutan umum aja," ucap Dara menolak. Ia tak suka menggunakan barang milik orang lain, apalagi motor yang harganya mungkin tak bisa ia jangkau. Ia hanya tak ingin terbiasa memakai milik orang lain, juga khawatir tak bisa menjaganya dengan baik, karena malam di Jakarta terkadang menjadi surga bagi penjahat.Sore tadi, Dara harus mengantarkan Ayu ke rumahnya, karena gadis itu naik pitam dan pingsan di cafe saat sedang bekerja. Ayu mem
Bab 11.Dara membuka mata, ia dibawa oleh lelaki itu ke sebuah bar yang cukup terkenal di Jakarta. Gadis itu ditidurkan di sebuah ranjang, di kamar khusus bagi pelanggan yang biasanya menikmati kesenangan dunia. Menghisap madu dari para gadis yang menjajakan diri demi kebutuhan, entah uang atau memang kehausan.Dara melenguh karena baru sadar dari pingsan akibat pengaruh obat bius. Dengan hati-hati ia meraba pakaian dan merasakan perubahan tubuhnya yang ternyata masih utuh. Baju dan jilbabnya masih seperti semula, itu artinya lelaki itu belum melakukan apa-apa padanya."Hai, cantik!" sapa lelaki yang sejak tadi memperhatikannya. Ia sudah lama menunggu Dara bangun dari pingsannya.Lelaki itu bangun dari sofa yang ia duduki, laku mendekat pada Dara dengan tatapan buas yang menjijikkan. Lelaki berwajah tampan yang umurnya sekitar tiga puluh dua tahun itu naik ke ranjang.Debar di dada Dara makin mengencang. Ia ketakutan saat lelaki itu semakin tak berjarak dengannya. Lelaki yang tak dik
Bab 12.Dara berhasil kabur dari tempat itu. Saat ia keluar beberapa orang melihatnya, mungkin merasa aneh dengan pakaiannya tak tak seksi seperti yang mereka kenakan. Juga aneh karena seharusnya semakin larut malam, maka gemerlap malam akan semakin indah di sana, tapi Dara malah keluar dari bar itu.Gadis itu tak peduli dengan tatapan beberapa orang itu, ia terus mengayunkan langkah dan menjauh. Sekilas Dara melihat area tempat itu. Terlalu jauh dengan rumah Dara, bahkan sangat jauh. Dara berjalan kaki untuk pulang ke rumah, meskipun ia terlalu lemah, dan tak tahu kapan akan tiba. Tak ada satupun angkutan umum yang lewat, persis seperti beberapa jam yang lalu saat ia menunggu di halte sebelum kejadian buruk itu menimpa dirinya. Ia mengeluarkan ponsel di saku celananya, ia coba untuk hidupkan dan sialnya ponsel itu mati karena kehabisan daya. Dara baru ingat, sejak tadi daya ponselnya memang tinggal sedikit. Saat akan pulang dari rumah Ayu, ia sempat memberitahu Omnya bahwa ia akan
Bab 13."Kamu perlu ngucapin selamat pada Bu Yasmin, karena sudah berhasil membuatku trauma." Dengan lantang Dara berbicara, tapi sayangnya semakin ia banyak berbicara, tetesan air di matanya tak ingin berhenti mengalir, seperti hujan yang semakin deras.Rayyan menatap nanar pada Dara, mendengar apa yang baru saja terjadi padanya membuat lelaki itu ikut hancur. Ia tak menyangka mamanya sanggup melakukan itu semua hanya karena tak suka pada Dara. Hati Rayyan terasa panas membara karena kemarahan, sekaligus remuk terluka karena melihat Dara.Sejenak keduanya saling menatap dalam kesenduan di bola mata masing-masing. Kemudian Dara merebut kembali ponsel di tangan Rayyan setelah ia membaca semuanya.Dara beranjak pergi, ia kembali berjalan menuju jalan pulang ke rumahnya. Wajah itu terlihat sudah sangat pucat, karena terlalu lama di bawah air hujan. Terlalu lemah karena sejak pagi disibukkan dengan pekerjaan dan di belum sempat beristirahat, bahkan saat jam sudah menunjukkan pukul sebela
Bab 14*Dara meregangkan otot-ototnya, ia membuka mata saat matahari mulai menembus lewat kaca jendela di kamar. Perlahan ia mengamati sekeliling kamar dan seketika ingatannya kembali pada kejadian semalam. Ia tak tahu sedang berada di mana, suasana kamar ini sama sekali tak pernah dilihatnya. Ia mengecek tubuh sendiri dari atas hingga ke bawah. Terbangun di atas ranjang menjadi suatu hal yang menakutkan baginya, alam bawah sadarnya kembali mengingatkan pada lelaki yang ia gores nadinya semalam.Gadis itu masih mengenakan jilbab saat bangun tidur. Ia kembali mengumpulkan kesadaran, terakhir kali ia bertemu dengan Rayyan semalam. Mereka singgah di sebuah toko untuk membeli pakaian, setelah itu tak ada yang ia ingat.Dara terperanjat dan segera bangun dari tidurnya saat ia melirik jam di nakas sudah menunjukkan pukul enam lewat. Ia belum menunaikan subuh. Entah di mana sekarang ia berada. Ia membuka pintu kamar untuk melihat keberadaanya.Saat membuka pintu, ia malah berhadapan dengan
Bab 15."Aaargh!" Napas Herman memburu. Tangannya terkepal kuat seraya berteriak dengan menatap tajam pada dinding rumah ibunya. Seolah di sana ada perempuan yang diceritakan Dara.Darahnya seketika seperti mendidih saat mendengar cerita Dara atas sebab kenapa ia tak pulang semalam. Dara bercerita semuanya, tentang bagaimana ia dibius, dibawa ke bar dan hampir dile ceh kan oleh seorang lelaki. Bahkan ia juga bercerita siapa dalang di balik semua itu.Herman marah, sekaligus merasa lega karena Dara gadis yang cerdas. Selain bisa membela diri ia juga selalu ingin tahu dan harus menyelesaikan setiap masalah yang ia hadapi dengan cara apa pun. Setidaknya Herman merasa lega karena Dara tahu pelakunya, jadi Herman bisa memutuskan untuk membalas perbuatan itu. Bukan seperti kejadian yang menimpa Liana, tak ada jejak sedikit pun. Meski saat itu Herman menyuruh kepala desa untuk mengumpulkan semua orang, dan bertanya satu persatu. Namun, tak ada hasil dari semua itu, yang membuat Herman semak
Bab 16."Ma …," panggil Rayyan begitu sampai di pintu masuk."Mama …," panggilnya lagi.Tak ada jawaban, hingga Rayyan tetap mengayunkan langkah dan masuk ke dalam. Ia mencari sang mama di ruang keluarga, tapi tak ada. Itu artinya mama sedang di kamar. Kembali Rayyan melirik jam di pergelangan tangan. Pukul delapan malam, biasanya mama sudah berada di rumah setelah seharian bekerja.Setelah mengantarkan Dara, Rayyan pergi ke rumah sakit, tapi ia memutar kemudi ingin pulang ke rumah dan langsung bertemu dengan mama. Namun, ia seperti lupa kebiasaan mamanya, perempuan itu sejak pagi buta sudah tiba di perusahaan miliknya.Rayyan kembali mengemudi ke rumah sakit. Ia datang dengan semangat yang lunglai, karena setiap menit pikirannya dipenuhi oleh Dara dan mamanya. Ia ingin waktu berlalu dengan cepat dan pulang meminta penjelasan."Apa sih teriak-teriak?" tanya Yasmin yang turun dari kamar, karena mendengar suara Rayyan."Mama masih bertanya ada apa?" sarkas Rayyan seolah lupa dengan si