Mata Dirga terpejam, mulutnya hanya mampu terbuka tanpa mengeluarkan suara dan kembali tertutup dengan kefrustrasian yang semakin membengkak di dalam kepalanya. Sementara Davina, gadis sibuk dengan menikmati pemandangan di jendela mobil. Bahkan sesekali sibuk bermain-main dengan ponsel di tangan gadis itu. Dan ia bersumpah melihat senyum di ujung bibir Davina ketika menoleh ke samping. Membalas entah pesan apa yang pasti dikirim Brian atau David. Bisanya-bisanya gadis itu tersenyum ketika suasana hatinya begitu buruk seperti ini, hah? Dan kenapa dia mendadak merasa seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Sehingga menjadi tak berkutik seperti ini. Sepanjang perjalanan, Davina seolah sengaja mempertahankan keheningan tersebut. Sengaja membuatnya tersiksa seperti ini. Sekali lagi helaan napasnya menjadi kasar ketika menoleh ke samping. “Kau sudah makan?” Davina menggelengkan kepala tanpa melepaskan tatapannya dari ponsel di tangannya. Mengetikan balasan untuk candaan yang dikirim Davi
"Apa yang sedang kau pikirkan?" celetuk Clay. "Sejak tadi kau tak berhenti mendesah. Apa yang begitu mengganggumu? Istrimu?" Lagi-lagi Clay sengaja menggoda. "Diamlah, Clay." Dirga beralih pada Brian. "Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" Brian membuka laci nakas di sampingnya. Mengeluarkan sebuah map berwarna hitam dari sana. "Ini semua adalah aset yang dimiliki Jimi yang berhasil kudapatkan." Dirga berjalan mendekat, mengambil berkas tersebut dan mulai membukanya. Sertifikat rumah, villa, gedung, bahkan saham di perusahaannya. Dan yang lebih membuatnya tercengang adalah semua aset tersebut atas naqa Davina Riley. Clay yang berdiri di samping Dirga pun ikut terkejut. "A-apa?" "Kau tahu Davina anak berengsek itu tapi tak tahu hal sereceh ini?" Mulut Clay membuka nutup, tak mampu menjawab. "Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk memeriksa semua aset yang dimilikinya, kan?" "Aku sudah meletakkannya di mejamu," dalih Clay membela diri. "Semuanya sudah kau pegang, kan. Dan semua in
Part 62 Hormon Kehamilan? Atau Karmakah? Cukup sudah. Kesabaran Dirga yang hanya setipis kulit ari kini menguap seketika. Gemuruh di dadanya meluap-luap tak terkendali. Tak hanya oleh kata-kata Davina yang mengatakan bahwa hanya dengan melihat wajah David saja sudah meningkatkan selera makan gadis itu. Dan melihat Ega yang menyentuh wajah istrinya, maka raiblah semua kesabaran tersebut. Dirga menyeberangi ruang makan dengan langkah besar-besarnya. Tangannya menyapu meja pantry hingga semua makanan di sana jatuh berhamburan di lantai. Kemudian mendorong David hingga pemuda itu terhuyung ke belakang, menyentakkan tangan Ega menjauh dari wajah Davina. “Kita pulang,” desis Dirga menangkap pinggang Davina dan menurunkan sang istri dari kursi. Kemudian menyambar pergelangan tangan Davina dan menyeretnya pergi. David yang mendapatkan keseimbangannya dengan cepat mengejar Dirga dan berhasil pergelangan sang adik. “Tidak bisakah kau bersikap lebih lembut pada peremupuan, hah?” bentaknya de
"Aku butuh jawaban, gadis licik," desis Dirga lirih. Tepat di depan wajah Davina yang terdongak. Davina mengangguk. Merasakan keputus asaan yang begitu besar di dadanya. Menyadari ketololannya, menyadari dirinya yang begitu menyedihkan dengan perasaan cintanya pada Dirga. Untuk semua derita yang sudah ia terima, untuk semua siksaan dan keburukan yang dilimpahkan Dirga padanya. Dan bahkan dengan semua sisi buruk Dirga yang sebagian kecil sudah terpampang jelas di hadapannya. Dengan ketakutan yang seringkali menyeruak di dadanya oleh kekejaman pria itu. Kenapa perasaan di hatinya masih menetap dengan tanpa tahu diri? Pertanyaan yang masih belum ia temukan jawabannya. Mungkin tak pernah. Davina sudah dibuat frustrasi dengan semua tumpukan kemelut itu. Dan inilah yang dimaksud oleh Dirga. Tentang pengaruh pria itu baginya. "Aku butuh jawaban." Dirga mengulang. Ibu jarimu mengusap bibir bagian bawah Davina dengan kasar. Sengaja untuk menyadarkan Davina dari mimpi gadis itu. Membangun
PrologDavina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tanpa emosi. Davina bangkit berdiri sambil menjatuhkan penutup toilet. “Sepertinya ada yang salah dengan p
"Jadi kau masih hidup?" Seringai Jimi naik lebih tinggi. Kelicikan dan kebengisan berkilat jadi satu di kedua matanya yang bengkak dengan luka lebam di sebelah kiri. Ujung bibir pria itu juga robek dan Dirga yakin luka di tubuh Jimi lebih banyak dari yang terlihat di wajah.Saga benar-benar memberi pria itu penderitaan yang lembuy. Perlahan dan menyiksa. Tetapi semua penyiksaan itu tak membuat kesombongan seorang Jimi Riley runtuh."Ya, jika pengkhianat sepertimu masih bisa bernapaa, kenapa aku tidak?"Jimi terkekeh lalu mendenguskan balasan. "Wanita Ganuo yang menyelamatkanmu, aku hampir melemparnya dari atas gedung. Nyaris. Seharusnya aku menembaknya sebelum Ganuo datang. Untuk merayakan tragedi yang sama."Wajah Dirga seketika menggelap, hanya untuk sejenak. Di detik berikutnya, ialah yang membalik posisi. Tangannya merogoh selembar foto dari saku kemeja dan menunjukkannya pada Jimi. "Dia memiliki mata yang sama denganmu. Lemah dan haus kasih sayang."Seringai Dirga naik lebih ting
Setelah jam sepuluh malam, akhirnya Dirga membiarkan Davina turun dari tempat tidur dan kembali ke kamarnya. Kamarnya tepat berada di samping kamar sang tuan. Yang meskipun ia tidak menempati kamar para pelayan karena memudahkan sang tuan menginginkan dirinya kapan pun.Tubuhnya terasa menggigil, lemah dan seluruh tenaganya teruras habis. Ia menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya dan memejamkan mata. Membiarkan kantuk berat menyelimutinya. Begitu cepat.*** Pagi itu, di ruang makan Galena menyambut kedatangan Dirga dengan senyum semringahnya. Ya, sejak kemarin wanita itu bermalam di rumah ini, untuk satu bulan ke depan atau untuk seterusnya jika ia berminat melanjutkan pertunangan mereka.Papa Galena menjadi investor terbesar di perusahaannya setelah Jimi mengobrak-abriknya. Membantunya selamat dari ambang kebangkrutan. Dan Galena sebagai putri kesayangan, yang secara kebetulan tertarik padanya, tentu saja tak membuang kesempatan itu. Meminta sang papa menjodohkan dirinya dengan
Praanggg ...Nampan di tangan Galena jatuh berhamburan ke lantai. "Kau tidak mendengar perintahku?" desis Dirga pada Galena. Sudah cukup keangkuhan wanita itu membuat selera makannya di meja makan raib, sekarang wanita itu mencoba menentang perintahnya. "Apa kau mencoba menantangku?"Bibir Galena membeku. Ketakutan merebak di dadanya. "A-aku hanya bermaksud melayanimu ...""Aku tak membutuhkannya.""T-tapi aku tunanganmu, Dirga? Kenapa kau begitu marah ...""Aku sudah mengatakan padamu, kan. Hanya butuh satu syarat kau tinggal di tempat ini. Patuhi peraturanku atau enyah dari hadapanku.""Kau benar-benar keterlaluan, Dirga!" Galena memberanikan diri untuk menentang. Kedua matanya berkaca-kaca oleh kekecewaan oleh kata-kata Dirga yang begitu dingin dan tak punya hati."Aku tak butuh istri yang tidak penurut, apalagi terlalu menuntut. Sekali lagi kuperingatkan padamu, ucapanku adalah peraturan di rumah ini. Jangan ganggu kesenanganku, urusanku, atau bahkan masalahku."Galena tak mengat