Bab 17) Cobaan Apalagi Ini? Setelah menyelesaikan urusannya di warung terakhir yang ia sambangi siang ini, Hanum segera berbalik pulang. Perempuan itu memacu motornya dengan kecepatan yang agak tinggi. Bahkan dia tidak mampir ke warung makan langganannya. Dia berencana akan memasak di rumah saja. Kebetulan di kulkas masih ada stok sayur dan ikan gabus yang sudah dibersihkan. Hanum memarkir motornya di halaman, kemudian segera mengangkut kardus bekas tempat menaruh barang jualannya dan segera masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, Ismah menyambutnya dengan senyum, walaupun sedikit menyeringai. Sikap yang membuat Hanum seakan merasakan berton-ton beban menindih pundaknya. Terasa begitu berat. Hanum tidak tahu apa yang berada di dalam pikiran ibu mertuanya. Semenjak ia berjualan, sikap wanita tua itu semakin menjadi, padahal urusan jualan sama sekali tidak mengganggu urusan rumah. Dia masih tetap mengerjakan semua pekerjaan rumah, mencuci pakaian orang sisi rumah, menyapu, mengepel lant
Bab 18) Tolong Bujuk MamaHah? Kasihan? Nyaris saja Hanum tertawa jika tidak ingat dengan siapa ia kini berhadapan. Sungguh ngawur cara berpikir wanita tua itu. "Aku hanya mencoba melakukan hal yang aku bisa, Ma," ralat Hanum seraya mengusap dadanya tanpa sadar. Menghadapi Ismah selalu menguras emosinya."Seumur hidup aku tidak pernah ke sawah. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan pekerjaan itu? Itu pekerjaan berat dan tidak cocok dilakukan oleh perempuan....""Tapi Mama dan sebagian besar wanita di kampung ini melakukan itu. Kami bisa melakukannya sembari mengurus rumah dan anak, bahkan juga mengurus mertua yang sudah tua." Wanita malah menepuk dadanya. "Jangan samakan aku dengan mereka. Mama sendiri tahu, kan dari mana aku berasal? Aku bukan asli kampung ini, sebuah desa yang penduduknya memang memiliki mata pencaharian petani. Di kampungku sebagian besar orang-orangnya adalah pedagang. Maka hanya berdagang yang aku kuasai, Ma." Hanum berusaha menjelaskan. Dia bahkan mengangkat
Bab 19) Mewujudkan Keinginan FahriSembari sesekali melirik sang suami yang masih tertidur, Hanum memilih bermain ponsel. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk membangunkan suaminya. Lelaki itu terlihat sangat lelah dan butuh istirahat.Hanum mengerti suaminya berada di posisi yang sangat sulit. Di satu sisi ia harus menuruti orang tuanya. Namun di sisi lain ia tidak boleh mengabaikan Hanum sebagai istri. Benar, Fahri sudah berusaha untuk bersikap adil. Akan tetapi, bagaimana keadilan bisa ditegakkan jikalau ibu mertua selalu berperan sebagai penentu setiap keputusan yang mereka ambil?Dia tahu apa yang ibu mertuanya inginkan. Sebagai istri, ia akan berusaha untuk menjalani perannya sebaik mungkin, walaupun mungkin tak sempurna. Dia tak pandai memasak dan tidak bisa membantu suami bekerja di sawah. Itu memang kekurangannya. Namun apakah dengan kekurangan itu, lantas ia di anggap tidak pantas mendampingi Fahrian Muzaffar Shiddiq, putra kesayangan di keluarga besar haji Yahya?Rasanya
Bab 20) Menantu Penuh KejutanIsmah menatap nanar kepergian anak dan menantunya. Suara deru motor menimbulkan debu-debu beterbangan menghiasi halaman. Dia benar-benar tak menyangka. Maksud hati ingin membuat Hanum terpukul dengan apa yang ia lakukan, tapi ternyata tidak. Hanum rupanya sosok menantu yang penuh dengan kejutan. Entah apa yang sedang direncanakan oleh Hanum. Tumben wanita muda itu mau diajak Fahri untuk mengajar di TPA, padahal Ismah tahu, dulu Hanum pernah menolak dengan alasan belum cukup ilmu untuk mengajar. Ismah berpikir mungkin karena saat itu Hanum sadar diri, bahwa pendidikannya memang tidak memadai untuk mengajar anak-anak mengaji. Ismah yakin itu karena Hanum memang tidak pintar. Jika Hanum memang benar-benar berpendidikan tinggi, buat apa hanya diam di rumah, tidak mau diajak mengajar oleh suaminya? Apa guna ijazah kalau tidak di pakai untuk mengajar? Bahkan Hanum juga tidak bersedia jika diminta oleh ibu-ibu membaca doa di saat acara yasinan ibu-ibu pada set
Bab 21) Kedatangan Yasmin Bahkan kini gaji yang diterima oleh Zainab tidak lagi full karena harus dipotong dengan cicilan di bank. Setelah ayah Zaid meninggal, Zainab membeli sebuah rumah kecil dengan uang hasil penjualan emas simpanan terakhirnya, kemudian rumah itu direnovasi sehingga menjadi rumah yang sekarang. Namun akibatnya ia harus berhutang banyak, tak kurang dari 50 juta, dengan jangka cicilan sekitar 10 tahun. Selama itu pula ia harus prihatin. Untung saja Zaid masih sekolah dasar. Dia hanya butuh uang untuk keperluan sehari-hari dan jajan Zaid. Untuk beras, ia tidak perlu khawatir, karena Zainab pun bekerja di sawah, walaupun sawah yang dikerjakannya adalah milik orang lain dengan cara bagi hasil. Cukup lama keduanya berpelukan, mencurahkan kesedihan masing-masing tanpa kata. Kekecewaan yang menumpuk di hati karena hidup tak sesuai dengan ekspektasi, terutama Ismah yang sangat berharap bisa meraih kebahagiaan dan kenyamanan di masa tuanya. Zainab menyeka air matanya yan
Bab 22) Mengembalikan Baju Yasmin Hanum mengekor langkah sang suami masuk ke dalam rumah. Tiga orang yang tengah duduk di sofa itu memandangi mereka seakan tanpa kedip. Hanum berusaha untuk tetap tenang melihat kehadiran Yasmin diantara ibu mertua dan kakak iparnya. "Hai, Yasmin," sapanya ramah sembari menyodorkan tangannya. "Halo juga, Hanum," sambut Yasmin. Perempuan itu masih tidak bergerak, duduk diantara Ismah dan Zainab. "Jangan banyak basa-basi, Hanum. Yasmin ke sini karena ia ingin mengambil baju yang kemarin dipinjamkan kepadamu. Kamu belum mengembalikannya, kan?" tukas perempuan tua itu. "Oh, iya." Hanum kembali teringat dengan baju Yasmin yang dipinjamnya malam itu. "Maaf ya, aku belum sempat berkunjung ke rumah paman haji Alwi," ujar Hanum lagi. "Itu cuma alasan kamu saja, Hanum. Kamu suka kan, dengan pakaian itu? Ah, siapa juga yang nggak suka dengan barang bermerek? Baju Yasmin itu semua bagus-bagus. Kamu berharap baju itu diberikan saja kepadamu, bukan?" Seperti b
Bab 23) Jebakan"Tumben berangkatnya sekarang? Ini belum masuk jam belajar di TPA lo, Kak," protes Hanum saat melihat sang suami sudah rapi, mengenakan baju koko berwarna putih dengan bawahan sarung bermotif kotak-kotak. Tak lupa kopiah putih melekat di kepalanya. Keduanya baru saja selesai makan siang dan menunaikan ibadah shalat zuhur. Seharusnya ini adalah waktu istirahat untuk mereka. "Emang sengaja, Sayang, karena mau mampir dulu ke rumah paman haji Alwi. Katanya beliau ada yang ingin dibicarakan. Mungkin menyangkut soal teknis menyambut bulan suci Ramadhan di mushola kita," jawab Fahri. "Oh, gitu. Ya sudah, nggak papa." Hanum menghela nafas. Entah kenapa kali ini ia merasa berat melepaskan kepergian sang suami. Firasatnya tidak enak. Lelaki itu mendekat perlahan, merentangkan tangan, memeluk sang istri yang masih mengenakan mukenanya. "Nanti kamu nyusul ya, Sayang. Berangkat sendiri jalan kaki. Tidak apa-apa, kan?" Hanum menggeleng. "Tidak apa-apa, Kak." Lelaki itu masih m
Bab 24) Tidak Ada Bukti"Paman!" Masih dengan suaranya yang meraung, Yasmin menubruk lelaki setengah tua itu, memeluknya kuat-kuat. "Dia...." Jari telunjuknya menuding sosok Fahri yang hanya bisa berdiri mematung."Ada apa? Ada apa ini? Kenapa kalian berduaan di rumahku? Apa yang sudah terjadi?" Lelaki itu mengurai pelukan sang keponakan seraya menatap Fahri dengan perasaan bingung.Dia tidak habis pikir, kenapa Fahri bisa sampai berada di rumah ini saat dia dan istrinya sedang tidak ada di rumah.Sehabis makan siang dan shalat zuhur, haji Alwi dan istrinya memang pergi ke kebun kelapa yang letaknya tidak berapa jauh dari rumahnya. Namun ketika sampai di kebun, ia melupakan parang yang seharusnya ia bawa. Akhirnya haji Alwi kembali ke rumah melewati pintu belakang, karena saat ia akan membuka pintu depan rumah, ternyata dalam keadaan terkunci."Katakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Paman, Fahri. Kenapa kamu sampai berada di rumah ini bersama Yasmin, sementara kami tidak ada di