Rima memijit kepalanya yang terasa sangat sakit, dan menunduk dalam. Dia measa keputusan besarnya tidak salah dan akan mendapat dukungan dari para wanita, di seluruh dunia. “Bu-Bunda,” lirih Rima mendengar suara Sherly, tapi dia menepisnya. Rima tahu, anak sambungnya yang satu ini tidak pernah mau memanggilnya bunda. Jadi, dia berfikir kalau itu halusinasinya saja saat dia sedang depresi. “Bunda!” Suara Sherly memenuhi gendang telinga Rima, tapi dia tetap kukuh pada dirinya, jika Sherly tidak mungkin memanggilnya. “Kamu kenapa?” tanya Satria yang bingung dengan Rima, yang hanya diam ketika dipanggil oleh anak tirinya. “Itu kamu dipanggil!” ujar Satria kemudian. Rima langsung menoleh ke arah anaknya yang terbaring tidak berdaya, memeluknya dengan erat dan dibalas dengan pelukan oleh Sherly. Sungguh pemandangan yang haru untuk dilewatkan. Gadis itu mengulurkan tangannya, dan meminta Rima menyambutnya tanpa kata apapun. Rima dengan senang hati mendekat dan menggenggam tangan sang pu
"Kamu tahu kenapa bunda sangat sakit hati padamu?" tanyaku. setelah kami diam sesaat.Sherly menundukkan kepalanya, tubuhnya bergetar dan terdengar isakkan darinya. Rima makin merapatkan duduknya, lengannya merangkul pundak anak sambungnya yang berguncang."Yang paling membuat bunda sakit hati, saat kamu menjauh dari bunda, saat kami tidak mau memeluk bunda, saat ...," Belum selesai Rima bericara, Sherly menubruk tubuh ibu tiri yang selama ini dia benci.Rima membalas pelukan Sherly dengan erat, dan mencium pucuk kepalanya dengan lembut. Mengusap punggung yang kian terisak, mereka berdua menikmati kebersamaan yang pernah terhalang, karena pernikahan."Sekarang, kita tata hidup kita agar lebih baik, ya," pesan Rima dan diangguki oleh Sherly.Rima memiliki ide untuk mengirimkan Sherly ke luar negeri, agar lebih cepat penyembuhan mentalnya. Dia tahu, jika masyarakat kita terkadang abai dengan permasalahan ini. Mental korban, dianggap akan pulih seperti biasa. Belum lagi sindiran dan hina
"Belum tidur, Sayang?" sapa James yang mendapati Rima sedang membaca, saat dia baru saja pulang kerja. "Iya, Mas. Tanggung, ni buku bagus-bagus semua," ujar Rima dengan santai, james melirik buku-buku yang dibaca oleh Rima dan semua itu adalah bacaan yang berat. James sempat khawatir dengan keadaan Rima yang sangat tenang, dia tidak melihat kesedihan atau rasa tidak nyaman setelah kepergian anak mereka yang belum terlahir di dunia. Juga menanggapi masalah Sherly, yang awalnya menggebu-gebu, kini diam membisu. "Bagaimana keadaan Sherly, hari ini?" tanya James, lelaki itu menarik kursi di samping Rima, kemudian duduk. "Alhamdulillah baik, Mas!" ucap Rima. James menelisik wajah Rima, dan menemukan matanya yang sedikit sembab. Belum sempat dia bertanya, Rima sudah mengalihkannya dengan menawarkannya segelas teh lemon hangat, dan dia hanya bisa mengangguk. "Mas, tabungan kamu masih banyak?" tanya Rima mendadak. James tahu, jika Rima bukanlah wanita matre seperti kebanyakan perempuan
Semua bersiap ke bandara, untuk mengantarkan Sherly dan dion. Pertentangan terjadi antara semua keluarga, tentang perpindahan anak-anak ke luar negeri yang mendadak. Akan tetapi, Rima seperti tidak punya hati memutuskan mereka untuk tetap tinggal jauh, tanpa bisa dibantah. Dion dan Sherly menerima keputusan itu dengan isakan. Kedua anak itu memeluk Rima sepanjang perjalan membuat James, heran. Sejak kapan anaknya Sherly, mau dekat dengan Rima."Kalian sudah berbaikan?" tanya James dan diacuhkan oleh ketiga orang yang asik berpelukkan.James menghela napas panjang, karena dicuekin oleh orang yang dia sayangi, tapi terbit senyum di wajahnya karena melihat anak-anaknya yang lengket pada Rima, meski harus berpisah."Sherly baca buku yang ada di tas kamu, saat kamu kesepian dan tulis keresahan kamu di sana, Bunda harap, kamu akan jauh lebih baik dari sekarang dan mampu meraih akademik yang bagus," pesan Rima pada Sherly, karena dirinya tidak bisa ikut. Paspor yang diurusnya belum jadi saat
Rima langsung pulang, dan melihat diarynya. Membaca ulang rencana yang dia susun di setiap malamnya, agar mendapakaan hasil yang memuaskan."Sekarang giliran kamu!" ujar Rima, saat memandang wajah-wajah anak yang seusia Sherly dalam bingkai poto yang tertempel rapih.Dito namanya, anak dari rekan bisnis James yang terkenal perfectsionis, dan akan menghancurkan lawannya, jika berani mengusik keluarga mereka. Keluarga yang memandang Rima sebagai sampah, karena dari kalaangan biasa saja. terlebih ada kasus Sherly. Tidak ada namanya perdamai dari mereka, mereka malah akan mengancam menuntut, jika keluarga James berani melaporkan kasus remeh 'menurut mereka' pada polisi."Bik, aku mau kekantor Mas James dulu, ya," Dengan yakin, Rima melangkah untuk tujuan balas dendam.Semua sudah dipersiapkan Rima dalam tas ranselnya, dia berniat menemui Grace. Wanita yang dulu dekat dengan James dan ingin sekali dirinya celaka, tapi semua sudah berlalu. Grace mendapatkan tambatan hati saat dirinya terluk
Rima kembali melajukan kendaraannya, tidak ada yang tahu kendaraan yang dia gunakan saat ini. Dia membelinya dari seseorang yang dia kenal saat masih kuliah dulu, semua kendaraan yang dijualnya tidak akan terdeteksi, kecuali pembuatnya ditangkap."Hai, Rim," sapa Grace, ketika Rima memasuki lobi perusahaan James."Hai, Mbak Grace," timpal Rima dengan menyambut pelukan Grace.Orang yang memandang mereka, pasti saling berisik. Bagaimana tidak, masa lalu yang cukup menyita perhatian, kini berdamai seperti tidak terjadi masalah. itulah, salah satu hal yang disukai James pada Rima, tidak menyimpan sakit hatinya. Namun, James tidak mengetahui sisi iblis yang bangkit dari diri Rima."Mereka sudah berangkat?" tanya Grace, saat mereka berjalan menuju ruangan James."Sudah, Mbak. Saya sedang ...." Langkah Rima terhenti, kemudian memandang Grace dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.Grace dengan tidak sabar menarik Rima, ke ruangan James dan mengintograsi temannya itu. Rima menangis sepuasny
"Maksud kamu?" tanya Grace yang tidak mengerti jalan pikiran wanita yang ada di depannya."Dia lelaki yang sudah menikah, Mbak. Lelaki yang sudah menikah, pasti selalu ingin menyalurkan hasratnya, entah itu pada istrinya atau wanita panggilan, lebih parahnya pada gadis seperti Sherly. Jika dia tidak memiliki penis, bagaimana dia bisa memuaskan dirinya dan pasangannya, itu akan membuatnya stres dan lama-lama akan memilih mengakhiri hidupnya sendiri!" ujar Rima, membuat Grace merinding."Hebat kau, bisa berpikiran sejauh itu. Memang wajar, dia diperlakukan seperti itu. Agar tidak ada lagi Sherly-Sherly yang lainnya!" kesal Grace."Salah, Mbak. Sepertinya mereka sudah terbiasa melakukan itu, tadi sebelum sampai sini, aku bertemu ke empat baj*ngan itu sedang bersama seorang gadis yang seusia mereka juga. Aku tahu, gadis itu juga korban dari mereka, hanya gadis itu sepertinya selalu menuruti keinginan dari ke empat remaja brengsek itu dan memilih bungkam dari pada terancam. Aku ingin mende
Grace memegang pundak Rima dan memberi semangat pada sahabatnya itu, dia tahu ini berbahaya, tapi dia pun tidak bisa mencegah Rima untuk membalaskan dendam anak tirinya. Grace menatap miris wanita yang terlihat tegar di depannya, jika dia dulu bersikukuh menikah dengan James, mungkin dai tidak akan sanggup di posisi Rima saat ini. Maka dari itu, dia mendukung penuh Rima, sebagai ungkapan terima kasih juga, sebagai penghormatan untuk pengorbanan seorang ibu tiri yang sering di pandang sebelah mata oleh banyak orang."Ayo, aku antar," ajak Grace dan diangguki oleh Rima.Mereka berdua berjalan keluar dari ruangan James, bertepatan dengan asisten James yang ingin memberi laporan. "Baik, saya bawa dulu, ya, untuk mempelajari lebih lanjut dan meminta persetujuan Pak James," Sebenarnya, karena waktu Rima mendesak, maka dia mencoba mengulur waktu."Antar sampai sana saja!" tunjuk Rima pada mini market yang ada di ujung jalan, saat Grace melajukan kendaraanya dengan kecepatan tinggi.Grace me