Klikk!Nara langsung menoleh kecewa, tepat setelah Dimas mengalihkan saluran televisi yang tadi telah berhasil memantik rasa penasarannya. Ia berusaha meraih sebuah benda berbentuk persegi panjang tersebut, akan tetapi sayangnya suaminya itu malah menyembunyikannya di balik badan."Hufftt, Mas! Kenapa diganti? Aku mau dengar berita tentang Bella yang tadi dulu, Mas," keluh Nara yang akhirnya menyerah, karena ternyata remote televisi itu benar-benar diduduki oleh Dimas."Tidak, Sayang. Beritanya sama sekali tidak menarik, aku tidak suka. Lebih baik kita menonton acara anak-anak ini saja, sambil membayangkan nanti anak kita bisa bernyanyi dan bermain dengan girang seperti itu," ucap Dimas tak menyetujui.Pria itu langsung berlagak menikmati acara, dengan tersenyum dan bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh para anak kecil yang berbakat dan menggemaskan.Sementara Nara, ia malah semakin mengerucutkan bibirnya. Melipat
Tokk! Tokk! Tokkk!"Permisi, Tuan. Saya ingin mengantarkan sarapan!""Nah, itu dia! Sudahlah, lebih baik kita sarapan dulu. Matikan saja Tv-nya ya? Lalu kita makan," ucap Dimas yang langsung segera beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu.Akhirnya, Dimas bisa mempunyai sebuah alasan yang mampu mengalihkan pikiran Nara. Ia masih tidak mau membiarkan wanitanya itu memikirkan orang lain, apa lagi orang lain tersebut sering sekali berbuat jahat."Nah, ini dia makanannya. Ayo, kita makan!" lanjut Dimas dengan senyum sumringah, sambil membawa sebuah nampan yang penuh dengan sangat hati-hati.Namun sayangnya, melihat hal itu malah membuat kedua alis Nara mengerenyit heran. Ia menoleh sekurangnya tiga kali ke arah pintu, hingga kembali menatap Dimas yang kini sudah berhasil menaruh nampan yang berisikan sup hangat tersebut tepat ke atas sebuah meja kecil yang ada di sisi kasurnya."Lah, kok kamu sendiri? Bi Inah ke mana?
"Woah! Apa aku tidak salah lihat?" ucap seseorang yang baru saja datang dengan sebuah borgol yang mengikat kedua pergelangan tangannya.Sosok itu terlalu ceria untuk seseorang yang baru saja mendekam di penjara. Tak ada raut wajah sedih, atau pun sedikit rasa bersalah seperti para tahanan yang lain. Ia nampak terlihat sangat menikmati semuanya, hingga membuat seorang wanita yang sudah sedari tadi duduk di dalam sebuah ruang tunggu itu mendengkus dan tersenyum miring."Cukup! Sudahi basa-basimu! Aku tahu kau bahagia di atas penderitaanku!"Evan membalasnya hanya dengan tersenyum singkat, seraya duduk tepat di hadapan wanita yang sudah dua kali menemuinya dengan santai.Catat, hanya dua kali setelah dirinya hampir seminggu lebih di penjara. Menurutnya itu adalah sebuah rekor yang cukup buruk, apa lagi kemarin ini ia sempat sangat membutuhkan bantuan pada sosok yang masih berstatus sebagai istrinya tersebut."Aku bahagia di atas penderitaanmu? Sepertinya kamu salah, Bella. Aku hanya seda
Suara pecahan kaca yang cukup terdengar kencang itu, seketika saja ampuh membuat Nara langsung terbangun dari tidur lelapnya. Dengan cepat perempuan itu segera berpindah posisi dari tidur menjadi duduk dengan raut wajah terkejut, hingga akhirnya baru menyadari keberadaan sang suami yang kini sudah berada di sisinya."Suara apa itu, Mas? Apa yang pecah di saat malam-malam seperti ini?" tanya Nara yang hendak mendekat memeluk sang suami, akan tetapi urung karena teringat dengan aksi mogok bicaranya.Hufftt, memang dasar perempuan. Gengsinya memang selalu tinggi. Mungkin kalau gengsi adalah sebuah jenis pohon, mungkin sudah tumbuh dengan sangat subur dengan dahan dan ranting besar yang sehat."Ya sudah kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaanku, biar aku saja sendiri yang langsung mengeceknya sendiri!"Padahal saat ini situasi terasa cukup mencekam dan lumayan menakutkan, akan tetapi tetap saja Nara tak mau melupakan sejenak rasa kesalnya D
"Jangan ke sana, Tuan!"Seorang pria botak dengan kaos polos yang mencetak jelas tubuhnya itu langsung dengan cepat mencegah langkah kaki majikannya. Ia berdiri di sana sesaat, hingga sedetik kemudian langsung menunjuk ke arah beberapa keping kaca yang belum selesai dibereskan."Lalu, kenapa dari tadi tidak ada laporan yang masuk? Sedang apa kalian semua? Main-main?" tanya Dimas dingin, sambil sedikit mengangkat kepalanya.Tatapan pria itu, jelas menggambarkan kemarahan. Kedua tangannya terlipat di depan dada, dengan satu kaki yang sedikit melangkah lebih maju dari tempat berdirinya. Aura kasih sayang yang tadi sempat terlihat, kini jelas seketika berubah dengan drastis. Dimas marah, karena sedari tadi tak ada satu pun anak buahnya yang memberikan laporan kelanjutan kepadanya."Maaf, Tuan. Tadi sebagian dari kami sedang berusaha mengejar seseorang yang dicurigai oleh pelaku, akan tetapi sayangnya orang itu kabur tanpa jejak," jelas sosok itu denga
Dimas terperanjat, tepat setelah melihat kemunculan seseorang yang sudah lama tak pernah dilihatnya lagi. Untuk sesaat tubuhnya sempat mematung, hingga akhirnya lelaki itu langsung beranjak semakin mendekat dan mengarahkan kepalanya sedikit masuk ke arah kamarnya."Mau apa kau ke sini? Ini kamarku! Kau tidak boleh sembarang melihatnya! Tidak sopan!""Hey! Sejak kapan ada kata sopan di antara kita? Ayolah, Brother! Kita bukanlah saudara jaim yang patuh dalam tata krama dan kesopanan!"Dimas mendengkus mendengar kata-kata elakan itu. Tanpa peduli dengan sepupunya yang masih ingin mengintip ke arah dalam kamarnya, ia langsung saja mendorong kepala berambut putih itu menjauh dan mengunci rapat pintu kamarnya.Warna putih? Hey, rambut model apa yang bewarna seperti itu? Bukannya setiap orang ingin tampil lebih muda? Warna tersebut tentu terlihat seperti uban! Bagi Dimas hal itu memang sangat aneh, apa lagi ia tak pernah sekali pun memiliki keinginan ingin mewarnai rambut di seumur hidupnya
"Tidak, tetap tidak bisa! Kalau kau ada urusan penting, kau bisa cari tempat lain saja! Aku tidak bisa membiarkan pria sepertimu tinggal di rumahku!"Penolakan tegas itu langsung tanpa basa-basi Dimas utarakan. Ia tak peduli dicap pelit dan sombong oleh saudara sepupunya sendiri, karena baginya keputusannya itu sudah sangat bulat dan tak bisa dapat diganggu gugat lagi."Ayolah, Brother! Kau lupa, sewaktu kecil kita sering berbagi kamar?" ucap Darren yang tetap berusaha membujuk.Ditarik kembali dengan kenangan masa kecilnya, lantas Dimas langsung menghela napasnya dengan pelan. Pria itu kini menyandarkan dirinya di sandaran sofa, sambil kembali memikirkan keputusannya lagi."Maaf, Darren. Akan tetapi, tetap tidak bisa! Jika dulu aku masih sendiri, mungkin kau bisa dengan bebas tinggal di rumahku. Akan tetapi sekarang, tentu sudah sangat berbeda keadaannya!" Sekali lagi Dimas yakin dengan keputusannya.Kini gantian Darren yang dibuat mengh
"Loh kok, kamu yang masak? Bi Inah ke mana, Sayang? Kenapa bukan Bi Inah saja yang menyiapkan masakannya?"Nara terperanjat dengan hampir saja melempar sayur bayam yang masih mentah di tangannya. Andai saja uluran tangan yang melilit pinggangnya itu tak dibarengi dengan sebuah suara, pasti dirinya sudah sedari tadi menjerit berusaha memberontak.Siapa lagi pelakunya kalau bukan Dimas? Ya, pria itu sepertinya baru saja bangun dari tidur pulasnya setelah semalam puas tertawa dan bercanda bersama dengannya."Nara? Kok diam saja? Bi Inah ke man—""Saya di sini, Tuan! Maaf, tadi Nyonya Nara sempat memaksa untuk membantu saya di dapur. Saya tidak bisa menolaknya, apa lagi tiba-tiba saja tadi ada beberapa bumbu dapur yang habis. Jadi saya harus membelinya dulu di warung, dan terpaksa meninggalkan Nyonya Nara sendirian di sini," jelas Bi Inah cepat, sebelum nanti terjadi sebuah kesalah pahaman. Sebuah kantong plastik bening yang berisikan bebera