Bughh!"Ah, sial! Kenapa mereka berdua bisa tertangkap sih? Bukannya aku sudah bilang untuk segera pergi dari tempat itu!" geram seorang pria yang tengah terduduk di kursi, sambil mencengkram erat ponsel yang digenggamnya.Sedetik kemudian, ia tak lagi melanjutkan percakapan teleponnya. Pria itu melempar ponselnya ke arah ranjang dengan kesal, hingga akhirnya pintu kamarnya terbuka dan langsung menampilkan seorang wanita cantik yang wajahnya nampak sedikit lelah."Dari mana saja kau?" tanyanya singkat, sambil terus menatap wanita yang notabene sebagai istrinya itu."Cih! Tumben sekali kau bertanya padaku, Mas? Bukannya beberapa hari ini kau sangat sibuk?" jawabnya acuh, sambil bergerak membuka satu per satu kancing baju yang dikenakannya.Sosok yang menjadi otak penculikan Nara itu mendengkus keras. Dari tempatnya saat ini, dirinya bisa melihat dengan jelas sebuah tanda merah yang ada di beberapa bagian tubuh istrinya itu. Hingga akhirnya, bantal yang ada di sampingnya pun menjadi temp
Bughh!"Awh! Kamu memukulku dengan bantal?" ucap Dimas seraya meraih sebuah bantal yang dijadikan Nara sebagai senjata.Namun sayangnya, Nara tak mau menyerahkan begitu saja. Ia berusaha menahan bantal tersebut, hingga sempat terjadi tarik-menarik di antara kedua insan yang sudah dewasa itu."Aku tidak mau punya anak sebanyak itu, Mas. Bagaimana dengan badanku nanti? Kalau mau, kamu saja yang merasakan hamil dan melahirkan sendiri," tutur Nara yang kembali memukul kekasihnya dengan bantal gulingnya.Mendapatkan perlakuan seperti itu, Dimas justru semakin tertawa lepas. Ia sungguh sangat senang karena telah berhasil menggoda Nara. Hingga akhirnya sedetik kemudian, dirinya pun langsung mendekap tubuh perempuan itu dengan cepat. Dimas melakukan semuanya, sebelum Nara sempat kembali memukulnya dengan bantal."Mas, aku belum mau memikirkan berapa jumlah anak yang harus kita punya. Cukup satu satu saja dulu," ucap Nara yang akhirnya pasrah di d
"Pak Dimas! Selamat atas pernikannya, semoga rumah tangga kalian bisa selalu harmonis dan bahagia sampai tua nanti," ucap seorang pria berkepala botak itu, sambil sedikit menepuk bahu Dimas.Jujur, yang menjadi perhatian Dimas dan Nara saat ini bukanlah kedatangan dan ucapan selamat dari pengusaha kaya itu. Akan tetapi ada sosok lain yang berdiri di sampingnya, yang jauh lebih mengundang rasa penasarannya."Oh iya, kebetulan saya ke sini bersama Bella. Pak Dimas dan Nara sudah kenal Bella 'kan? Kebetulan sekarang dia sudah resmi menjadi model pada salah satu anak perusahaan saya yang baru. Jadi setelah sempat melaksanakan meeting tadi, saya langsung mengajaknya ke sini. Tidak apa-apa, 'kan?" tanya pria bernama Haris itu, yang juga seketika membuat Dimas tersadar."Ah, iya. Tidak apa-apa, Pak. Kami justru akan senang, jika semakin banyak tamu yang datang ke sini. Selamat juga ya, Pak. Atas lahirnya anak perusahaan Bapak yang baru, maaf waktu itu saya tidak
Tokkk! Tokk! Tokk!"Nara? Kamu kenapa, Sayang? Kenapa lama sekali di dalamnya?" tanya Dimas khawatir, sambil terus mendekatkan telinganya ke arah pintu."Aku ... Aku tidak apa-apa, Mas!" teriak Nara yang sedari tadi tak kunjung keluar dari kamar mandi.Mendengar suara yang terbata-bata itu, sungguh membuat Dimas merasa tak tenang. Ia khawatir pada istrinya, terlebih tadi dirinya sempat melihat sendiri raut wajah yang seperti sedang menahan rasa sakit.Selepas acara pesta pernikahan selesai, Nara dan Dimas memang sudah langsung kembali ke apartemen. Mereka berdua memang sengaja memilih untuk tidak menginap di hotel terlebih dahulu, karena ingin segera mempersiapkan keberangkatannya ke Maldives besok pagi."Apa sebelumnya aku sudah tidak sadar menyakiti Nara? Apa tadi aku sudah terlalu kasar dengannya?" gumam Dimas bertanya-tanya dalam hati."Ah, tidak mungkin! Aku hanya baru menyentuh bibirnya dengan lembut dan pelan kok. Selain itu, aku juga sudah menggosok gigi terlebih dahulu tadi.
"Cepat angkatlah!" geram Dimas tertahan, di saat panggilan teleponnya tak kunjung dijawab oleh seseorang di seberang sana.Brukk!"Sial! Kenapa sulit sekali untuk mengungkap semuanya dengan cepat! Aku sungguh tidak bisa sabar menghadapi hal ini!" teriak Dimas yang sekali lagi menendang sebuah meja yang ada di hadapannya.Saat ini, Dimas memang sudah tak berada di kamar lagi. Pria itu kini sedang berada di ruang kerjanya, meninggalkan Nara yang sudah tertidur pulas di kamar untuk menghubungi seseorang. Akan tetapi sayangnya, orang yang sangat dibutuhkannya itu malah tak kunjung menjawab panggilannya sedari tadi.Kesal! Dimas sungguh sangat kesal, karena ia sudah tak sabar lagi!Rahangnya mengeras, di saat setiap kali benaknya mengingat tangisan Nara. Hatinya terasa tersayat, di setiap kali ia mengingat ekspresi ketakutan istrinya itu. Ia takut dengan apa yang telah dikhawatirkan oleh istrinya tersebut, terlebih segala pemeriksaan dokter ta
"Ah, tidak! Aku tidak apa-apa, Sayang. Lebih baik sekarang kamu bersiap-siap saja dulu, sebelum nanti kita berkeliling di tempat ini," ucap Dimas dengan langsung meredupkan layar ponselnya, dan segera memasukkannya kembali ke dalam saku.Dimas mengecup dahi istrinya sesaat, untuk menenangkan hatinya yang sempat panas. Hingga akhirnya setelahnya, ia pun menjauhkan diri dari Nara terlebih dahulu ke toilet untuk menghubungi seseorang."Halo, Marvori! Tolong cari orang yang bisa melacak nomor yang sudah aku kirimkan itu! Aku butuh mengetahuinya segera, dalam hari ini juga!" perintah pria kaya raya itu dengan tegas, hingga langsung kembali mematikan sambungan teleponnya.Bughh!Terdengar suara pukulan kencang setelahnya, sampai akhirnya pukulan itu terus berlanjut seiring dengan amarah Dimas yang kian meletup-letup. Darahnya memang sudah benar-benar mendidih saat ini!"Kenapa semakin lama masalahnya semakin runyam seperti ini sih? Bagaimana jika nanti pengirim pesan misterius ini benar-ben
"Katakan padaku, Mas! Kenapa nomor ini bisa mengirimkan pesan seperti ini padamu? Siapa dia, Mas! Kenapa dia tega sekali mengancammu dan diriku?" lirih Nara sambil memegang erat ponsel suaminya.Untung saja, tadi Nara belum sempat mengunci kamar mandi. Sehingga Dimas bisa langsung masuk ke dalam sana tanpa mengalami kesulitan, dan juga bisa langsung melihat keadaan istrinya yang nampak sangat syok dengan beberapa pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya.Ceroboh! Dimas benar-benar merasa sangat ceroboh!Bisa-bisanya ia tidak mengingat keberadaan ponselnya, sehingga Nara bisa dengan mudah melihatnya dan membaca segala pesan ancaman yang telah berupaya ia tutupi sedemikian mungkin sebelumnya."Nara, aku harap kamu—""Tadi pemilik nomor telepon ini menghubungimu, Mas. Dia memintamu untuk segera membawaku pulang sekarang juga!" potong Nara dengan air mata ketakutan yang tak terbendung lagi.Terlihat jelas kini kedua tangannya sedang bergetar hebat. Sehingga Dimas yang melihatnya pun
"Tapi, Mas. Aku ....""Ssttt! Sudah aku bilang aku tidak peduli dengan apa pun, Sayang!" potong Dimas dengan cepat sebelum istrinya itu kembali menyambungkan ucapannya yang terhenti.Saat ini Dimas telah berhasil membaringkan tubuh Nara ke atas sebuah ranjang besar yang tersedia di dalam kamar yang kaca jendelanya terhubung langsung dengan pemandangan indahnya lautan luas.Di sana, di kamar itu, adalah tempat yang akan menjadi saksi bisu penyatuan cinta Dimas dan Nara.Kedua pasangan suami istri itu kini mulai hendak melanjutkan apa yang telah terjadi di dalam kamar mandi, dengan terus saling memancarkan pandangan yang penuh akan cinta dan kasih sayang pada satu sama lain."Aku tahu, pasti segala masalah yang terjadi beberapa hari kebelakang ini sangatlah berat untukmu. Akan tetapi tolong izinkanlah aku untuk menghapus semua kesedihanmu saat ini, Nara. Aku ingin menciptakan kenangan manis di tempat yang indah ini bersamamu, Sayang," ucap Dimas lebih dulu, sebelum benar-benar melanjutk