"Mas, aku mau ikut ya? Please? Aku enggak mau tinggal di rumah sendirian, Mas. Boleh ya, Mas?"
Di pagi-pagi seperti ini, Nara sudah merajuk meminta ikut suaminya yang ingin pergi berangkat kerja. Bahkan sedari tadi perempuan itu tak kunjung mau melepaskan pelukannya, sebelum dirinya benar-benar diizinkan ikut.Padahal sebenarnya, Dimas masih ada agenda lain pada hari ini. Ini tak hanya tentang pekerjaannya saja, akan tetapi juga tentang hal lain yang menurutnya jauh lebih penting."Mas, ayolah. Aku hanya mau ikut denganmu saja. Aku janji, aku tidak akan menggangu pekerjaanmu kok," bujuk Nara sekali lagi, sambil bergelayut manja di lengan kekar suaminya itu."Hufftt, Sayang," ucap Dimas akhirnya, ketika jari lentik istrinya itu kini mulai bermain-main sedikit nakal di bajunya."Iya, Mas?" Nara mendongakkan sedikit kepalanya. "Jadi aku boleh ikut ya?" tanyanya lagi dengan kedua netra yang mengerjap.Kalau sudah memohon-mohon sepert"Bi? Bi Inah?""Eh iya, Nyonya? Maaf, tadi Nyonya tanya apa?" tanya Bi Inah balik dengan ekspresi wajah yang terlihat sedikit berbeda dari yang sebelumnya.Entah kenapa Nara bisa merasakan perbedaan itu, walau kenyataannya Bi Inah tengah berusaha tersenyum seperti biasa kepadanya."Tadi aku bilang, sepertinya Bi Inah sudah sangat dekat dengan Mas Dimas dan keluarganya yang lain ya?" tanya Nara sekali lagi, dengan berusaha menepis sekelebat kecurigaan yang sempat muncul di dalam hatinya."Ah, itu ya. Sebenarnya tidak terlalu, Non. Saya hanya dekat dengan keluarga Mas Dimas sebatas hubungan pembantu dan majikan saja. Saya bekerja dengan orang tua Tuan Dimas, semenjak Non Chintya remaja. Walau pada saat ini Tuan Dimas dan Nona Chintya sudah bukan lagi anak-anak, akan tetapi tetap saja mereka berdua sering bercanda dan sesekali membuat keributan kecil. Hubungan Tuan Dimas dan Nona Chintya pada waktu itu benar-benar sangat dekat, Nyonya. Mereka berdua adalah adik kakak yang saling melengka
Nara cukup terkejut, ketika ia menyadari suara siapa yang telah berbicara kepadanya melalui sambungan telepon tersebut. Namun karena ia tak mau gegabah, dirinya pun akhirnya memutuskan untuk mengabaikan panggilan itu terlebih dahulu sambil menunggu balasan pesan dari seseorang.Nara masih mengingat jelas kata-kata Dimas, sehingga dirinya tak lagi melakukan sebuah sikap yang gegabah. Apa lagi saat ini, dirinya sedang mengandung hasil buah cintanya bersama pria kesayangannya tersebut.Tokk! Tokk! Tokkk!"Iya, silakan masuk!" ucap Nara hingga sedetik kemudian pintu kamarnya itu terbuka dengan lebar.Di sana ternyata sudah ada Bi Inah yang muncul dengan sebuah nampan berisikan semangkuk sup hangat dan juga segelas air putih, yang sedang menatapnya dengan alis sedikit mengerenyit heran."Apa ada lagi yang bisa saya bantu, Nyonya?"Sejenak Nara berpikir, sambil menggenggam erat telepon genggamnya. Ia sempat menggeleng sesaat, hingga akhirnya Bi Inah berbalik dan ingin pamit keluar. Namun sa
"Huekkk! Huekkk!"Pagi ini sudah kurang lebih lima kali Nara bolak-balik ke kamar mandi untuk melepaskan segala rasa mualnya, akan tetapi entah kenapa rasa yang cukup mengganggu itu tak kunjung hilang dan bahkan terasa semakin memburuk. Rasanya Nara benar-benar tak kuasa lagi. Kedua kakinya sudah lemas, begitu pula dengan kepalanya yang semakin terasa pusing. Ia ingin terjatuh, akan tetapi untung saja ada uluran dua tangan yang langsung sigap menahan dan mendudukkan tubuhnya tepat di atas sebuah keramik yang ada di samping wastafel."Nah, 'kan? Aku bilang apa?"Dua kalimat itu langsung membuat Nara menghela napasnya, dan menunduk menyesal. Ia biarkan pria yang sudah berjas dan berdasi rapi itu mengusap bekas-bekas tetesan air di wajahnya, dan juga membiarkan pria tersebut menguncir rambutnya meski tak serapi ikatannya."Aku tidak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan yang seperti ini, Sayang. Jadi tolong, tolong jangan paksa aku untuk berangkat kerja lagi. Aku bosnya, jadi tidak mungk
Klikk!Nara langsung menoleh kecewa, tepat setelah Dimas mengalihkan saluran televisi yang tadi telah berhasil memantik rasa penasarannya. Ia berusaha meraih sebuah benda berbentuk persegi panjang tersebut, akan tetapi sayangnya suaminya itu malah menyembunyikannya di balik badan."Hufftt, Mas! Kenapa diganti? Aku mau dengar berita tentang Bella yang tadi dulu, Mas," keluh Nara yang akhirnya menyerah, karena ternyata remote televisi itu benar-benar diduduki oleh Dimas."Tidak, Sayang. Beritanya sama sekali tidak menarik, aku tidak suka. Lebih baik kita menonton acara anak-anak ini saja, sambil membayangkan nanti anak kita bisa bernyanyi dan bermain dengan girang seperti itu," ucap Dimas tak menyetujui.Pria itu langsung berlagak menikmati acara, dengan tersenyum dan bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh para anak kecil yang berbakat dan menggemaskan.Sementara Nara, ia malah semakin mengerucutkan bibirnya. Melipat
Tokk! Tokk! Tokkk!"Permisi, Tuan. Saya ingin mengantarkan sarapan!""Nah, itu dia! Sudahlah, lebih baik kita sarapan dulu. Matikan saja Tv-nya ya? Lalu kita makan," ucap Dimas yang langsung segera beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu.Akhirnya, Dimas bisa mempunyai sebuah alasan yang mampu mengalihkan pikiran Nara. Ia masih tidak mau membiarkan wanitanya itu memikirkan orang lain, apa lagi orang lain tersebut sering sekali berbuat jahat."Nah, ini dia makanannya. Ayo, kita makan!" lanjut Dimas dengan senyum sumringah, sambil membawa sebuah nampan yang penuh dengan sangat hati-hati.Namun sayangnya, melihat hal itu malah membuat kedua alis Nara mengerenyit heran. Ia menoleh sekurangnya tiga kali ke arah pintu, hingga kembali menatap Dimas yang kini sudah berhasil menaruh nampan yang berisikan sup hangat tersebut tepat ke atas sebuah meja kecil yang ada di sisi kasurnya."Lah, kok kamu sendiri? Bi Inah ke mana?
"Woah! Apa aku tidak salah lihat?" ucap seseorang yang baru saja datang dengan sebuah borgol yang mengikat kedua pergelangan tangannya.Sosok itu terlalu ceria untuk seseorang yang baru saja mendekam di penjara. Tak ada raut wajah sedih, atau pun sedikit rasa bersalah seperti para tahanan yang lain. Ia nampak terlihat sangat menikmati semuanya, hingga membuat seorang wanita yang sudah sedari tadi duduk di dalam sebuah ruang tunggu itu mendengkus dan tersenyum miring."Cukup! Sudahi basa-basimu! Aku tahu kau bahagia di atas penderitaanku!"Evan membalasnya hanya dengan tersenyum singkat, seraya duduk tepat di hadapan wanita yang sudah dua kali menemuinya dengan santai.Catat, hanya dua kali setelah dirinya hampir seminggu lebih di penjara. Menurutnya itu adalah sebuah rekor yang cukup buruk, apa lagi kemarin ini ia sempat sangat membutuhkan bantuan pada sosok yang masih berstatus sebagai istrinya tersebut."Aku bahagia di atas penderitaanmu? Sepertinya kamu salah, Bella. Aku hanya seda
Suara pecahan kaca yang cukup terdengar kencang itu, seketika saja ampuh membuat Nara langsung terbangun dari tidur lelapnya. Dengan cepat perempuan itu segera berpindah posisi dari tidur menjadi duduk dengan raut wajah terkejut, hingga akhirnya baru menyadari keberadaan sang suami yang kini sudah berada di sisinya."Suara apa itu, Mas? Apa yang pecah di saat malam-malam seperti ini?" tanya Nara yang hendak mendekat memeluk sang suami, akan tetapi urung karena teringat dengan aksi mogok bicaranya.Hufftt, memang dasar perempuan. Gengsinya memang selalu tinggi. Mungkin kalau gengsi adalah sebuah jenis pohon, mungkin sudah tumbuh dengan sangat subur dengan dahan dan ranting besar yang sehat."Ya sudah kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaanku, biar aku saja sendiri yang langsung mengeceknya sendiri!"Padahal saat ini situasi terasa cukup mencekam dan lumayan menakutkan, akan tetapi tetap saja Nara tak mau melupakan sejenak rasa kesalnya D
"Jangan ke sana, Tuan!"Seorang pria botak dengan kaos polos yang mencetak jelas tubuhnya itu langsung dengan cepat mencegah langkah kaki majikannya. Ia berdiri di sana sesaat, hingga sedetik kemudian langsung menunjuk ke arah beberapa keping kaca yang belum selesai dibereskan."Lalu, kenapa dari tadi tidak ada laporan yang masuk? Sedang apa kalian semua? Main-main?" tanya Dimas dingin, sambil sedikit mengangkat kepalanya.Tatapan pria itu, jelas menggambarkan kemarahan. Kedua tangannya terlipat di depan dada, dengan satu kaki yang sedikit melangkah lebih maju dari tempat berdirinya. Aura kasih sayang yang tadi sempat terlihat, kini jelas seketika berubah dengan drastis. Dimas marah, karena sedari tadi tak ada satu pun anak buahnya yang memberikan laporan kelanjutan kepadanya."Maaf, Tuan. Tadi sebagian dari kami sedang berusaha mengejar seseorang yang dicurigai oleh pelaku, akan tetapi sayangnya orang itu kabur tanpa jejak," jelas sosok itu denga