Mobil semakin melaju dengan kencang, seolah sedang berpacu dengan waktu. Tampak wajah Misty dan Koma yang cemberut karena dipaksa untuk duduk bersebelahan di kursi belakang. Sementara Azzalyn duduk di depan bersama Bintang, karena mereka memang berniat untuk membicarakan masalah pembunuhan Paman Bandi.“Dwita yang memberitahuku, kalau beberapa bulan yang lalu ada salah satu anak buah kepercayaan Mamanya yang disuruh pulang kampung. Namanya Harjiman.” Sampai di sini kalimat Bintang berhenti. Seolah sedang menunggu respon dari Azzalyn.“Bukankah Jiman itu adalah nama anak buah Paman Bandi yang waktu itu kita curigai karena ia tak datang lagi saat Paman Bandi turun melaut waktu kejadian itu?” Tanya Azzalyn memastikan. Bintang mengangguk. “Dan Dwita bilang, Harjiman itu dulunya adalah seorang anggota pasukan khusus di kepolisian. Ia punya banyak keahlian, salah satunya adalah sebagai perakit dan penjinak bom.”“Jadi kemungkinan besar memang dia.” Ujar Azzalyn. “Apa Dwita bilang dia p
“Menurutku yang membuat setumpuk baju terjatuh di lantai itu adalah Om Reinhart sendiri. Mungkin dia sudah menyadari kalau ada yang mengawasi rumahnya begitu kalian keluar. Dan dengan cepat dia ke kamar, membuka lemari dan mengeluarkan tas atau apa pun itu, yang aku tebak sudah lama ia persiapkan jauh-jauh hari, takut kalau terjadi hal-hal seperti ini. Jadi dia sudah mempersiapkan semua hal-hal penting yang bisa dia ambil dan bawa kapan pun hanya dengan sekali gerakan. Jadi, saat ada orang yang mengetahui keberadaannya di sini dan berusaha untuk membahayakan hidupnya, Om Reinhart sudah mempersiapkan segalanya dan lari sebelum orang-orang itu menangkapnya. Menurut tebakanku, dia lari lewat pintu belakang, karena itu kalian lihat pintu itu tadi dalam keadaan tak terkunci. Dan kemudian ia melompat keluar pagar dengan tangga yang ada di tembok belakang.”Begitu detail penjelasan Koma. Membuat ketiga orang di depannya memandang kagum. Ternyata dia memang bukan orang yang bisa diremehkan s
Reinhart sama sekali tak berani bersuara. Ia benar-benar merasa sangat ketakutan. Sementara bunyi ketukan di pintu depan masih terdengar, meski tak sekuat tadi.“Kok kayak nggak ada orangnya ya? Apa udah check out?” Reinhart menajamkan telinga, berusaha untuk menangkap dan mengenali suara siapa yang ada di luar.Suara ketukan terdengar lagi. Kali ini disertai panggilan.“Permisi Pak. Apa Bapak ada di dalam? Anu, di lobi ada yang cari Bapak.”Reinhart mulai berani mendekat ke arah pintu. Setelah memastikan kalau yang berada di depan itu adalah pegawai hotel, Reinhart membuka pintu kamarnya.“Ya. Ada apa?” tanya Reinhart.“Di lobi ada yang cari Bapak. Kemarin Bapak ada pesan kan? Kalau ada anak perempuan bernama Misty yang cari Bapak, kami diminta untuk memberitahu terlebih dulu ke sini.”“Iya. Mereka ada berapa orang?”“Tiga orang Pak. Yang satunya laki-laki.”“Yang dua orang itu, ada nyebutin namanya nggak?”“Ada Pak. Mbak Azzalyn sama Pak Bintang namanya.”Reinhart berna
“Mau apa kamu?” Bentak Misty judes.“Turun sekarang. Biar aku yang bawa motornya.”“Pa an sih? Ngigau kali nih orang.” Misty makin berang.“Kenapa Koma?” Tanya Reinhart.“Maaf Om. Biar saya aja yang bawa motornya. Kalau berkendara sendirian malam-malam begini, terlalu berbahaya buat perempuan.” Jawab Koma.Azzalyn, Bintang dan Reinhart akhirnya paham. Ternyata Koma hanya menawarkan diri untuk mengantar Misty. Namun sebaliknya, Misty justru merasa tersinggung. Ia pikir, Koma sedang meremehkan dirinya.“Sok tau! Memangnya kamu pikir aku selemah itu? Aku nggak pernah takut meski harus pulang sendiri. Karena selama ini aku sendirian aja ke mana-mana.”“Sekarang ini musim begal. Apalagi jalan di sini kebanyakan sepi dan gelap. Kamu nggak takut motor kamu dirampok begal?” “Trus apa peduli kamu? Aku mau dibegal kek, mau dirampok kek, mau diculik kek. Apa urusannya sama kamu? Oh, aku tahu. Sebenarnya kamu itu yang begal. Sok baik padahal kamu yang punya niat nggak bener.” Misty mengo
Jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Bintang terlihat sibuk membersihkan meja makan. Ia dan Reinhart baru saja selesai sarapan. Meski mungkin mereka tak cukup tidur, tapi mereka tetap bangun pagi. Apalagi Bintang harus bekerja. Sementara Reinhart memang tak terbiasa bangun siang.“Kamu pulang kerja jam berapa Bintang?” Tanya Reinhart sambil membantu mengumpulkan piring kotor. Bintang yang melihat Reinhart ikut sibuk, secepat kilat mengambil piring yang ada di tangan lelaki paruh baya itu.“Nggak usah, Om. Biar saya aja. Om nggak usah repot-repot.”“Yah jangan gitu lah. Om nggak enak kalau nggak ngapa-ngapain. Apalagi Om di sini Cuma numpang. Seenggaknya bantu beberes kan?”“Nggak usah Om. Saya nggak anggap Om lagi numpang, tapi lagi nemenin saya. Saya senang Om di sini, jadi saya punya teman ngobrol kalau pulang malam.”“Jadi kamu pulangnya malam?” Reinhart meminta jawaban dari pertanyaan yang tadi belum sempat dijawab oleh Bintang.“Selama ini sih memang saya lebih suka
“Dwita??” tanya Azzalyn, seperti memastikan siapa perempuan yang mengangkat telepon Bintang.Azzalyn berniat menanyakan keadaan Reinhart yang berada di rumah Bintang. Tak disangka, saat ia meneleponnya, yang terdengar justru suara seorang wanita di seberang sana.“Iya. Kenapa kalau ini aku? Ngapain kamu pagi-pagi udah nelfon Kak Bintang?!” suara Dwita terdengar judes. “Memangnya kenapa? Nggak ada larangan kan kalau aku nelfon dia? Kamu siapa sampai protes kayak gitu?” balas Azzalyn tak kalah sengit.“Kak Bintang mau ngantar aku pergi kerja. Jangan ganggu dia!”“Bodo amat! Lagian kamu sendiri aja pagi-pagi udah ada di sana dan minta antar kerja. Kamu pikir Bintang ikhlas ngantar kamu? Ingat, tempat kerja kamu sama Bintang itu berlainan arah. Kamu minta antar kerja, bisa-bisa dia yang terlambat ngantor. Dasar anak nggak punya pikiran!”“Nggak peduli. Yang penting Kak Bintang ngantarin aku. Bilang aja kamu iri...”Belum sempat Dwita menyelesaikan kalimat, Bintang sudah merebut po
“Nggak makan dulu?” Tanya Koma saat menemui Misty yang duduk menunggu di lobi hotel tempatnya menginap.“Nggak usah, aku masih belum lapar. Ini kan masih sore. Mending kita jalan sekarang biar nggak terlalu malam di jalan.” “Tapi kan aku janji traktir makan.”“Nanti kita singgah makan di jalan aja. Kayak tempat kemarin.”“Ya udah, tunggu sebentar aku ambil barang-barangku dulu di atas.”Koma kembali ke kamar dan mengambil beberapa barang bawaannya yang tidak terlalu banyak. Bisa dibilang hanya sebuah waist bag dan baseball cap kesukaannya. Ia segera turun dan menyerahkan kunci pada resepsionis.“Cuma segini aja barang bawaan kamu?” Tanya Koma, saat melihat hanya ada sebuah kardus di sepeda motor dan tas ransel yang dipakai Misty.“Iya. Barang-barangku emang nggak banyak. Aku Cuma hidup sendiri dan ngekos.”Koma sempat terdiam. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa simpati dengan gadis mungil di hadapannya itu.“Ayo jalan. Malah ngelamun!” omel Misty.Koma menghidupkan motor. Ia
“Masuklah, Azzalyn.” Bintang mempersilahkan Azzalyn masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya gadis itu sempat menunggu agak lama di depan pintu rumah Bintang. Seperti sebelumnya, Bintang sibuk merapikan kekacauan di dalam rumahnya. Azzalyn mengangguk dan langsung masuk menuju ke ruang tengah. Tempat biasa Bintang berbaring sambil menonton TV. Di situ, sudah ada Reinhart yang sedang asyik makan buah potong sambil menonton acara komedi. Ia terlihat hanya memakai kaos singlet dan celana pendek. “Malam Om...” Azzalyn menyapa Reinhart dengan ramah sambil menganggukkan kepalanya. “Eh, ada Azzalyn rupanya.” Reinhart refleks berdiri dan menunjuk ke arah sofa. “Duduk...” katanya lagi. “Makasih Om.” Reinhart kembali duduk saat Azzalyn sudah lebih dulu duduk. “Mau minum apa, Azzalyn?” tawar Bintang. “Kalau ada, air putih dingin aja Bintang. Oh iya, di jalan tadi aku beli ini buat camilan.” Azzalyn menyerahkan sebuah kantong plastik yang sejak tadi ia pegang. Ia lupa menyerahkannya pada B