Esoknya, setelah memimpin rapat di kantor, Vinn kembali ke ruangannya. Ia ingin beristirahat sejenak sebelum melanjutkan aktifitasnya. Tak lama kemudian, seseorang masuk. Sekretaris membawakan teh panas yang ia pesan beberapa menit lalu. Wanita dengan blouse mocca itu meletakkan teh di atas meja. "Bapak butuh sesuatu yang lain?" tanya wanita bernama Lauren itu. "Segera berikan rekap laporan hasil meeting tadi. Saya tunggu dalam tiga puluh menit," ujar Vinn. "Baik, Pak."Vinn menyesap sedikit tehnya lalu beralih pada ponsel. Benda pipih seharga dua puluh juta rupiah itu bergetar lebih dari sekali. Ada empat pesan masuk dari Daniel. Satu teks dan tiga lainnya berupa foto.[Saya telah memeriksa sketsa-sketsa dari flat Pak Didi. Sketsa itu mirip dengan logo perusahaan pengiriman milik Tuan Ray]Jemari Vinn berpindah pada foto-foto. Jika diperhatikan sketsa itu memang mirip dengan logo. Berbentuk diamond dan pada bagian atasnya terdapat spiral.'Tuan Ray?' Vinn masih ingat betul pria t
Beberapa saat sebelumnya.Salah seorang pelayan membuka pintu kamar Clara. Kebetulan sore itu si penghuni kamar baru selesai mengganti pakaian usai berendam di bath up mewah yang bisa diisi dua orang sekaligus. "Nona, ini jus pome dan pastry cake. Makan malam akan saya antar dua jam dari sekarang," ujar pelayan muda yang tak pernah Clara lihat sebelumnya."Iya, letakkan saja di meja. Kau pelayan baru?" tanya Clara sambil menepuk-nepuk pipinya usai menuangkan toner pada telapak tangan. Meski statusnya sebagai tawanan, Martin menyediakan semua perawatan yang ia butuhkan. "Benar, Nona." Si pelayan tersenyum ramah dan ceria. "Siapa namamu?" Clara mendekat. "Rianna April. Nona bisa memanggil saya Anna.""Nama yang bagus," puji Clara. Setelah lebih dari sebulan tinggal di bangunan besar ini, ia baru menemui pelayan berwajah ramah. "Terima kasih, itu adalah pemberian dari nenek. Apa Nona ingin saya bantu merapikan rambut?" tawar Anna yang kala itu menggunakan apron hitam. "Memangnya
Vinn turun dari mobil dan mengedarkan pandangan pada sekitar. Angin malam berhembus, menerpa kulitnya yang putih pucat. Beberapa saat yang lalu ia dan Daniel memasuki area gudang MXC Express. Dari tempatnya berdiri, hanya terlihat pepohonan rimbun. Menurut Vinn, Tuan Ray memilih lokasi yang cukup aneh untuk sebuah gudang. Atap gudang tampak menyembul di antara pucuk-pucuk pohon.Dari satu arah, Daniel muncul dengan jaket dan topi biru, persis dengan yang Vinn pakai. Dua pria itu sedang memakai seragam pekerja di gudang milik Tuan Ray. "Karyawan yang menjaga saat malam ternyata cukup banyak. Di luar gudang saya melihat ada lebih dari sepuluh orang dan sebagian dari mereka membawa senjata," ujar Daniel memberi informasi. "Apa masih jauh?" Vinn bertanya usai menyimpan pistol pada bagian dalam jaket. Senjata itu sengaja dibawa untuk perlindungan diri. "Tujuh ratus meter dari sini, Tuan.""Baiklah, kita jalan kaki saja melewati pepohonan."Mobil hitam itu mereka tinggakan di tepi jalan
Dengan bantuan Anna, Clara berhasil kembali ke kamarnya tanpa membuat Martin maupun Tuan Ronald curiga. Mereka keluar dari ruang tengah setelah perbincangan antara tiga generasi itu selesai. "Nona? Kenapa Anda menangis?" tanya Anna saat mereka telah sampai di kamar Clara. Clara mengusap bulir bening yang telah berlinang di pipi. Ia bahkan tidak sadar jika sedang menangis. Hatinya memang sedih, tapi rasa khawatirnya jauh lebih besar. Ia tahu pasti nyawa Vinn sedang terancam. "Aku baik-baik saja," jawab wanita dengan dress maroon tersebut. "Nona? Apakah tadi yang Tuan Ronald katakan benar? Kenapa tadi itu seperti percakapan dalam film?"Sama seperti Clara, Anna juga mendengar isi dari pertemuan itu dengan jelas. Tapi saat ini Clara tak tahu harus menjawab bagaimana. Ia terduduk di sofa, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Saya akan mengantar makan malam sesaat lagi. Permisi, Nona."Clara hanya mengangguk kecil dan membiarkan pelayan itu pergi. Baru saja ia bangkit dan hendak berpi
Pintu keluar bagian belakang gudang masih dijaga oleh Gandhi dan Roma. Dua pria itu saling pandang ketika menyadari dua 'anak baru' ingin keluar lagi. "Mau ke mana lagi kalian ini?" tanya Roma. Daniel mendekatinya hanya untuk mengembalikan satu kotak rokok yang masih utuh. Ia juga membisikkan sesuatu. "Kerja yang giat."Roma menatap kotak rokok dan Daniel secara bergantian, bingung. Tapi Daniel tak ingin membuat Vinn menunggu. Ia segera mengimbangi langkah Vinn yang telah berjalan mendahului. Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar keributan. Roma dan Gandhi serempak menoleh. Tiga pekerja lain tengah berlari ke arah mereka. Salah satunya meneriakkan beberapa kata dengan suara lantang."Dua orang itu penyusup! Tangkap mereka!"Sementara Vinn dan Daniel telah memasuki rimbunnya pepohonan. Dua orang itu berlari. Mereka tahu saat ini para penjaga gudang itu sedang mengejar. Dor!Terdengar bunyi tembakan belasan meter di belakang mereka. Vinn mengeluarkan pistol dan Daniel melakukan h
Vinn dalam perjalanan ke kantor pusat kala pamannya, Tuan Bara menelepon dan memintanya untuk datang ke rumah sakit saat itu juga. "Kita ke rumah sakit sekarang," titahnya pada Daniel yang langsung mengangguk patuh. Si tuan muda duduk termenung di kursi belakang mobil, mengingat kejadian semalam. Ia dan Daniel hampir saja tertangkap oleh para pekerja Tuan Ray. Beruntungnya mereka berhasil lolos. "Apa kau sudah melakukan apa yang kuminta?" Vinn memberi pertanyaan berkaitan hasil temuannya dari salah satu guci di gudang milik Tuan Ray. "Sudah dan perkiraan Anda benar, Tuan. Itu adalah obat-obatan terlarang sejenis opium yang bahkan lebih murah dari heroin."Vinn telah banyak mendengar zat adiktif dari Rusia tersebut. Sebenarnya pembuatannya telah lama dihentikan. Efeknya lebih kuat dari morfin. Tak hanya itu, secara fisik, obat berbahaya tersebut bisa membuat bagian tubuh pemakai lepas dengan sendirinya. Tak ubahnya seperti zombie. "Efeknya begitu mengerikan. Saya juga curiga jika
Clara membuka mata dan merasakan tangan dan kakinya terikat. Mengerjap beberapa kali, ia baru menyadari jika saat ini ia telah berada di kamarnya. Kamar mewah yang lebih tepat disebut sebagai penjara. "Sudah bangun?" Martin bersuara dari sofa yang hanya berjarak tak lebih dari dari tiga meter di samping ranjang. "Martin, lepaskan aku!!" ujar Clara sambil meronta. Tapi ikatan scraft pada kedua tangannya terlalu kuat. "Melepaskanmu? Tidak, tidak. Kali ini aku tidak akan menjadi orang yang bisa kau bodohi. Pagi tadi saja kau hampir saja kabur." Si tuan muda Hazard bangkit dan menghampiri tepian ranjang. Clara menatap Martin dengan was-was. Pria itu tersenyum aneh, membuatnya merasa tidak aman. Semua tentang Martin membuatnya muak, baik sosok maupun auranya. Ditambah saat ini ia dalam keadaan terikat. "Kenapa aku diikat? Kamu mau apa sebenarnya?" tanya Clara. Pergelangan tangannya terus bergerak berharap ikatan bisa melonggar. Namun yang terjadi justru timbul lecet pada kulitnya. "S
Suasana ruangan bernuansa abu dan putih itu menjadi sedikit tegang. Kakek Richard masih menunggu kalimat selanjutnya, ingin mengetahui apa yang sebenarnya Tuan Ray inginkan dengan menyebut cucunya sebagai penyusup. "Aku tahu cucu Anda adalah orang yang jujur, lurus, dan bisa diandalkan. Tapi bukan berarti dia tak mempunyai sisi buruk. Aku bisa menjamin Vincent dan satu orang lain bawahanmu melukai dua pekerjaku. Aku bisa saja membuat laporan atas tindakan kriminal.""Aku sangat mengenal Vinn. Dia takkan melakukan sesuatu yang tidak beralasan. Vinn, katakan apa tujuanmu datang ke gudang milik Tuan Ray?" Pria renta kembali beralih pada cucunya. Ia menatap Vinn dengan keyakinan. Vinn bungkam. Tentu saja ia tak mungkin jujur tentang penyelidikannya. Tapi ia bisa menangkap maksud mencurigakan dari cara Tuan Ray menatapnya. "Begini saja, ijinkan mereka mengambil kembali barangku dan kuanggap masalah ini selesai. Bagaimana?" Si kolektor dengan topi fedora tersenyum miring. "Cukup sebutka