Lama Dedy memadangi Wati, sebelum akhirnya pria itu berkata, “Tentu aku cinta kamu. Kenapa kamu tanya begitu?”
Tangan Dedy seketika berusaha membuka baju Wati lagi, tetapi Wati menepis tangan Dedy.
“Kalau begitu, kenapa kamu membiarkan aku diperlakukan begini oleh Rara?” tanya Wati pelan.
Dedy mendengkus. Ia menghentikan usahanya dan duduk di atas kasur tipis.
“Semua ini aku lakukan karena aku cinta kamu. Rara itu kaya raya. Dia juga sedang sakit berat, hidupnya mungkin tinggal sebentar. Setelah dia pergi, semua hartanya bisa kita miliki. Saat itu, hanya ada aku dan kamu,” bisik Dedy seraya menatap Wati tepat di manik mata.
“Aku membiarkan dia memperlakukanmu seperti babu, agar dia tidak curiga dengan rencanaku. Percayalah, hanya kamu yang aku cinta,” tambah Dedy.
“Jadi, kamu betul-betul tidak cinta dia, Mas?” tegas Wati.
“Pasti! Rara yang melamarku, bukan aku yang melamarnya. Aku ini lelaki, suka memburu dan bukan barang buruan,” jawab Dedy lagi.
Wati terdiam. Apakah Dedy jujur saat ini ataukah ucapannya kepada Rara yang betul?
Sungguh, Wati tak bisa membaca suaminya itu. Namun, diamnya Wati justru dimanfaatkan oleh Dedy.
Cepat Dedy meraih tubuh Wati. Wati yang kebingungan membiarkan dirinya malam itu diberi nafkah batin.
*****
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wati bangun dengan perasaan yang bersemangat. Setelah diberi nafkah batin semalam, ia merasa kembali utuh sebagai perempuan.
Orang mungkin menganggapnya bodoh. Namun, Wati memilih percaya ucapan Dedy semalam, ketimbang obrolan tak jelas pria itu dua malam yang lalu.
Wati lalu hendak bangkit untuk mengerjakan tugasnya sehari-hari setiap pagi.
Ia melirik Dedy yang masih tertidur pulas di sebelahnya. Saat hendak bangkit untuk pergi, tiba-tiba tangan Dedy mencekal tangan Wati.
“Ah!” Wati terpekik kecil, tak menyangka bahwa Dedy sudah bangun.
Lekas-lekas Wati menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangan, takut suaranya terdengar oleh Rara di kamar seberang. Bila wanita itu mendapati Dedy di kamarnya, pasti dia akan membuat keributan lagi!
“Aku kira kamu masih tidur, Mas,” bisik Wati.
Dedy tidak menjawab. Ia menarik Wati keras-keras sampai Wati tersungkur ke dalam pelukannya. Wati gelagapan.
“Nanti malam kita ulangi lagi,” bisik Dedy.
Wati tertegun. Sementara itu, Dedy sudah bangun dan duduk di sampingnya.
“Kenapa tidak sekarang saja?” pancing Wati. Dia tiba-tiba ingin melihat apakah sang suami berani menuruti nafsunya dibanding kemarahan madunya nanti?
Lama Dedy terdiam, sebelum akhirnya pria itu berkata, “Nanti Rara keburu bangun. Dia pasti marah aku ada di kamarmu tadi malam.”
Dedy lalu berdiri dan berlalu pergi.
Kekecewaan datang di hati Wati begitu mendengar Dedy membuka pintu kamar di seberangnya. Tak lama, pria itu masuk dan mengunci pintu.
Wati tahu bahwa Dedy telah pindah tidur ke kamar Rara–seolah tak menghabiskan satu malam pun dengan Wati.
******
Sepanjang hari, Wati mengerjakan segala pekerjaan rumah dengan penuh rasa kecewa. Meski demikian, semua dilakukannya dengan baik. Tubuhnya seolah bergerak otomatis.
Pada pukul 8 pagi, Rara belum keluar dari kamarnya. Tidak biasanya, Rara bangun sesiang ini.
Seketika, Wati termenung. Apakah Rara sakit ataukah Dedy yang menahannya untuk bangun?
Wati diliputi perasaan cemburu.
“Mbak, sarapanku mana?” teriak Rara begitu keluar dari dalam kamar.
Wati yang sedang mencuci peralatan bekas memasak, terlonjak kaget. Ia cepat-cepat membasuh tangan yang dipenuhi busa sabun cuci piring, lalu lekas menghampiri Rara di depan kamarnya.
Penampilan Rara terlihat acak-acakan. Dari wajahnya, terlihat jelas bahwa dia baru bangung tidur. Rambutnya yang keriting panjang juga terlihat belum disisir. Sosoknya sangat mirip dengan singa baru bangun tidur.
Rara tidak ada cantik-cantiknya sedikit pun di dalam pandangan Wati. Mengapa Dedy mau menikahinya? Betulkah Dedy menikahinya hanya karena harta?
“Mau aku ambilkan sarapan?” tanya Wati dengan suara yang datar.
“Iya. Bawakan ke kamar. Badanku enggak enak,” ketus Rara. Tanpa menunggu jawaban Wati, Rara masuk kembali ke dalam kamarnya.
Sebelum pintu kamar ditutup di hadapan Wati, ia masih melihat Dedy yang tidur bertelanjang dada di ranjang. Tubuhnya hanya ditutupi selimut dari pinggang ke bawah.
Hati Wati serasa diremas. Wati mengepalkan kedua tangannya. Ia berbalik dan menuju ruang makan dengan perasaan hati yang panas karena cemburu.
Suaminya itu terlihat begitu plin-plan! Semalam beromantis ria dengannya. Pagi ini, sudah berlagak menjadi suami siaga untuk madunya.
“Mas, sebenarnya, apa maumu?” lirih Wati kepada dirinya sendiri. Kebimbangan mulai menyergap benaknya.
Wati beranjak menuju ruang makan, mengambilkan sepiring nasi goreng dan lauk sosis dengan hati yang galau. Ingin rasanya ia pergi dari rumah ini, tetapi ia merasa tak berdaya. Ia takut apabila kabur dari rumah ini, maka ia akan terlunta-lunta di jalanan. Sebetulnya, Wati punya ijazah SMU. Tapi, ijazah itu ia titipkan kepada Bu Nara–ibu pengurus panti tempatnya dulu dibesarkan. Wati melakukan itu karena tidak berpikir bahwa lembaran itu akan berguna. Dia memang tidak berniat bekerja setelah menikah.Saat itu, Wati menyangka hidupnya akan lebih mudah setelah menikah. Sungguh, naif bin bodoh!Nyatanya, kehidupan Wati menjadi lebih rumit dan morat-marit. Apalagi, saat menikah Dedy belum punya pekerjaan tetap.Apabila sudah begini, menyesal rasanya dulu Wati menikah cepat-cepat. Lulus SMU, kenapa dia langsung menerima lamaran Dedy yang berumur dua tahun lebih tua daripada dirinya? Hanya karena sudah berpacaran selama tiga tahun, Wati tak kuasa ketika Dedy terus mendesaknya untuk menika
Belum sempat Wati menjawab lagi, Rara sudah berada di hadapan mereka berdua. Tatapan matanya terlihat tidak suka saat mendapati Wati berbicara di dekat Dedy. Wati mundur, memberikan tempat buat Rara untuk naik ke boncengan sepeda motor Dedy.“Kami pergi sekarang. Jangan lupa antar makan siang buat kami dan pegawai,” ketus Rara.Salah satu tugas Wati mengantarkan makan siang buat Dedi dan Rara, juga beberapa pekerja toko yang berbilang tak sampai lima orang. Rara memerintahkan Wati untuk memasak makan siang bagi para pegawainya, agar dia tak perlu memberi uang makan bagi para pekerja itu.Dedy dan Rara pun berlalu—meninggalkan Wati yang menatap dua sejoli itu pergi. Sambil memandang kepulan asap dari sepeda motor Dedy yang meraung pergi, Wati menentukan sikap. Ia berbalik masuk kembali ke dalam rumah, lalu masuk ke dalam kamarnya.Saat tadi Dedy menolak permintaannya untuk mengunjungi Bu Nara, Wati sudah tahu bahwa Dedy tak akan pernah mengizinkannya menemui Bu Nara. Untuk menemui
Mata ibu pengurus panti terbelalak. Ia seolah-olah tak percaya bahwa betul-betul Wati yang berada di hadapannya saat ini.“Iya, Bu. Ini aku Wati,” kata Wati lalu meraih tangan ibu pengurus panti untuk dicium olehnya. Perbuatan itu sudah biasa dilakukan Wati terhadap ibu pengurus pantinya sejak ia dapat mengingat meskipun umurnya masih kecil.“Masuk, masuk! Kurusan kamu sekarang,” celetuk ibu pengurus panti ramah.Wati tersenyum. Ia menyadari bahwa penampilannya saat ini sama sekali tidak enak dipandang. Tubuh kurus, wajah tidak terurus, dan kulit kering dan pecah-pecah. Masih ditambah lagi dengan pakaian yang melekat di tubuhnya amat lusuh. Berbeda sekali penampilan Wati dengan ibu pengurus panti yang gemuk dan berpakaian layak.“Apa kabarmu, Ti? Kamu sendirian kemari? Suamimu kerja?” tanya ibu pengurus setelah mereka duduk di kursi ruang tamu panti.“Iya, Bu. Mas Dedy kerja,” sahut Wati dengan hati perih.Ia ingin menceritakan seluruh keadaan hidupnya saat ini pada ibu pengurus pan
“Seminggu yang lalu. Ibu sampai bingung, karena kamu kan enggak punya ponsel. Setelah menikah juga kamu baru sekali datang kemari. Ibu sih ingat alamat rumahmu yang dulu, tetapi saat kami datangi ternyata kamu sudah tidak tinggal di situ lagi,” oceh Bu Nara.“Iya, Bu. Saya pindah ke rumah yang lain sudah beberapa bulan,” kata Wati pelan.Ia tak tega untuk mengatakan bahwa ia pindah ke rumah istri baru suaminya. Setelah kabar mengejutkan yang diberikan oleh Bu Nara, Wati mengubah pikirannya untuk curhat dan meminta pendapat Bu Nara tentang hidupnya yang menyedihkan.“Lalu bagaimana dengan kedua orang tuaku, Bu?” lanjut Wati.“Mereka bilang akan terus berusaha mencarimu. Mereka minta fotomu sebagai panduan. Ya, Ibu kasih saja fotomu waktu kamu menikah dengan Dedy,” ungkap Bu Nara.“Awalnya Ibu berharap bahwa mereka akan bisa segera menemukanmu, katanya mereka mau bayar orang untuk mencarimu. Tetapi setelah Ibu melihat kamu datang hari ini, Ibu ragu mereka akan menemukanmu dengan wajah s
“Aku ingin memberi pelajaran dulu kepada Rara dan Mas Dedy, Bu. Mereka sudah memperlakukanku dengan sangat buruk seperti budak. Aku ingin membalas perlakuan mereka.” Penjelasan Wati membuat Bu Nara ternganga. Kemudian, perlahan-lahan raut wajah Bu Nara berubah dan bibirnya membentuk senyuman. “Kamu betul, Ti. Mereka harus menerima balasan setimpal atas perlakuan mereka terhadapmu. Biar tahu rasa,” kata Bu Nara geram. “Iya, Bu. Aku belum akan keluar dari rumah itu sampai mereka dapat ganjaran. Aku akan pergi dari sana setelah waktunya tepat,” tambah Wati lagi. “Jadi bagaimana rencanamu, Ti?” tanya Bu Nara. “Aku akan tetap di sana, sambil pelan-pelan menghancurkan usaha Rara,” ungkap Wati. “Aku ingin dia merasakan tidak punya apa-apa seperti aku saat diperlakukan buruk olehnya,” lanjut Wati. Bu Nara mengangguk-angguk setuju. “Kalau begitu kamu pegang ponsel saja selama di sana, Ti. Biar Ibu bisa menghubungimu kalau ada apa-apa,” saran Bu Nara. “Betul juga. Tapi aku enggak puny
Angkot yang ditumpangi Wati lama berhenti dan diam di beberapa tempat untuk menunggu penumpang penuh. Hati Wati menjadi gelisah.“Pak, cepat jalan, Pak,” pinta Wati kepada supir angkot.“Sebentar, Mbak. Tunggu penuh dulu,” tolak supir angkot.Wati semakin murung. Matahari semakin meluncur turun ke arah barat. Sore semakin gelap. Wati sangat cemas ia terlambat pulang ke rumah dan bertemu Dedy dan Rara yang sudah kembali dari toko.Akhirnya angkot melaju kembali setelah hampir sepuluh menit diam di pangkalan. Wati bernapas lega. Setelah angkot sampai di depan jalan yang menuju rumah Rara, Wati bergegas turun dan membayar.Setengah berlari ia menuju rumah. Jantung Wati berdebar kencang saat mendapati Rara dan Dedy sudah ada di depan rumah dengan raut wajah yang marah. Bahkan Rara tidak hanya melotot dan cemberut, ia juga berkacak pinggang seraya mengentak-entakkan kaki melihat kedatangan Wati.“Bagus! Sudah berani keluar rumah kamu sekarang!” hardik Rara setelah Wati berada di hadapannya
Wati memang sengaja tidak melawan saat Rara menjambak rambutnya tadi. Wati bermaksud bermain halus. Ia tak akan terang-terangan memperlihatkan sikap memusuhi dan melawan Rara. Ia akan tetap bersikap sebagai madu yang tidak berdaya, sementara Wati menyusun rencana untuk menghancurkan Rara di belakangnya.Wati lalu mengunci pintu kamarnya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya selama tinggal di rumah Rara. Setelah merasa yakin pintu kamarnya terkunci dengan baik, Wati mengeluarkan ponsel yang diberikan Bu Nara kepadanya tadi siang ketika ia berada di panti.Wati merebahkan diri pada kasur tipis. Ia mengecek ponsel kecil yang kuno itu. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Bu Nara untuknya. Tak sabar, Wati membuka pesan dari Bu Nara dengan hati berdebar-debar.“Ibu sudah menghubungi keluargamu, Ti. Mereka sangat senang mengetahui kamu sudah ditemukan. Mereka ingin bertemu kamu secepatnya. Mereka ingin menjemputmu besok sore. Kamu mau dijemput di rumah atau di panti?”Wati berbunga-bunga mem
Dedy terdorong ke dalam kamar. Ia melihat Wati bergulung di dalam selimut sampai ke kepala. Jadi betul, Wati ternyata tertidur. Melihat lekuk tubuh Wati yang membentuk di balik selimut, hasrat Dedy semakin memuncak.Dedy menutupkan kembali daun pintu, lalu melangkah mendekati Wati dengan jakun naik turun.Wati yang mendengar pintu berhasil didobrak oleh Dedy, terkesiap di balik selimut. Jantungnya berdebar kencang. Ia takut disentuh Dedy lagi. Sementara langkah-langkah kaki Dedy mendekatinya, Wati berpikir keras cara menggagalkan niat mesum Dedy.Dedy menerkam Wati di tempat tidur.“Aaa!” Wati berpura-pura terkejut dan berteriak keras.Hal itu dilakukannya agar Rara yang mungkin sudah tidur dapat terbangun. Wati sengaja berteriak sekencang-kencangnya. Namun, teriakannya yang baru setengah jalan sudah langsung dipotong oleh Dedy.Dedy menutup mulut Wati dengan mulutnya. Dedy langsung menyerang Wati tanpa basa-basi lagi. Wati gelagapan. Ia panik dan ketakutan. Wati tak mau disentuh lagi