Let's vote :)
Ubud memiliki banyak tempat wisata seni dan wisata alam yang indah dan menyenangkan. Sementara William berkutat dengan urusan bisnisnya, Jelita menghabiskan waktu dengan mengunjungi tempat-tempat wisata yang menarik bersama Wati yang tak pernah jauh-jauh darinya. Wati juga sebenarnya seorang bodyguard yang ditugaskan William untuk menjaga sang kekasih selama berlibur di Bali. Jelita mengunjungi Pasar Seni Ubud yang merupakan surga bagi wisatawan yang ingin mencari pernak-pernik khas Bali. Banyak produk seni anti mainstream yang bisa dijadikan oleh-oleh, tetapi Jelita tak membeli satupun karena dia tak punya teman dekat untuk diberi oleh-oleh. Tetapi Jelita cukup puas hanya dengan melihat-lihat saja. Ternyata di dalam pasar seni ini juga menawarkan aneka kebutuhan sehari-hari seperti buah dan sayuran. Jelita antusias mencicipi aneka jajanan pasar yang dijual di tempat ini, entah makanan ringan, camilan, maupun menu tradisional khas daerah. Hari sudah menjelang siang, tempat itu sudah
Hartono menatap kepada lelaki tinggi berwajah khas asia yang menyodorinya selembar amplop berisi selembar kertas berisi laporan penting. “Sebutkan saja hasilnya,” kata Hartono tanpa repot-repot menoleh kepada orang yang sedang mengemban sebuah misi darinya itu. “Hasilnya 99,99% persis sama seperti dugaan Tuan.” Punggung Hartono membentur sandaran kursi kebesarannya. Kursi pucuk kekuasaan yang didapatinya lewat pertumpahan darah, keringat, dan air mata yang lama mengering. Dia memang sudah menduganya, tetapi tetap saja kekagetan menguasai hatinya ketika dia kini mendengar hal itu sebagai fakta yang tak lagi berupa dugaannya semata. Tangan Hartono terkepal. Ada kabut kesedihan sekaligus kemarahan yang menyelimuti mata dengan kantung kulitnya yang mulai keriput. “Sam sudah tahu?” “Saat ini belum, Tuan.” “Biarkan jika dia mengetahuinya.” “Baik, Tuan.” Sepeninggalan orang yang merupakan kaki tangannya itu, Hartono menghela napasnya dalam-dalam agar dadanya tak dihimpit sesak yang
Bimo menyeberangi kampus dan menuju kafetaria. Sebelum langkahnya mencapai pintu, Rika dan Mona sudah melangkah lebih dulu di hadapan Bimo. “Pagi, Bim …?” sapa Rika sambil menoleh dan melemparkan senyum penuh arti kepadanya. Lalu Rika berbalik badan dengan sikap tubuh yang provokatif, bokongnya bergoyang indah dibalik roknya yang seksi. Bimo bersiul dan mengulum senyum. Dia sudah mencicipi si montok itu di tahun pertama gadis itu kuliah di sini. Bimo sudah tak penasaran lagi seperti apa rupa bokong menggoda itu tanpa balutan kain. Gundukan bokong menggemaskan itulah yang membuat Bimo dulu penasaran ingin bercinta dengannya, tetapi sekali saja sudah cukup. Rasa penasarannya sudah terpenuhi.Bimo memencet bara rokoknya sampai padam sebelum membuangnya ke tong sampah di dekat pintu masuk kafetaria, karena ruangan itu ber-AC dan dilarang merokok tentu saja. Kemudian Bimo berjalan cepat melalui Rika dan Mona, menerobos pintu masuk ke dalam kafetaria. Rupanya sekumpulan mahasiswa dari klub
Auditorium semakin penuh. Bimo menaiki undakan dua-dua sekaligus menuju tempat duduk yang sudah disediakan Stephan di bagian atas. Tepat di bagian belakang, tempat favorit Bimo. Playboy itu tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya yang seksi saat melewati beberapa gadis yang pernah menjadi teman tidurnya, tapi Bimo lupa bagaimana rasa mereka. Bercinta dengan mereka itu cuma iseng, tak ada yang spesial buat diingat-ingat. Kontan saja para gadis itu memekik tertahan, seakan mereka masih punya harapan untuk mendapatkan perhatian spesial lagi dari Bimo yang entah punya ilmu pelet apa, sehingga bisa menjadi salah satu gadis Bimo seperti prestasi tersendiri bagi para wanita itu. Gadis-gadis ramai menyapa Bimo, sebab kehadiran Bimo di kelas selain saat ujian itu kejadian langka. Justru lebih gampang mendapati Bimo di diskotek daripada di kampus seperti sekarang ini. “Bim. Ada tugas yang kudu dikumpul besok, elu udah selesai belum?” “Gue sih udah kelar, Bim. Feel free ya kalau mau nyontek
Sabtu pagi, Jelita bersemangat ingin memasak. Dia ingin mencoba resep-resep baru yang diperolehnya dari koki pribadi Nyonya Marta, yaitu Chef Aryo. Jelita beruntung karena Chef Aryo orang yang tak pelit ilmu. Si chef mengizinkan Jelita menghubunginya kapan saja jika ingin bertanya tentang masakan. Jelita ingin memasak aneka kudapan western untuk teman malam minggunya nanti bersama William. Dia menelepon chef Aryo dan si chef langsung memberinya beberapa tips tentang itu.William tiba-tiba menyusulnya ke dapur. “Sayang, aku hampir lupa kalau ada undangan pernikahan temanku. Aku pergi dulu, ya,” katanya.Jelita menoleh dan melihat William sudah rapi dengan baju batik lengan panjang yang dipadunya dengan celana panjang berbahan kain hitam, terkesan formal dan membalut tubuhnya dengan elegan. Membuat pria itu kian tampan dan berkharisma.“Dengan Nadya?”William mendesah pelan dan mengangguk. Melihatnya, Jelita tak ingin membahasnya lagi. Dia tahu keadaannya memang begini. Bagaimanapun yan
“Nyonya, ada paket dari Jakarta, dari tuan Deni Subrata,” kata Tina yang merupakan asisten pribadi Nyonya Cindy. Nyonya Cindy menerima map cokelat dan membukanya, iapun tertegun melihat setumpuk foto di sana. “Apa ini?” gumamnya sambil melihat lembar demi lembar foto itu. Dan lututnya seketika gemetar, sebab semua foto itu memperlihatkan sosok William dan Jelita yang sedang berlibur di Bali. Mereka berdua tampak lengket dan mesra. Di foto itu William sedang menggandeng Jelita, ada juga yang sedang merangkulnya, bahkan juga … mencium bibirnya! “Kurang ajar …, anak nakal!” Nyonya Cindy geram, dadanya tiba-tiba saja sesak. “Nggak mungkin!” Dia menggeleng keras-keras. Dia tak mengira puteranya bakal jatuh cinta kepada sosok Jelita. Tidak. Tidak boleh! Ini kesalahan fatal. “Nyonya, tuan Deni Subrata menelepon.” Tina berkata sambil memegangi sang nyonya yang terlihat memucat. “Apa perlu saya katakan kalau Nyonya sedang sakit?” ujarnya. “Mbak Minah, … bikinin Nyonya teh panas!” perintah
“Nggak bawa motor, Ta?” tanya Aya karena tadi melihat Jelita diantar ojek online. Aya teman pertama yang Jelita kenal di hari pertama ospek dan mereka menjadi dekat hingga kini. Jelita nyaman berteman dengan Aya karena mereka sering sepemikiran dan sama-sama tak berminat untuk mengimbangi gaya hidup hedonis mahasiswa metropolitan di sekitarnya. Mereka juga datang ke kampus hanya untuk kuliah, sama sekali tak terlibat organisasi kemahasiswaan satu pun. Sama sekali bukan mahasiswa gaul. “Nggak. Soalnya motorku sering tiba-tiba kempes parah, Ay, aku jadi nggak enak karena sering merepotkan Bimo. Dia selalu bantu ngurusin motorku ke bengkel, tapi nggak pernah mau diganti duitnya.” “Bimo naksir kamu kayaknya.” Jelita cuma tertawa. Dia tahu, tapi pura-pura tak tahu di depan Bimo agar hubungan pertemanan mereka tak menjadi canggung. Dan Jelita selalu menjaga sikap selayaknya teman di depan Bimo. Dia tak mau sebentar-sebentar minta tolong Bimo, apalagi caper kepadanya. Tetapi Bimo selalu
Jelita melengos dan berdiri dari kursi, lalu beranjak menuju pintu keluar kafetaria. Bimo menyusulnya di belakang. “Sorry, Ta, gue pastikan nggak akan ada lagi yang berani menyerang elu kayak tadi,” kata Bimo yang kini telah menyejajari langkah Jelita.Bimo berhenti karena tiba-tiba Jelita berhenti. Bimo bersedekap seraya menghadap kepada Jelita yang seperti ingin menyalak kepadanya. Tetapi Bimo sudah siap dan dengan senang hati menerima omelan si cantik itu.“Apa?” tantang Bimo sambil mengedipkan mata. Dan mengulum senyum melihat Jelita memutar bola matanya. ‘Mata yang cantik,’ pujinya sambil tersenyum senang.“Aku betul-betul jijik!”“Denganku?” Bimo masih tersenyum. “Iya, kamu! Bisa-bisanya kamu memanfaatkan perempuan sampai seperti itu!”“Emangnya gue ngapain? Dia ngaku-ngaku sebagai pacar gue, padahal bukan. Gue kan perlu klarifikasi biar dia sadar posisi.”Jelita ternganga tak percaya menyaksikan sikap Bimo yang sedikitpun tak menunjukkan penyesalan. “Kamu sudah sering tidur