"Rudolf masih hidup. Disinyalir dia sengaja mengubah wajah serta identitasnya agar tidak bisa dikenali lagi.""Lantas, dimana dia sekarang?""Selama beberapa tahun terakhir, dia kerap berpindah-pindah tempat, setelah berhasil menjadi pemimpin gangster yang paling brutal dan berbahaya di daerah x.""Tapi paling tidak dia punya satu tempat tinggal tetap, bukan?" Emma semakin penasaran, tidak ada ketakutan sedikit pun di wajahnya meski tahu Rudolf bukan pria yang layak untuk dicari tahu."Kota mati?""Kota mati?" ulang Emma yang segera diangguki pria yang ada di depannya. Emma lantas beralih pandang sebentar pada Pak Jang yang sejak tadi juga ikut menyimak. "Dimana itu?""Ada didaerah xxx tepatnya pinggir kota, dan berbatasan langsung dengan kota A."Emma seperti tidak asing dengan daerah yang pria itu sebutkan, hanya saja Emma lupa siapa yang pernah mengatakan itu sebelumnya. Tapi Emma sa
"Apa yang kau perhatikan, hm?"Sempat terkejut merasakan lengan Leon melingkari pinggangnya, Luna yang masih berdiri di dekat jendela mengusap lengan prianya yang kini sudah terbalut jas."Aku hanya sedang memikirkan tanggal berapa sekarang? Sepertinya aku melupakannya." Setelah menghadiahi kecupan di puncak kepala Luna, Leon segera memutar tubuh kecil wanitanya untuk diperhatikan lekat-lekat."Apa kau mencemaskan sesuatu?" Selesai memindai Luna dari atas hingga bawah, Leon yang masih tampak cemas menangkup pipi Luna dengan kedua telapak tangannya yang besar. "Kau mengingatnya lagi?""Tidak. Aku baik-baik saja. Hanya sedang mengingat hari ini tanggal berapa." Luna memang masih harus memastikan sesuatu yang sebenarnya belum diketahui pasti."Sekarang tanggal tiga belas, bulan enam? Apa ada sesuatu? Kau ulang tahun?"Sepertinya Leon juga tidak cukup lega dengan jawaban Luna."Tidak. Ulang tahunku masih empat bulan lagi."Kendati tidak pernah ada perayaan, tapi Luna selalu ingat hari ul
"Bagaimana kabarnya sekarang?" Emma butuh waktu sepersekian detik untuk memikirkan siapa yang Luna bicarakan. Terlalu sibuk menyusun rencana untuk memulai mencari tahu siapa Albert Dark, Emma memang lebih banyak diam berpikir hari itu. "Kakak masih sering menemuinya?" Luna kembali melontarkan pertanyaan lain, tapi tetap ditujukan untuk orang yang sama melihat Emma tak kunjung menjawab. "Apa yang sedang Anda bicarakan Darma, Nyonya?" Emma memastikan. Mengingat akhir-akhir ini banyak yang ia temui. "Iya." Luna merasa hatinya benar-benar ringan sekarang. Tidak merasakan lagi getaran kala nama pria masa lalunya disebutkan. Keputusannya untuk tidak lagi menoleh ke belakang, ternyata sudah paling benar. Luna pun berharap Darma bisa melanjutkan hidup jauh lebih baik, tentunya setelah bisa melupakan dirinya. Merelakan memang bukan perkara mudah. Tapi dengan merelakan sesuatu yang pernah dianggap mustahil, hati akan merasa jauh lebih baik. Bukan tentang bisa atau tidak bisa. Mela
"Bekerjasamalah denganku. Dengan begitu kita bisa menguasai tepi barat negara tetangga." "Aku tidak butuh sekutu hanya untuk menguasai bagian itu." Senyum licik yang tersungging di bawah kacamata hitam, terlihat menyebalkan bagi pria yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya dengan tato. Bahkan sklera mata yang seharusnya berwarna putih, telah dirubah hitam legam oleh tato permanen. Pria itu benar-benar telah merubah wujud aslinya. "Jika dua kekuatan kita disatukan, maka aku percaya kita akan berada di puncak." Pria bertato masih cukup bersabar untuk berbicara pelan, dan menyakinkan. Tapi jika pria di hadapannya tetap keras kepala, ia tidak keberatan jika harus sedikit membuat kekacauan, bukan sepatutnya orang bertamu. "Aku tidak suka bekerja untuk orang lain. Aku lebih tertarik memperkuat diriku sendiri." Merasa sudah cukup basa-basi hari itu, ia pun bangkit dari kursi. "Jangan sombong, Albert! Aku bahkan bisa melenyapkanmu tanpa ada yang tahu." Alih-alih menunjukkan kete
"Untung saja pelanggan pertama kita Pak Ramos," kata Bruri memuji."Rasanya ada kebanggan tersendiri, bisa menyelesaikan mobil klien tepat waktu, dan aku lihat Pak Ramos sangat puas dengan hasil servismu.""Spanduk juga akan segera jadi dalam waktu dekat." Hanya dirinya yang terus bicara, Bruri memastikan Darma apakah masih mendengarnya."Apa yang kau rencanakan, sekarang?"Duduk di kursi plastik, dengan satu kaki yang terus digerakan menghentak. Pandangan Darma lurus ke depan, sama sekali tidak berniat membuka mulut—menanggapi celotehan Bruri. Pria itu sangat berisik, berhubung benak Darma sedang serius menyusun rencana, dibiarkan saja Bruri sampai lelah sendiri.Kendati setelah sepekan berlalu para perusuh tidak datang lagi, tapi Darma yakin, penyerangan minggu lalu bukanlah yang terakhir. Akan ada serangan yang tidak terduga, dan Darma khawatir itu bisa mempengaruhi calon pelanggan yang akan datang ke bengkelnya."Baru juga memulai usaha, sudah ada rintangan sebesar ini," keluh Br
"Bagus. Setidaknya sekarang aku sudah tahu dimana dia tinggal." Senyum Anastasya tersungging puas. "Tetap pantau keadaan disana, aku tidak mau ada yang terlewatkan sekecil apapun informasi tentang dia." Setelah orang suruhannya di seberang sana menjawab, Anastasya lantas penutup panggilan. Dengan senyum puas yang masih menghiasi wajah polosnya—belum tersentuh make up lantaran baru saja selesai membersihkan diri, Anastasya yang masih mengenakan jubah mandi serta menggulung rambutnya menggunakan handuk kecil malah duduk di kursi meja rias, menatap intens wajahnya dari pantulan kaca."Aku sangat keras kepala untuk segala yang berhubungan denganmu. Kau terlalu remeh menganggap aku akan menyerah begitu saja, Le."********Berdiri di dekat pintu ruang gym pribadinya, dengan melipat tangan di dada, Leon masih memperhatikan Luna yang masih sangat semangat melakukan olahraga yang baru-baru ini digandrungi—boxing.Tangan Luna tampak begitu lincah mengarahkan pukulan jab, uppercut, cross, dan h
Luna memang tidak pernah berharap cinta Leon, meski sekarang ia telah memasrahkan hidup pada pria itu. Namun, perhatian serta sikap yang Leon tunjukkan, tak ayal memunculkan keingintahuan Luna akan perasaan pria itu yang sebenarnya. Walaupun berusia masih sangat muda, tapi Luna bisa membedakan pria yang benar-benar menginginkan dirinya dari hati, atau hanya mendambakan tubuhnya seperti yang sebelumnya terlihat dari Leon. Sedangkan sekarang, Luna bisa melihat ketulusan Leon lewat pancaran matanya yang redup. Luna juga merasa Leon lebih ringan—seperti telah berhasil melepaskan beban berat dari pundaknya. Untuk itu, Luna merasa tidak ada salahnya memastikan. "Apa kau mencintaiku?" Pijatan Leon seketika berhenti. "Itu memang tidak penting untukku sekarang, mengingat aku yang kau nikahi. Tapi aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu terhadapku?" "Tidurlah jika kau lelah. Aku masih ada sedikit pekerjaan." Leon langsung beranjak berdiri dan melangkah pergi tanpa menoleh Luna lag
"Menikahlah denganku." Luna terhenyak, tetapi tidak berkata apapun ketika memperhatikan Leon beranjak duduk di sofa. Mengira telah salah mendengar. "Menikahlah denganku," ujar Leon lagi. Tapi kali ini tidak begitu jelas di telinga Luna—ia pun mengabaikannya. Menganggap Leon sudah tidak sabar menunggu minuman dingin yang sebelumnya dipesan. Luna bersiap akan pergi. Namun, baru memutar badan, Leon sudah lebih dulu menahan tangannya. Pria itu kembali bangkit, dan mengatakan sesuatu yang lagi membuat Luna terkejut. "Biarkan aku membuktikan sesuatu padamu." "Lepas." Luna memutar tangannya, agar cengkraman Leon terlepas. Tapi tanpa diduga pria itu justru beralih membelit pinggang Luna. "To-to-tolong.. jangan seperti ini, Tuan. Lepaskan saya." Terkejut bercampur risih, Luna berusaha melepaskan belitan tangan Leon. Sayang, bukannya terlepas, tangan lain pria itu malah mencengkram rahangnya Reflek Luna menahan dada Leon dengan kedua tangan, agar tubuh mereka tidak sampai merapat. "A