Lima tahun berlalu semenjak koalisi bubar. Kehidupan rakyat semakin susah, perang di mana-mana, para jendral seakan tak peduli pada Han, mereka memperluas wilayah masing-masing dengan merebut wilayah jenderal yang lain.
Para senior Huasan tahun ke tujuh atau tahun terakhir banyak yang turun gunung untuk membantu para pengungsi. Nama besae Huasan semakin mansyur.
Terlepas dari itu, kehidupan di Huasan berjalan normal dan tentram.
Di tanah lapang pusat danau, murid-murid Huasan duduk berbaris meratam bait puisi, membuat calon murid baru tahun ini terpesona. Terutama karena Zhou.
Dia berdiri merapal puisi karangannya.
"Engkau bagai bunga sakura, dinanti cepat merekah, disambut tawa dan musik ketika gugur."
Pakaian baru menutup tubuh mungil. Wajah manis tapi dari jenis pakaian jelas dia lelaki. Walau suara dipaksakan tinggi, tapi jelas sekali suara aslinya lembut. Dia Lu Xun, pemuda yang digadang-gadang memiliki kemampuan luar biasa.Bocah tahun kedua, pasti baru patroli pertama kali, masih polos dan menjunjung tinggi peraturan, pikir Zhou, memandang gusar beberapa bocah di bawah sana."Heh! Turun!"Gara-gara suara Lu Xun, pintu jendela kamar wanita ditutup rapat dari dalam.Gigi-gigi Zhou beradu, dia berdiri berdesis menunjuk-nunjuk Lu Xun dan teman-temannya, tapi urung berkata-kata. Dia tahu salah, tapi mereka juga salah. Kenapa patuh aturan?Mata sipit Lu Xun menangkap suling terselip pada ikat pinggang Zhou. Bend
Lu Xun kaget dengan pengorbanan Zhou yang dia ganggu. Bahkan dia belum berkenalan, tapi dia melindunginya.Dua kali dia ditolong. Dia tidak mau berhutang budi, segera dia memasang badan di hadapan Zhou, memandang guru.Para senior menarik selendang bening mereka, kembali ke sisi Guru."Kenapa memasang badan?""Maaf Guru, sebenarnya aku yang--"Zhou membekap mulutnya dari belakang. "Bocah ini nakal, mengata-ngataiku terus Makannya aku menarik pedang untuk menakutinya supaya sopan kepadaku."Qiu menarik napas dalam. "Sikap seperti ini suatu saat bisa membunuhmu, bodoh."Qiu venar, tapi Zhou cuek. Prinsip hidup memang ti
Deng Ai mengaku otak kriminal pencuri arak adalah Zhou. Karena itu keduanya terseret dalam sebuah hukuman fisik. Keduanya wajib mengambil air di sungai belakang gunung untuk mengisi setiap kamar mandi laki-laki di perguruan Huasan selama dua puluh satu hari, sesuai jumlah kendi arak yang mereka curi. Lu Xun juga terkena riak dari masalah tempo hari. Dia dipanggil 'sang taat aturan'. Siang ini dia duduk perpustakaan memandang gagang pedang mengenang memori tadi malam. Dadanya berdegup kencang ketika mengingat Zhou menariknya masuk dalam dekap. Zhou lelaki keren. Pipinya mendarat ke meja. Dia memeluk gagang pedang seperti memeluk guling. "Heh!" sentak seorang gadis tahun ketig
Di paviliun senior, Lu Xun datang seorang diri. Banyak mata lelaki memandang jengah padanya."Zhou di kamar lantai tiga!" sentak Deng Ai, duduk di kursi bersama teman-teman menikmati daging bakar. "Gara-gara kamu aku terlambat makan siang!"Lu Xun melangkah menuju lantai tiga. Situasi sepi. Nyaris semua pintu kamar terbuka."Lu Xun, kemari," perintah Bian yang menguasai tubuh Zhou.Zhou duduk di kursi kecil sembari menikmati teh hangat. Pakaiannya belum terikat, membuat sinar matahari dapat menerpa kulit yang terekspos. Dia menepuk baju yang dilipat di atas meja, tapi Lu Xun fokus pada suling di sebelah baju."Ambilah, ini pakaianku di tahun pertama."Lu Xun mengambil pakaian juga
"Zhou! Zhou!"Qiao panik sampai melangkah menuju pusaran. Untung Deng Ai menariknya mundur."Apa kamu gila? Ada apa? Kenapa mau masuk ke pusaran, hah!""Kak, Zhou terhanyut ke sana!""Apa?""Bajingan cilik itu menarik Zhou masuk, Kak. Dia iblis!""Tenang, tenang!" Deng Ai yang biasa tak pernah memakai otak, kali ini memompa banyak darah ke kepala. "Lapor guru kepala, jangan menyalahkan orang. Kita harus tenang," ucap Ai.Qiao melayang duluan menuju pagoda air terjun. Deng Ai melesat mengejar adiknya.Belum sampai tujuan, mereka bert
Bian melayang jatuh ke taman bunga. Pintu besar tertutup rapat terikat rantai besar nan panas sampai keluar asap tebal dan berdesis.Kehadirannya disambut wajah khawatir Qiu dan Zhou, yang membantuntu Bian berdiri."Kamu baik-baik saja?" tanya Zhou menepuk-nepukbpakaian Bian."Sudah kubilang kan, idemu kali ini buruk!" sentak Qiu, menampar lengan Bian. "Sekarang lihat, kita tidak tahu keadaan--""Kapan kamu bilang ide buruk?" gumam Zhou. "Kamu kan diam saja sambil menyumpahi Bian.""Pokoknya tadi bilang! Kamu jangan mencari masalah, ya!" Tabokan mendarat ke kepala Zhou."Sudah, jangan bertengkar." Bian berdiri di antara keduanya, memisah mereka supaya tidak berdebat. "Qiu, bagaimana keadaan tubuh Zhou?"
Suara air menggebyar sungai menggema dalam goa batu. Cahaya hangat matahari membentur kulit wajah Zhou. Dia terduduk, mendapati tangan Lu Xun menggenggam erat telapak tangannya.Gadis itu tengkurap seperti ikan yang kelelahan, basah, tiada gerak kecuali karena menghembus nafas.Zhou menggoyang badan gadis itu. "Heh, bocah, bangun." Dia membalik badan Lu Xun, lama mengamati wajah putih basah itu. Cukup manis gadis satu ini, terutama jika merem. Bibirnya lumayan tebal, berwarna merah segar dan sedang basah, terbuka sedikit bergerak pelan."Pantas Bian suka," racau Zhou.Halus dia menepuk-nepuk pipi Lu Xun sampai dia tersadar.Lu Xun duduk mengucek mata, menguap lebar seakan tanpa beban. Ketika sadar gadis itu mendapati
Kali ini Zhou yang merasakan bagaimana tidak enaknya menjadi muntahan pintu. Dia terlontar ke taman bunga."Zhou, kamu tidak apa-apa?" Bian membantunya berdiri sambil membersihkan pakaian."Haiya, danau itu dalam sekali.""Sudah aku bilang kan, kembali ke permukaan. Kenapa susah sekali membuatmu mengerti?"Keduanya kaget ketika pintu terlilit rantai besar. Seperti beberapa jam yang lalu, hal ini pertanda badan Zhou terjebak dalam keadaan tidak sadarkan diri.Zhou memandang ke sekitar. "Tumben sepi, mana si centil?""Gawat!" sentak Bian, membuat kaget Zhou. "Bagaimana ini?""Apanya yang bagaimana?" Zhou khawatir karena Bian yang biasa t