Semua murid tahun kelima Huasan berkumpul di pagoda Air Terjun. Guru gendut menanti mereka bersama guru wanita tua. Para siswi berada di sisi kiri sementara para pemuda memenuhi sisi kanan.
Shi yang terakhir datang, melangkah pelan berdiri di baris paling belakang. Raut wajahnya seperti es, pandangan sipit fokus ke depan. Tiada senyum mencuat di bibir. Bian yang menguasai tubuh Zhou menilai dia masih cemburu.
Pintu utama perlahan tertutup rapat. Semua siswa panik ketika suara dentuman pintu menggema, kecuali Bian yang menguasai tubuh Zhou dan Shi.
"Shi, sini!" ajak Deng Ai, tapi Shi tak bergeming. "Zhou, Ada apa dengan Shi?"
"Fokus ke depan," saran Zhou berdiri gagah di sebelah Ai.
Semua siswa berdiri tegap dalam barisan
Banyak siswi Huasan mencuri start. Sebelum matahari berdiri di angkasa, mereka berbondong-bondong turun gunung. Beberapa malah membantu guru dan senior demi stempel. Para siswa tak mau kalah, mereka berpencar penuh semangat ke segala arah. Zhou hari ini menguasai badan. Dia, Shi, Ai, dan tiga Bu berkumpul di jalan setapak di muka gapura depan tangga kaki gunung Huasan, yang rimbun oleh pepohonan di sekitar. "Awas kalian ya, siap-siap memanggil kami 'Kakak'!" Tiga Bu tertawa lantang. Mereka melayang menuju selatan, sepertinya mau ke kota Jiangxia. Ai menepuk dada Shi dan Zhou di sisi kiri dan kanannya bergantian. "Hei, apa kalian yakin mau ke Xiao Pei?" Tanpa menj
Sehari terlewati. Pagi kembali datang, Zhou kembali menguasai tubuhnya. Tinggal beberapa jam perjalanan, mereka bakal tiba di tembok kota Xiao Pei. Baru saja rombongan hendak keluar desa, suara teriakan histeris dan ringkik kuda terdengar dari arah sawah, membawa mereka menuju ke sana. Beberapa pasukan berkuda menabrak para petani, menusuk punggung mereka yang terjatuh memakai tombak. Beberapa pasukan infanteri juga menangkap kerbau di sawah, membawa hewan pergi. "Ya Dewa, apa-apaan ini!" teriak Deng Ai, badannya bergidik melihat semua itu. Puluhan rakyat berlari ke arah Zhou, beberapa dari mereka terjatuh. "Ampun, ampun!" teriak seorang pria tua menggendong anaknya di
Empat tombak pasukan yang nyaris menusuk Shi patah. Sehelai kain merah jambu tipis pelakunya. Seorang pendekar gadis menampar keempat pasukan memakai kain tipis, hingga mereka jatuh. Dua gadis pendekar lain mendarat gemulai di sekitar sandera wanita, menyerang tanpa terdeteksi para pasukan di sekitar mereka, hingga pasukan tumbang. Para gadis pendekar memakai pakaian serupa, berpakaian putih berkombinasi sutra merah jambu. Pakaian menutup nyaris seluruh tubuh, kecuali bagian atas leher dan sebagian pundak. Mereka bagai bidadari khayangan yang mendarat ke bumi. Kecuali seorang gadis anggun yang memakai pakaian serba putih tanpa merah. "Bertobatlah kalian," ucap gadis paling cantik, dengan nada indah. Ter
Para pasukan ini berbeda dari pasukan Qing. Mereka memakai pakaian biasa berwarna gelap, lusuh, juga memakai ikat kepala merah darah, atau mungkin itu perban? Karena beberapa dari mereka mengenakan perban di lengan juga kaki, wajah mereka pun berhias darah kering.Yo Sa memberi salam dengan sopan, sedikit membungkuk."Saya Yo Sa, murid Hengshan, dari puncak gunung Taiping. Keponakan jauh dari Yo Qiang, istri gubernur Tao Qian."Yo Sa memperkenalkan Sima Shi dan Sima Zhou, sembari memberi kode bagi seorang gadis pendekar memberi lambang giok naga berwarna putih susu pada pria bersenjatakan tombak."Hh? Adik Zhou dan Shi?" Deng Ai datang bersama beberapa penduduk desa, mereka membawa beberapa korban."Kamu mengenal
Karena belum tidur seharian, pagi ini Zhou masih berkuasa atas badannya sendiri. Bian tak masalah asal setelah tidur dia menguasai tubuh kelak. Qiu juga tidak mengeluh, naga centil paham akan situasi yang terjadi. Terlebih dia bisa berlama-lama di sebelah Bian, itu cukup.Langit belum cerah sempurna. Rombongan pengungsi menarik gerobak berisi pengungsi yang terluka. Mereka semua menangis, memakai perban di luar pakaian, membawa obor untuk penerangan, karena tersamarkan cahaya remang banyak yang mengira balutan perban adalah kain putih. Selain itu, mereka membawa perban anyaman besar bertulis 'Turut berduka untuk kematian Ayah Cao Cao'.Sayang sekali pasukan Tao Qian enggan ikut. Mereka memilih menyelamatkan warga yang terjebak di luar sana."Hebat juga kamu, Zhou," puji Zuo Ci.
Sementara itu di kota Puyang, mengikuti info yang Nu An dapat mengenai adiknya, dia mengunjungi sebuah toko di pasar kota yang ramai penduduk dan pedagang beraktifitas.Sekarang Nu An punya sepuluh murid baru, juga sebuah kereta kuda yang membawa barang-barang mereka. Sesampainya di pasar, beberapa murid baru berpencar mencari informasi tentang adik Nu An juga mencari orang sakit untuk Nu An tolong.Hanya Hi Sam dan Ha Nif yang setia menemany guru mereka. Sesuai informasi, ketiganya berdiri di depan toko yang tersegel."Guru, kita jauh-jauh ke sini, malah tutup. Bagaimana sekarang?" tanya Ha Nif, mengusap keringat.Nu An memandang dua muridnya. Mereka mengangkat kotak berisi bahan obat-obatan, bekal makan, juga pakaian, dan peralatan medis. Kasihan mereka.
Beberapa murid baru Nu An bingung, tapi loyalitas mereka membimbing untuk mereka memasang badan, beruntung Ha Nif dan Hi Sam yang telah lama mengikuti ajaran Nu An bisa berpikir dengan kepala dingin, menghalau para murid baru Nu An berdiri, membungkuk memberi salam pada Jenderal. "Hamba Nu An. Ada yang bisa Hamba bantu?" Jendral menggenggam telapak tangan Nu An. "Tolong sembuhkan wakil Gubernur. Dari kemarin badannya meriang." Mendengar hal ini, sebagai tabib, Nu An malah menarik tangan Jenderal. "Ayu, jika ada yang butuh bantuan, harus segera ditolong!" Jendral mengangguk menggendong Nu An naik ke kuda, lalu dia ikut naik. Dia memacu kuda melesat menuju tempat w
Pasukan Cao Cao berbaris dalam posisi siap menyerang. Mereka fokus di gerbang barat.Cao Cao duduk di pelana kuda, menanti Tao Qian. Di sisi kiri ada Guo Jia serta Cheng Yu, di kanan ada Cao Ren dan Xiahou Yuan. Mereka semua menanti di atas kuda."Lihat kota ini, nyaris sama besar seperti Xuchang," ujar Xiahou Yuan."Lebih besar sedikit," jawab Guo Jia, sambil mengawasi sekitar.Kain putih membentang di gerbang kota. Beberapa bendera putih berkibar di atas tembok."Sepertinya Tao Qian bersimpati padamu, Jenderal. Bagaimana, masih mau membunuhnya?" tanya Guo Jia pada Cao Cao.Cao Cao menyeringai. "Cukup dia serahkan kota dan bunuh diri, semua akan beres."