Dua batu besar yang barusan menimpa kerumunan pasukan Rajaputra Aruna menimbulkan kerugian besar. Lima perahu pasukan Rajaputra Aruna langsung tumpas dan tenggelam bersama penumpangnya.Belum lagi Rajaputra Aruna dan Pisau Terbang sempat berpikir dan mengatur pasukan, lagi-lagi terdengar hantaman dua batu yang lain."Bummm..! Bummm..! Brak! Brak!"Lagi-lagi juga lima perahu dan ratusan prajurit jadi korban keganasan batu-batu besar pasukan Sriwijaya."Biadaaab...! Senjata macam apa ini?" Rajaputra Aruna marah dan bingung jadi satu. Seumur hidup, baru sekarang ia melihat batu-batu sebesar kepala kerbau bisa terbang terlontar seperti anak panah.Kerusakan yang ditimbulkan peluru batu manjanik terhadap pasukan Raputra Aruna sangat besar. Belum sampai setengah perjalanan dari mula-mula mereka diserang dengan hujan anak panah, sudah separuh lebih perahu pasukan Rajaputra Aruna tumpas. Celakanya, perahu-perahu itu tumpas bersama ratusan pasukan yang menaikinya. Ratusan prajurit lain yang ma
Siang mulai bergeser sore. Sinar matahari sudah bergeser tiga perempat ke arah barat. Sesekali masih terdengar nyaring suara burung elang yang berputar-putar di atas Kutaraja Minanga Tamwan.Saat itu suasana Kutara Minanga Tamwan hari itu mendadak sunyi.Jalan-jalan poros Minanga Tamwan yang biasa dipenuhi oleh pejalan kaki baik mereka yang berprofesi sebagai petani, pedagang, pegawai kerajaan atau mereka yang sekedar bersantai, kini sama sekali tampak. Yang ada hanya regu-regu prajurit Sriwijaya dalam kondisi siap tempur.Begitu juga dengan kedai-kedai minuman yang biasa ramai dikunjungi para lelaki. Kedai-kedai tersebut sejak pagi telah menutup pintu rapat-rapat. Suasana mencekam menguasai Kutaraja Minanga Tamwan.Tak jauh dari istana Sriwijaya, puluhan perahu yang datang dari hilir terlihat menepi di dermaga pelabuhan Sungai Komering. Dari lambungnya perahu-perahu itu menurunkan ratusan prajurit. Seorang senapati madya memimpin mereka. Ia terlihat menggenggam sebuah golok besar. M
Pagi yang cerah. Embun belum lagi kering. Ratusan burung rangkong terbang berpasang-pasangan. Sayap-sayap gagah mereka terbang membelah langit Sriwijaya dari arah timur menuju barat. Kaok mereka membahana, mendominasi ruang udara Kutaraja Minanga Tamwan yang senyap.Pagi itu, Kutaraja Minanga Tamwan sungguh-sungguh seperti kota mati yang ditinggalkan penghuninya.Sesuai dengan perintah Pangeran Indrawarman di pelabuhan Minanga Tamwan kemarin sore, pagi-pagi sekali Sadnya telah berada di beranda istana Minanga Tamwan.Wajah Sadnya keruh. Pikiran Sadnya masih terpukul oleh hilangnya golok melasa kepappang.Sambil berupaya menetralisir pikiran, Sadnya juga mesti bersabar sedikit menunggu Pangeran Indrawarman sedikit lama. Sebagai penganut Budha taat, Pangeran Indrawarman setiap pagi selalu melakukan puja di vihara istana.Letak vihara berada tepat di samping istana Sriwijaya. Pada kesempatan ini, Sadnya memperhatikan tempat peribadatan itu dengan seksama. Padahal ia sudah bertahun-tahun
Tubuh Datuk Lepu melayang ringan di atas permukaan Sungai Komering. Sama sekali tak tampak kelelahan akibat harus berenang karena perahunya hancur akibat jadi korban peluru batu manjanik.Tanpa mendapat perintah atau meminta izin Rajaputra Aruna, Datuk Lepu langsung menggebrak menyerang Delta Kematian seorang diri. Berbeda dengan Pendekar Pisau Terbang yang dikenal tenang, penuh perhitungan, dan matang. Datuk Lepu adalah kebalikannya. Selain cabul, dunia persilatan juga mengenal Datuk Lepu seorang pemarah, temperamen, dan nekat. Usia tua tak lantas mengubah karakternya.Datuk Lepu terus maju diantara desing anak panah yang mulai mengerubuti. Dengan lincah kedua tangan Datuk Lepu membabat habis anak panah sebelum sempat mengenai tubuhnya. Sementara kedua kaki renta dukun itu melompat taktis dibantu oleh serpihan puing perahu pasukan Rajaputra Aruna yang telah porak-poranda."Hoooi...Datuk gila! Apa yang kau lakukan? Cari mati kau?" dari kejauhan terdengar geram Rajaputra Aruna yang tak
"Sadnya! Mengapa tak kau jawab pertanyaanku?" tegur Pangeran Indrawarman pada Sadnya."Amba Pangeran! Amba hanya kurang istirahat dan tidur saja. Maka Amba sedikit kurang bergairah.""Aku maklum Sadnya!""Amba Pangeran!"Jawaban Pangeran Indrawarman sedikit melegakan Sadnya. Tapi ia belum bisa sepenuhnya bebas dari tekanan."Sadnya! Kedatanganmu dan pasukanmu tepat waktu! Saat ini kondisi Kutaraja Minanga Tamwan sedang darurat! Pos terdepan pertahanan Minanga Tamwan sudah dihancurkan musuh! Aku tinggal berharap pada pos pertahanan terakhir, Delta Kematian! Sebab, jika Delta Kematian bisa ditaklukkan oleh Rajaputra Aruna, maka begitu pula Minanga Tamwan!""Demi Sang Hyang Adi Buddha!" pekik Sadnya. Kini ia percaya apa yang dikatakan syahbandar dan komandan regu jaga pelabuhan Minanga Tamwan kemarin sore. Tengkuk Sadnya mendadak dingin."Sadnya! Kau tentu sudah dengan tentang kekuatan pendekar-pendekar aliran hitam yang jadi sekutu utama Rajaputra Aruna?""Amba Pangeran. Amba telah sedi
Datuk Lepu berhasil selamat dari ratusan anak panah yang menyerang. Dukun tua itu semakin dekat ke Delta Kematian. Tujuannya adalah dinding sebelah kiri Delta Kematian. Dinding sebelah kiri memang tingginya lebih rendah daripada dinding sebelah kanan. Datuk Lepu harus berada dalam jarak sedekat mungkin untuk bisa memaksimalkan penyerangan racunnya.Tapi pilihan itu tetap bukan hal mudah untuk dicapai. Datuk Lepu sadar sepenuhnya tentang hal tersebut. Lolos dari sergapan ratusan anak panah tak lantas membuatnya jadi lengah.Benar dugaan Datuk Lepu.Beberapa belas depa sebelum mencapai dinding Delta Kematian sebelah kiri, dari balik rimbun semak-semak muncul puluhan prajurit Sriwijaya mengendarai perahu sopek. Mereka telah menghunus senjata masing-masing.Utpala yang memimpin pasukan pelindung sayap kiri Delta Kematian memerintahkan pasukannya maju menyambut kedatangan Datuk Lepu dan teman-temannya. Seketika pertarungan jarak dekat terjadi."Seraaaang...! Jangan biarkan datuk cabul itu
Siang bergerak sore. Kawanan burung rangkong tak lagi terdengar berkaok di atas langit Kutaraja Minanga Tamwan. Tugasnya membelah angkasa telah digantikan kulik gagah burung elang yang tak lelah puluhan kali berputar mengincar mangsa. Di pepohonan rindang yang berjejer rapi di jalanan Minanga Tamwan, burung pipit berlompatan dari satu ranting ke ranting lainnya. Sungguh sebuah lukisan alam permai yang menggenapi keindahan Kutaraja Minanga Tamwan.Tapi semua keindahan surgawi itu tidak berlaku di jiwa-jiwa penduduk dan pemimpin Kedatuan Sriwijaya. Jalan dan ruang publik yang sepi sudah cukup untuk menunjukkan hal ganjil yang diakibatkan oleh pemberontakan Rajaputra Aruna. Memang pertempuran seru masih terjadi di Delta Kematian yang berjarak ribuan depa dari Minanga Tamwan. Namun, ruh perang yang menakutkan telah merasuk hingga ke jantung istana.Suasana mencekam seperti tak hendak beranjak dari ruang utama istana Sriwijaya. Dari pagi Pangeran Indrawarman, Senapati Madya Arsa, Bhiksu Dh
"Senapati dan seluruh prajurit Sriwijaya! Dengarlah ucapanku ini! Aku minta kalian menyerah sekarang juga! Atau, aku akan menghancurkan kalian semua! Saat ini aku telah menguasai dua hal yang cukup untuk meratakan kalian semua dengan tanah! Racun sekutuku Datuk Lepu dan satu-satunya penawar racun Datuk Lepu, Golok Melasa Kepappang! Selain Golok Melasa Kepappang, tak ada pusaka lagi di jagat ini yang mampu mengalahkan racun mematikan Datuk Lepu! Jadi, kuingatkan sekali lagi! Menyerahlah! Atau kalian semua akan jadi bangkai yang tak ada gunanya!" teriakan Rajaputra Aruna dari atas perahunya membahana.Penggunaan tenaga dalam yang pada setiap kalimatnya membuat kata-kata Rajaputra Aruna terdengar oleh seluruh manusia yang berada di sekitar Delta Kematian. Baik sekutu atau lawan tanpa kecuali.Tak jauh dari dinding sebelah kiri, Datuk Lepu, Cakar Macan, dan Siluman Serigala bersorak girang. Begitupun dengan Pisau Terbang dan beberapa pendekar aliran hitam lain yang hampir mencapai dinding