Wak Baidil dibuat heran pagi ini oleh Aditya dan Nadir. Sedari tadi keduanya ia lihat sama sekali tak bergerak dari teras rumah. Keduanya sibuk berbincang serius. Entah apa yang mereka perbincangkan.Wak Baidil menghampiri keduanya."Ehm...!""Eh...Bak!" jawab keduanya kaget.Wak Baidil lalu menarik sebuah bangku dan duduk bersama mereka."Aditya, Nadir. Kulihat kalian berdua sejak pagi tak beranjak dari teras ini. Tampaknya ada hal serius yang sedang kalian perbincangkan.""Begitulah Bak," jawab Aditya pendek."Kalau aku boleh tahu, apakah itu?""Aku mendapat tugas untuk membangun gedung sekolah di Lubuk Ruso ini. Tapi ada yang kurisaukan Bak," Nadir mengungkapkan isi obrolannya dengan Aditya."Kau ini memang selalu gelisah Nadir hahaha... Apa yang jadi kegelisahanmu?""Siapa yang akan jadi gurunya Bak!""Guru?" Sesaat Wak Baidil termangu. Sambil menepuk kening, Wak Baidil kembali bicara. "Kau benar Nadir! Kenapa aku sampai lupa soal ini dalam pertemuan semalam?""Hehe...Bak mulai pi
Sejak amukannya tempo hari pada Senapati Madya Danar, sikap Tara sedikit berubah. Keceriaan seperti hilang begitu saja dari Tara. Efeknya, ia jadi kurang bersemangat menjalankan tugas sebagai komandan pasukan khusus Sriwijaya. Iapun jarang terlihat di ksatrian prajurit Sriwijaya. Begitu selesai melakukan apel prajurit, jika tak ada latihan, maka ia memilih segera pergi ke Dangau Cinta.Candra tentu jadi orang yang paling repot karena perubahan sikap Tara. Candra mulai harus menghadapi konflik-konflik kecil dengan Tara. Tapi ada baiknya untuk Candra. Candra yang biasanya bersikap teledor dan masa bodoh, kini mau tak mau dituntut jadi lebih sabar.Yang paling membuat Candra bingung adalah penyebab perubahan sikap Tara. Tapi Tara masih belum mau menceritakan hal itu pada Candra. Kondisi ini juga yang akhirnya membuat tugas Candra menggali informasi dari Tara jadi macet. Tapi Candra tetaplah Candra. Tak ada kata menyerah baginya.Siang itu, seperti biasanya, Candra sudah sampai di Dangau
"Operasi militer ke Lubuk Ruso, ternyata tak lebih dari upaya Danar untuk melenyapkanku Kak!"Candra seperti tak percaya pada cerita Tara. Sisi manusiawi Candra yang polos mengatakan, mana mungkin Danar punya niat menghabisi Tara? Apalagi selama ini Tara adalah senapati kepercayaan Danar. Hampir tak mungkin. Tapi di sisi lain, peristiwa-peristiwa keras dalam hidup yang dialami Candra selama ini mengajarkan bahwa dunia tak sebaik yang ia kira. Dunia juga dipenuhi oleh manusia-manusia penuh intrik dan kelicikan untuk mendapatkan tujuan mereka masing-masing."Apa alasan Danar menghabisimu? Belum cukupkah ia dengan sikap diam dan mengalahmu?""Tak akan pernah cukup bagi Danar Kak! Dia akan merasa cukup tenang jika ia berhasil membunuhku!"Candra diam mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Tara. Darahnya tiba-tiba mendidih."Tara! Jika itu maunya, maka aku aku dulu yang akan menghabisinya! Tak kubiarkan Danar menyentuhmu walau seujung rambut!" kata Candra geram."Tenang Kak! Aku bisa me
Aditya telah berada di depan gubuk Koh Bai. Ia tak menduga, gubuk Koh Bai tepat berada di samping gubuk yang ditempati oleh Vidya dan Bi Daya.Malam ini, Aditya memenuhi janji. Koh Bai minta Aditya datang kegubuknya. Baik Koh Bai maupun Aditya merasa obrolan mereka masih panjang dan perlu waktu lebih panjang."Sekali-sekali kau yang berkunjung ke gubukku ya Aditya?" pinta Koh Bai pada Aditya siang tadi. Aditya menyetujuinya.Gubuk Koh Bai sama sederhana dengan gubuk milik penduduk Lubuk Ruso yang lain. Tak ada yang istimewa. Anehnya, sejak sampai di depan gubuk Koh Bai, Aditya seperti berat untuk masuk ke dalam. Padahal pintu gubuk Koh Bai terbuka lebar. Aditya lebih suka memandang ke arah gubuk Vidya."Aditya! Kau sudah datang? Masuklah!" suara Koh Bai membuyarkan lamunan Aditya."Eh...ya Koh!" jawab Aditya sedikit gugup. Ia kemudian melangkah berat masuk ke dalam gubuk."Duduklah!" "Ya Koh," jawab Aditya pendek. "Bi Yati dan anak-anak kemana Koh?""Mereka ada di belakang. Biasa, m
"Malam tadi anaknya! Pagi ini Ubaknya!" teriak Koh Bai gembira melihat kedatang Wak Baidil ke mata air. Ia buru-buru mencuci tangan dan menyambut kedatangan kepala dusun Lubuk Ruso tersebut."Ayo Wak! Kita ngobrol di sana saja!" kata Koh Bai sambil menunjukkan sebuah dangau kecil yang berada di sebelah kanan mata air. Wak Baidil berjalan ke arah dangau yang dimaksud Koh Bai. Koh Bai beralih sebentar, memberikan instruksi kepada para pemuda yang sedang giat membangun irigasi.Begitu Koh Bai telah berada didekatnya, tak sungkan Wak Baidil memuji."Memang hebat kau ini Koh! Kemajuan tanggung jawabmu begitu pesat. Tak kusangka irigasi yang kita impikan hampir selesai!"Koh Bai tersenyum. Sambil menyeka keringat ia menjawab, "Sebagian pemuda dan lelaki dewasa kuarahkan ke bawah Wak. Mereka kutugaskan mulai mencetak beberapa petak sawah.""Oh pantas aku tak melihat Muri.""Muri di bawah Wak. Ia kuminta jadi kepala pencetakan sawah. Sepertinya dia paham apa yang ku mau.""Baguslah. Kau ini m
Setelah pertemuan pertama kali di mata air Lubuk Ruso, telah beberapa hari hingga sekarang, Aditya tak pernah lagi bertemu Vidya. Kesibukan menyiapkan benteng pertahanan membuat Aditya hampir tak punya waktu memikirkan hal lain.Tapi yang membuat Aditya jadi heran, ia selalu punya waktu untuk mengingat Vidya. Aditya sudah berusaha berkali-kali menyingkirkan Vidya dari kepalanya. Tapi gadis itu selalu muncul tanpa diminta.Malam ini, Koh Bai minta Aditya datang ke gubuk Vidya. Sudah pasti ia tak menolak. Memang itu yang ditunggu Aditya. Koh Bai minta Aditya menjelaskan pada Vidya program pendidikan yang akan dijalankan di sekolah nanti.Hari telah sore. Sebentar lagi Aditya perlu bersiap untuk menemui Vidya.Aditya merasa malam datang begitu lambat. Sejak pulang dari rawa-rawa di depan Lubuk Ruso ia gelisah menunggunya. Setelah malam tiba, giliran ia merasa langkah kakinya terlalu lambat untuk sampai di gubuk Vidya. Ia sungguh tak paham apa yang sedang terjadi pada dirinya.Langkah Adi
"Kau benar-benar brengsek Aditya! Kau benar-benar keterlaluan! Kemarin kau datang terlambat! Kali ini kau benar-benar ingkar dan hilang tanpa kabar! Benar-benar tak punya tanggung jawab!" Pak Cik memaki-maki Candra dengan suara tinggi. Emosinya pada Candra tak bisa dibendung. Candra yang duduk dihadapan Pak Cik hanya diam. Tapi sama sekali tak ada rasa bersalah diwajahnya."Gila kau ini! Sudah salah, tapi kau tak merasa bersalah! Manusia macam apa kau ini Candra?" Pak Cik kembali mengamuk. "Berhari-hari aku gelisah menunggu kabar darimu, eh, begitu jumpa, kau seperti tak punya dosa! Dasar brengsek!"Tak ada jawaban dari Candra. Ia malah terlihat asyik memainkan jari-jari kaki dan membuat lukisan tak beraturan di tanah. Pak Cik makin jengkel dibuatnya. Tapi Pak Cik sudah kehabisan kata-kata dan memilih diam sambil mengatur nafas.Setelah keduanya saling mendiamkan beberapa saat, Candra bertanya pada Pak Cik."Sudah Pak Cik?"Pak Cik yang masih dikuasai amarah, langsung menyambar pertan
Dangau Cinta keesokan harinya. Candra sedang mengaso. Ia baru saja datang ke Dangau Cinta. Terang bintang mulai kelihatan jelas. Malam ini, mendung seperti menyingkir jauh-jauh.Malam makin merambat larut. Candra heran, mestinya Tara sudah datang di Dangau Cinta. Tapi sampai sekarang, kekasihnya itu tak kunjung muncul. Candra mulai khawatir.Ketika kekhawatiran Candra mulai memunculkan banyak spekulasi, dari jauh derap kaki kuda Tara terdengar. Candra menjadi lega."Kak, maafkan aku telat!""Tak apa Sayang. Tumben kau telat hari ini?""Ya Kak. Aku baru saja ngobrol panjang lebar dengan Awang Kak," Tara menjelaskan penyebab kenapa ia telat datang ke Dangau Cinta."Begitu? Ada perkembangan apa Tara?""Kami berdua bertemu di sebuah tempat. Awang memberitahuku jika Danar telah mengirimkan surat resmi yang berisi tentang kegagalanku menumpas pemberontakan di Lubuk Ruso. .""Itu saja?""Ada lagi Kak. Yang ini kabar yang paling mengejutkanku.""Kabar apa itu?""Danar dalam suratnya ke Mukha