“Kau harus menerima balasan atas tindakanmu, Danuseka! Kau harus mati di tanganku!” Wira melompat mundur, melesatkan serangan bertubi-tubi pada Danuseka. Amarahnya membuat kekuatannya meningkat.Danuseka menepis serangan seraya melompat mundur, membalas menyerang dengan kekuatan penuh. Serangannya mampu mendorong Wira hingga pemuda itu membentur dinding batu dengan sangat kuat.“Terkutuk!” Wira ambruk di tanah, memegang perutnya yang kesakitan. Ia bergegas berdiri, bersiap untuk melesatkan serangan susulan.Darmasena bergerak sangat cepat, dan dalam waktu singkat ia sudah berada di belakang Wira. Tangan kanannya diselimuti sisik dan kekuatan hitam kemerahan. Dengan satu kali pukulan, Wira kembali ambruk di tanah“Ah!” Wira meringis kesakitan, menatap Darmasena dengan penuh amarah. “Terkutuk! Kau bekerja sama dengan Darmasena, Danuseka. Kau akan pasti akan mendapatkan ganjaran dari pengkhianatanmu! Aku akan memastikan kau—”“Diam!” bentak Nyi Genit yang mendadak muncul di tengah ruanga
Wira berdiri susah payah. “Terkutuklah kau, Danuseka! Berani sekali kau menghinaku! Kau harus sadar jika kau hanyalah kacungku!”Danuseka menampar Wira dengan keras. “Jaga bicaramu, Wira. Aku bukanlah kacungmu. Aku adalah orang kepercayaan Kartasura. Dia lebih mempercayaiku dibandingkan mempercayaimu sebagai adiknya sendiri! Kaulah yang seorang kacung di sini!”Danuseka mencengkeram wajah Wira dengan kuat. “Aku bersabar selama ini karena aku menghormati Kartasura, tetapi itu tidak berlaku lagi sekarang. Jika suatu saat Kartasura berhasil lolos dari penjara di Jaya Tonggoh dan kau mengadu soal perlakuanku padanya, aku akan meminta Nyi Genit bersaksi untukku.”Danuseka mencengkeram lebih erat. “Sekarang, beri tahu aku jalan menuju tempat tinggal dua siluman bernama Jatna dan Ratih Ningsih itu. Setelah kau memberitahuku, kau bisa beristirahat di tempat ini.”Wira menepis tangan Danuseka, tersenyum bengis. “Aku tidak akan tinggal di tempat ini. Aku akan menunjukkan padamu di mana tempat t
Lingga tengah terbaring di sisi sungai. Pohon-pohon di sekelilingnya bertumbangan setelah ia menggunakan jurus merak putih dan jurus harimau putih. Asap membumbung tinggi ke sekeliling. Beberapa hewan menjauh dari tempat pelatihan.Tarusbawa berada di puncak pohon, menyeka darah di pipi dan dahinya. Ia mengembus napas panjang, mengawasi keadaan sekeliling. “Lingga sudah bisa mengendalikan pusaka kujang emas sedikit demi sedikit. Akan tetapi, dia kewalahan ketika menggabungkan kekuatan pusaka kujang emas dengan jurus-jurus yang dikuasainya. Tubuhnya belum sanggup menahan kekuatan yang sangat besar.”Tarusbawa melompat turun, mendekati Lingga yang masih tidak sadarkan diri. “Aku harus meminta bantuan Ganawirya atau Sekar Sari untuk mengurus pohon-pohon di tempat ini. Untuk sekarang, aku harus membawa Lingga ke gubuknya dan membiarkannya beristirahat.”Tarusbawa memangku Lingga dengan rantai putihnya, melesat cepat melewati reruntuhan pohon sampai akhirnya tiba di depan gubuk. “Aku sehar
“Terkutuklah kalian berdua!” Wira mengambil ancang-ancang untuk melompat, tetapi Danuseka dan Darmasena lebih dahulu menendang punggungnya hingga ia tercebut ke sungai.Wira muncul ke permukaan. “Aku pasti akan membalas tindakan kalian padaku!”Darmasena menatap Wira tajam. “Jangan banyak bertingkah , Wira. Kau tentu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu sekarang. Segera tunjukkan jalannya pada kami sekarang juga.”Wira mendengkus kesal, menyelam memasuki aliran sungai. Danuseka dan Darmasena bergerak menyusul, berenang di samping kiri dan kanan Wira.Aliran sungai tampak deras hingga beberapa kali hampir menyeret Wira, Danuseka, Darmasena. Mendekat ke bawah sungai, beberapa ikan siluman tiba-tiba muncul dan menyerang.Wira, Danuseka, dan Darmasena menghajar semua siluman ikan itu hingga menciptakan pusaran di bawah sungai. Akan tetapi, ikan-ikan siluman-siluman itu seketika bergabung hingga menjelema menjadi ikan raksasa.Wira, Danuseka, dan Darmasena melompat mundur, berdiri di sebu
Wira, Danuseka, dan Darmasena disibukkan dengan pertarungan melawan sosok tiruan mereka masing-masing. Sementara itu, Jatna dan Ratih Ningsih memperhatikan dari jauh.“Kakang, apakah kita akan kembali bekerja sama dengan Nyi Genit?” tanya Ratih Ningsih.Jatna menjelaskan, “Aku masih belum memutuskan, Ratih Ningsih. Akan tetapi, aku tahu jika Nyi Genit bisa mendatangi kita dan memaksa kita untuk kembali berpihak padanya. Sayangnya, kita belum bisa mengalahkan Nyi Genit.”“Itu berarti mau tidak mau kita tetap harus bekerja sama dengan Nyi Genit.” Ratih Ningsih berjalan mondar-mandir. “Para pendekar golongan putih sedang berada di atas angin sekarang. Mereka memiliki pemuda pewaris kujang emas, Tarusbawa, Limbur Kancana, dan para tabib yang sangt luar biasa. Jika kita bergabung dengan Nyi Genit, kita akan mengalami kekalahan.”“Jangan lupakan keberadaan Gusti Totok Surya, Ratih Ningsih. Meski pusaka kujang emas itu sangat hebat, bukan berarti pewaris kujang emas itu mampu menggunakan sel
Padepokan Maung Bodas Langit sudah bersolek lembayung ketika seorang anak laki-laki baru tiba di depan sebuah padepokan. Tampak halaman bangunan itu dipenuhi murid-murid persilatan yang tengah berlatih secara berpasang-pasangan. Ketika mentari sudah sepenuhnya terlelap di ufuk barat, obor yang mengelilingi area sekitar menyala secara bersamaan. Anak laki-laki bernama Lingga itu memilih jalan samping untuk sampai ke belakang bangunan. Pandangannya bermuara pada kumpulan murid yang masih berlatih, merekam dan mencatat dalam otak semua gerakan yang ditampilkan. “Kuda-kudanya masih salah, pukulannya kurang bertenaga, gerakannya masih kaku,” gumam Lingga seperti guru yang tengah mengamati perkembangan muridnya. Beban berat yang anak itu pikul mendadak ringan, padahal ia tengah membawa tiga ikat kayu bakar di punggung, juga dua kantong besar berisi buah dan sayuran liar yang ia dapat di sekitar hutan. Lingga terus bergumam dengan pan
Malam kian menggurita di pedalaman hutan Ledok Beurit. Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memantulkan cahaya keemasan. Langit terlihat cerah dari jajahan awan. Di salah satu pohon yang tak jauh dari padepokan, Lingga tengah duduk di dahan paling tinggi. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat pekatnya Ledok Beurit. Kawasan padepokan ini memang berada di tengah hutan, jauh dari lokasi penduduk. Setidaknya butuh setengah hari agar bisa ke perkampungan terdekat. Berbekal obor kecil, Lingga mulai membuka lembaran gulungan-gulungan berisi gerakan silat yang sengaja ia gambar secara sembunyi-sembunyi. Ia berusaha berkonsentrasi untuk mengamati isi gulungan. Namun, fokusnya justru tertuju pada pekarangan yang ramai. Malam ini, para murid padepokan akan mendapat senjata mereka masing-masing dari Ki Petot sebagai tanda kelulusan dari padepokan ini. “Aku sangat kesal setiap kali kegiatan ini berlangsung.” Lingga menutup kembali gulungan, memilih berbaring
“Lingga!” sentak Ki Petot dengan suara tertahan. Matanya seakan ingin melompat dari tempatnya. Lingga dengan cepat berdiri, menepuk-nepuk baju dan celana. “Punteun, Ki,” ucapnya takut. Pandangan para murid segera tertuju pada Lingga dan Ki Petot. Sepertinya bocah pelayan itu akan kembali menjadi bulan-bulanan sang guru, pikir mereka. “Kenapa kau ada di sini, hah?” Ki Petot segera menunjuk dahi Lingga dengan ujung tongkat. “Bukannya aku sudah memerintahkanmu untuk menjauh dari semua hal yang berbau silat dan pendekar? Kenapa sekarang kau justru berada di sini?” “Ma-maaf, Ki. Aku ... tidak sengaja melihat hantu di kamar Aki,” jawab Lingga seraya menunduk. “Kamar?” Ki Petot sontak mengcengkeram kerah baju Lingga, lalu mengangkat tinggi-tinggi anak itu dengan satu tangan. Pandangannya menguliti Lingga lekat-lekat seperti harimau mengamati buruan. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku, hah? Bukannya aku sudah melarangmu untuk masuk?”