"Aku tidak tau, Bu. Tapi aku rasa Mas Alan tidak akan pernah mau meninggalkannya.""Kenapa tidak mau?" "Karena ... Aku merasa Mas Alan sudah mulai menyukai Yulia." "Apa yang kamu katakan? Ah! Terserahlah anak itu mau suka mau cinta sama si Yulia itu, Ibu tetap tidak mau merestuinya. Ibu tidak peduli! Aira ... Andai dulu kamu tak mengizinkan Alan atau kamu pergi saja dari Alan dan cari kebahagiaanmu sendiri. Kamu tidak akan bahagia berbagi suami dengan wanita licik seperti Yulia, Ra. Dia akan berusaha keras untuk untung sendiri. Dia akan ingin menguasai Alan dan hartanya seorang diri. Kamu juga berhak bahagia, dan Ibu pun tidak akan membiarkanmu hidup menderita dengan anak Ibu.""Jadi Ibu tetap akan membiarkan Mas Alan bersama Yulia walau Ibu tidak menyukainya?" Vina membenarkan posisi duduknya walau sedikit meringis. "Ah, itu resikonya sendiri. Biarkan dia menderita dan emnyesal karena telah menyia-nyiakan wanita sesempurna kamu hanya demi pelakor kurang ajar itu!" Aira kembali me
"Ada apa, Dek?" tanya Alan yang sudah mendekat. Aira semakin salah tingkah. Ia berusaha menyembunyikan mata sembabnya dari sang suami."Gak ada. Gak ada apa-apa, Mas. Kamu ... Kok sudah pulang?" "Iya. Semuanya selesai lebih cepat dari perkiraan. Ada apa sebenarnya, Dek? Kamu kenapa?" tanya Alan sambil membingkai wajah Aira. Ia mengamati wajah itu yang terlihat baru saja menangis. "Dek, bicara sama Mas. Ada apa ini?" Aira kebingungan. Ia tak tau harus berbicara dari mana. Aira memberanikan diri menatap suaminya, namun akhirnya ia tak tahan dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan Alan."Maas ... Maafkan aku," ucap Aira sambil menangis sesenggukan dalam dekapan Alan.Alan masih diam, perasaannya mulai tak enak. Ia berusaha memikirkan kemungkinan apa yang telah terjadi selama ia tak di rumah. Alan yang merasa lelah tiba-tiba disambut dengan tangisan sang istri begitu pulang. Padahal, keadaan baik-baik saja saat ia tinggalkan kemarin."Ayo, ayo kita ke kamar." Alan membawa Aira yang masi
Alan tersenyum gemas melihat reaksi Yulia. Dia sampai menutupkan mulut Yulia yang menganga dengan tangannya sambil terkekeh geli. Yulia langsung megerjap dan gelagapan. "Ibu Vina itu ibu kandung Mas. Sedangkan ibunya Aira tinggal di luar provinsi. Bukan di kota ini. Jadi, sudah jelas kalau di sini kamu sudah salah faham." Yulia menunduk, ia menggaruk kepalanya sambil melamun. "Tapi ... Bu Vina dekat sekali dengan Mbak Aira.""Ya, kamu benar. Siapapun juga pasti mengira kalau Aira lah anak Ibu, bukannya Mas. Ibu memang sangat menyayangi Aira dari pertama dia menjadi menantunya. Ibu sudah menganggap Aira anaknya sendiri. Bukan menantunya."Yulia tak berani berkata-kata lagi. Sungguh, ia sungguh malu sekali dengan suaminya. Ia sudah salah sangka selama ini. Dan ... Ia juga sudah bertindak kasar pada Vina. Yulia sampai meringis mengingat kejadian kemarin. Di mana dia benar-benar marah dan menunjukkan sisi buruknya. Melihat Yulia yang terus menunduk membuat Alan ingin menghiburnya. Ia p
"Loh, kok, jadi Ibu yang salah?" tanya Vina dengan sewot."Itu benar, Bu. Jadi sebenarnya, Yulia ini sudah salah faham pada Ibu dan Aira. Yulia menyangka kalian itu mengincar Cilla dan berencana akan merebutnya dari Yulia. Dan, Bu, apa Ibu juga mengakui kalau telah mengatakan kata-kata yang menjurus ke hal tersebut? Sehingga membuat Yulia semakin ketakutan?" Vina mendelik. Namun ia tak mengatakan apapun sebagai pembelaan. Sikapnya itu secara tak langsung telah menunjukkan pengakuannya. "Dan tadi pun, apa Ibu menyadari kalau kata-kata yang Ibu anggap pembelaan terhadap Aira itu secara tak langsung malah memanasi Aira? Apa Ibu menyadarinya?" "Tapi memang itu kenyataannya, Alan.""Tidak, Bu. Ibu salah." Alan melirik Aira yang terus menuduk. Pria itu merangkulnya hingga membuat Aira menoleh. "Alan sangat mencintainya, dan akan terus mencintainya selamanya. Dan, Bu, Aira itu wanita tangguh. Dia sudah melewati banyak perjuangan dan pengorbanan untuk berada di titik ini. Dengan bersikap
"Mas, terima kasih," ucap Yulia. Kini mereka sudah berada di kamar. Malam ini dan seminggu ke depan adalah giliran Alan bersama Yulia. Dan Yulia memanfaatkan saat-saat di mana mereka hanya berdua dengan mencurahkan semua yang ada di hatinya."Untuk apa?" tanya Alan yang sedang mengajak Cilla bermain. "Untuk semuanya. Karena telah membantuku menyelesaikan semua masalah dan menjernihkan kesalahfahamanku selama ini."Alan tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Sudah tugasku menyelesaikan semuanya. Memang peran Mas untuk menjadi penengah antara kalian bertiga. Mas juga sangat bahagia dengan akurnya kalian. Bukan hanya Mas yang harus mendapatkan terima kasih, tetapi kamu juga."Alan terus berbicara dengan nada lembut, hingga membuat Yulia begitu memperhatikannya dan merasa nyaman."Terima kasih sudah menjadi rekan yang baik untuk Aira. Terima kasih untuk kesabaranmu dalam menerima perlakuan dan ucapan-ucapan pedas dari Ibu. Terima kasih juga karena kamu bisa melakukan tugasmu dengan baik."
Yulia masih mematung di depan pintu kamarnya. Lalu kemudian suara tangisan Cilla membuatnya langsung tersadar dan masuk ke dalam kamar. "Eh, anak Ibu sudah bangun." Yulia menyimpan baju hadiah dari suaminya itu dan menggendong Cilla. Ia mencium pipi gembul Cilla dengan gemas."Mandi pagi, yuk, Sayang? Biar segar. Kamu sudah dua hari cuma di lap sama Ibu. Sekarang kita mandi, pakai air hangat." Yulia terus berceloteh riang sambil berjalan ke luar kamar untuk menyiapkan air hangat. "Ehh ... Anak Bunda sudah bangun?" ucap Aira begitu melihat Yulia memasuki ruang makan. "Sini, sini ... Bunda kangen sekali ingin gendong kamu ... " Aira langsung mengambil alih Cilla dari pangkuan Yulia dan menciumnya dengan gemas."Mbak, Cillanya mau aku mandiin dulu biar wangi." "Iya. Kamu siapin aja air hangatnya. Biar Cilla aku yang gendong. Yang namanya bayi gak ada bau-baunya walaupun baru bangun tidur. Mulutnya juga wangi khas bayi." Aira terus mencium Cilla yang masih terus menggeliat sambil meng
Hari yang tertera di kartu undangan pun telah tiba. Semua segera bersiap-siap untuk menghadiri acara tersebut. Karena Yulia repot mengurusi Cilla, Alan akhirnya bersiap dengan dibantu Aira. "Perfect," ucap Alan yang sedang menatap Aira berdandan. Aira mengulum senyum dan pipinya bersemu merah. Ia kini menggunakan Abaya yang baru saja Alan hadiahkan padanya. Dipadukan dengan jilbab pashmina berwarna senada yang lebar hingga menutup bawah p*ntatnya. Wajah cantiknya semakin terlihat segar dengan sapuan make up tipis."Kamu juga perfect, Mas," ucap Aira tak mau kalah."Emm, Mas lihat Yulia dulu, ya? Takutnya dia kerepotan dan butuh bantuan." "Iya, Mas. Aku juga selesai sebentar lagi."Alan pun beralih ke kamar Yulia. Benar saja dugaannya, Yulia bahkan belum bersiap-siap. Ia masih merias Cilla dengan sedemikian rupa. Ia sudah memakaikan bondu lucu berwarna pink, tetapi kemudian ia membukanya lagi dan memakaikan kerudung bayi padanya. Yulia menatap Cilla sejenak sambil menopang dagu, lal
Setelah bersalaman pada kedua mempelai, Alan dan semua keluarganya berbaur dengan para tamu undangan. Alan memilih berkumpul dengan para laki-laki, kebetulan memang ada yang ia kenal di sana. Apalagi Aira, ia sangat bahagia karena ada banyak temannya semasa mondok yang juga ikut hadir di sana. "Airaa ... Apa kabar?" tanya Sofi dengan antusias."Alhamdulillah baik, Sof. Kamu bagaimana?""Aku juga baik. Kamu ke sini dengan siapa?" "Dengan keluargaku." "Oh, iya, kah? Di mana mereka?" tanya Sofi dengan celingukan"Itu suamiku." Aira menunjuk Alan yang sedang mengobrol dengan kenalannya. "Dan yang sedang duduk itu, Ibu mertuaku. Dan yang di sampingnya itu adikku." "Apa? Adik? Sejak kapan kamu punya adik?" tanya Sofi dengan penasaran."Emmm, dia ... Adik maduku.""Apa? Adik madu? Kamu ... Di madu, Ra?" "Iya." "Sejak kapan? Ya ampun, bagaimana ceritanya?" Aira menghela nafas. Ia sudah menduga kalau hal ini akan terjadi. Tetapi, ditutupi juga percuma."Ceritanya panjang, Sof. Kalau ak