“Tidak sama sekali, Profesor,” Anisa menggerutu sambil menggelengkan kepalanya. Anisa tidak boleh kehilangan kepercayaan Profesor Jalaluddin, jika dia sudah tidak dipercaya, maka Anisa akan kehilangan pekerjaannya sebagai asisten dosen. Dengan demikian dia harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan semua tugas yang diberikan Profesor Jalaluddin. Profesor Jalaluddin mendengus dingin lalu berkata, “Jika kamu tidak bisa melakukannya, katakan saja padaku. Saya memberikan tugas ini kepada Nabila Maharani, dia pasti akan memakan waktu kurang dari 2 minggu.” “Jangan, Profesor. Saya akan menyelesaikan semua tugas ini dengan benar dan cepat.” Anisa menggerakkan kedua tanggan seperti lambaian penolakan dengan cepat berharap Profesor Jalaluddin memberinya kesempatan. “Bagus. Sebaiknya kamu selesaikan tugas itu dengan baik.” Tangan Anisa mengepal dengan penuh semangat dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menyesaikan semua tugas dengan cepat. Meskipun kata-kata Profesor Jalal
Gelak tawa menggema di koridor, semakin dekat, ditambah dengan suara bola yang memantul ke atas dan ke bawah. Dua pria tinggi berjalan dari belakang ke arah Anisa. Mereka adalah Maulana Ibrahim dan Alexander Martin, mereka berdua melihat keributan dari jauh dan memutuskan untuk menjadi penengah. Alexander yang memegang bola basket melingkarkan lengannya yang bebas ke bahu Anisa. "Saya mendengar seseorang mengancam junior saya," kata seorang pria yang baru sampai sambil tertawa. "Tentang apa semua itu? Apa yang akan terjadi dengan kembang kampus kita? Tapi jangan takut. Aku ada di sini selalu melindungimu." Secara tidak sadar Anisa berdiri di sana tak berdaya sambil memeluk pria itu sejenak. Kejadian itu seperti yang bersikap begitu santai, begitu santai, tidak peduli dengan situasi yang ada. Dengan sedikit terkejut Alexander bertanya, “Apakah kamu takut dengan mereka berdua?” Anisa kembali sadar lalu menjauh darinya dan berkata, "Saya tidak takut, Senior." “Baiklah kalau beg
Alis Ibrahim masih terkatup rapat, namun nada suaranya tetap lembut saat menjawab, “Jangan berbicara begitu bebas tentang sesuatu tanpa bukti apa pun, Sumiati. Ditambah lagi, Amanda bilang kamu baru saja bersenang-senang tadi. Jangan membuat keadaan menjadi lebih buruk, ya.” “Itu tidak benar, Saudraku. Tadi Amanda hanya bergurau saja. Amanda! Katakan yang sebenarnya terjadi, aku tidak ingin Anisa lepas begitu saja!” desak Sumiati kepada Amanda agar menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Amanda dengan senang hati menceritakan kejadian itu. Namun, sepertinya dia melebih-lebihkan fakta yang ada dan memojokkan Anisa dengan segala upaya. Anisa mengepalkan tangannya dengan kuat dan siap menghajarnya kapan saja. “Awas ya kau! Aku akan membalaskan semua penghinaan ini dengan berkali-kali lipat!” gumam Anisa di dalam hatinya dengan geram. Sadar dengan sikap Anisa yang sedang marah, Alexander menyapu rambut dari matanya dan memberikan saran, “Karena sepertinya tidak ada yang bisa mengamb
Bosan dengan Amanda dan dramanya, Anisa berkata dengan dingin, “Saya pikir kalian berdua berhutang maaf kepada saya. Dan berhentilah dengan air mata buaya itu!” Amanda merasa malu di hadapan Alexander, wajah memerah dan pandangannya tertunduk. Sekarang dia tidak bisa menyangkal setelah bukti rekaman CCTV yang sangat jelas. Alexander bersama Ibrahim memandang Amanda dan Sumiati dengan tatapan yang jijik, kedua pria tampan itu siap bersaksi bahwa Anisa berkata benar. “Setuju, sebaiknya kalian berdua meminta maaf kepada Anisa,” tambah Alexander. “Saya dan Ibrahim bisa bersaksi tentang hal itu.” Sumiati merasakan sakit yang menusuk hatinya saat melihat pria yang disayanginya membantu wanita lain mengancamnya. Ketika dia tidak bergerak, Ibrahim menyesuaikan kacamata berbingkai hitamnya dan berkata, “Sebaiknya kamu harus meminta maaf setelah melakukan kesalahan, Sumiati.” “Aku bisa dibilang adik perempuanmu, bukan?” Sumiati berteriak dengan ekspresinya yang sangat marah. “Bagai
“Apakah kamu tidak ingin mengucapkan terima kasih kepada kami, Anisa?” kata Alexander sambil mengerakkan kedua alisnya naik dan turun dengan tatapan menggoda. Saat mereka meninggalkan ruang kendali, Anisa berterima kasih kepada kedua senior tersebut atas bantuan mereka. “Untung saja kalian berdua datang. Kalau tidak, Sumiati dan Amanda pasti akan merundung aku habis-habisan. Terima kasih, Kak Senior,” kata Anisa dengan senyuman manis yang tersungging wajah cantiknya. “Kamu adalah junior kami, wajar saja kami berdua akan melindungi kamu,” balas Ibrahim dengan suaranya yang lembut, dan dia melihat mata Anisa melebar sambil memainkan rambutnya. “Jika kedua wanita itu mengganggu kamu lagi, kamu bisa memanggil kami,” tambah Alexander sambil melingkarkan tangannya di bahu Anisa. Anisa hanya menganggukkan kepalanya sebagai respons mengiyakan sambil menepis tangan Alexander. Amanda dan Sumiati memiliki temperamen yang sangat berapi-api, dia akan mendesak Anisa untuk meminta maaf, bert
"Kamu juga pria yang baik, Senior Ibrahim. Kamu baik dan lembut, dan kamu selalu memperhatikan aku. Kamu telah banyak membantu aku dalam pembelajaran yang belum aku mengerti," kata Anisa dengan tersenyum hangat sambil memuji Ibrahim. Pujian Anisa membuat Ibrahim bersemangat. Saat itu, telepon Anisa berdering. Saat dia melihat siapa identitas penelepon itu, sudut mulut Anisa terangkat seperti tersenyum. Ibrahim bertanya-tanya siapa yang membuatnya menyeringai seperti anak kecil. "Aku akan pergi, Senior. Sepertinya aku sudah dijemput oleh seseorang. Sudah dulu ya, Terima kasih lagi. Aku akan mentraktirmu dan Senior Alexander untuk minum teh tarik lain kali." Harga makanannya tidak terlalu mahal, Anisa masih harus menabung untuk pengobatan David. Anisa berniat mentraktir kedua pria itu sebagai balas budi dengan apa yang mereka perbuat. "Aku juga baru saja akan pergi. Kita bisa pergi bersama, bukan?" Diam-diam, Ibrahim ingin tahu siapa yang akan ditemui Anisa, dan telah membuatny
Paman Iskandar Muda merapikan pakaiannya, kemudian dia keluar dari mobil, meringis dalam hati saat dia melangkah menuju Anisa. Saat dia mendekat, dia mendengar Anisa berkata, “Terima kasih telah menangkap saya, Senior Ibrahim. Jika tidak, aku akan terjatuh tadi.” “Hati-hati Anisa, perhatikan setiap langkah kakimu.” Saat mereka berjalan ke arah gerbang sekolah, Anisa dan Ibrahim sedang memeriksa dokumen yang diminta Profesor Jalaluddin untuk diterjemahkan, untuk melihat apakah dia dapat membantunya. Anisa terlalu terpaku pada beberapa bagian yang tidak bisa dia pahami, lupa arah dan hampir tersandung, tetapi Ibrahim telah mengulurkan tangan dan memeluk Anisa lalu menenangkannya. Anisa dan Ibrahim saling bertatapan sejenak dengan wajah mereka yang memerah merona karena tersipu malu. Ibrahim hampir bisa merasakan telapak tangannya kesemutan karena aroma Anisa yang sangat menggoda. Menjaga wajahnya tetap netral, dia bertanya, “Apakah kamu baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja, ko
Seseorang berdiri di depan cermin dengan gaun pengantin yang tidak pas dengan badannya. Dia adalah Anisa Rahma, dia mengamati bayangannya dan merasakan sudut bibirnya berubah menjadi senyuman masam. "Cepat! Tanda tangani kontrak ini!" Anisa Rahma mengambil dokumen yang diberikan oleh Ardiansyah Siregar kepada dirinya. Matanya beralih ke bagian bawah halaman, di sana tertera tanda tangan berserta nama yang tecetak jelas, David Hutapea. Ardiansyah Siregar adalah ayah kandung Anisa Rahma dari hubungan gelapnya. Dia selalu menghinakan Anisa, dan tidak mengakuinya sebagia anaknya. Walaupun Anisa selalu diperlakukan buruk oleh ayahnya, dia sebagai anak yang baik hanya bisa menurut apa yang dikatakan ayahnya. "Baiklah," balas Anisa sambil menghela napas panjang. Tulisan tangannya sangat rapi, seolah-olah dicetak dengan menggunakan mesin cetak, tetapi penanya dicengkeram dengan cukup kuat hingga tintanya merembes ke sisi lain kertas yang membuatnya sedikit kotor. "Kamu akan dira