Senang bertemu dengan Elena di sore hari, mereka pergi ke restoran Italia untuk makan malam bersama. Hari ini adalah hari jadi ke empat tahun mereka. Elena ingin merayakan dengan makan malam romantis.
Mereka duduk dekat dengan jendela, restoran ini berada di lantai 12 sebuah hotel, mereka bisa melihat pemandangan lampu kota ketika malam hari dengan duduk di dekat jendela kaca.
“Apakah Anda sudah siap dengan pesanannya?” tanya seorang pelayanan di restoran itu.
Ketika Sena mengarahkan bola matanya ke arah pelayan dengan tinggi 165 Cm itu ia terkesiap. Ia mengenali wajah cantik di hadapannya, kulitnya kuning langsat dengan wajah yang cantik.
“Kamu temannya Septa kan?” sapa Sena, wajahnya sedang mengingat nama gadis ini.
“Amitha.”
“Oh ia benar, kamu Amitha Si Gadis pemanjat tebing.” Mata Sena berbinar ketika mengatakan itu.
Elena berwajah dingin ketika melihat interaksi dua orang di depanny
Sena kembali ke kampus setelah mengantar Elena ke studio pemotretan. Ia bekerja menjadi model sekarang, keinginan terbesar Elena adalah menjadi top Model internasional. Sebelum menuju fakultasnya, Sena akan selalu melewati arena wall climbing milik organisasi MAPALA kampus ini. Ia melihat lagi Amitha tengah berlatih panjat tebing, dulu ia tak begitu memperhatikan siapa saja yang sedang memanjat dinding vertikal itu, tapi setelah ia mengenal Amitha ada rasa ingin tahu lebih di hatinya.“Sepertinya kamu berlatih cukup keras akhir-akhir ini. Kemampuanmu juga cukup meningkat,” sapa Sena pada gadis yang tengah bergelantung turun dengan jarak tiga meter di atas kepalanya.“Akan ada kompetisi antar kampus dalam dua minggu lagi, aku harus lebih banyak berlatih,” jawab Amitha yang kini sudah berdiri tepat di hadapan Sena. Gerakan kakinya ketika turun dari kaki begitu lembut, ada angin sejuk juga yang menyertai pendaratan cantik Amitha.Sena terteg
Setelah Catra mengatakan hal itu, sebuah pesan masuk ke ponsel Sena.[Pulanglah ke rumah sepulang kuliah nanti!] bunyi pesan Irawati.“Beralihlah profesi menjadi peramal, alih-alih menjadi arsitek. Itu akan membuang-buang bakatmu!”“Apakah itu pesan dari ibumu?” tanya Catra ketika mendapati Sena masih menatap layar ponselnya. Ia juga tak mengira bahwa ibunya bahkan akan mengirim pesan ketika mereka baru saja diam setelah mengatakan tentangnya.“Aku harus menjawab apa?”“Sebagai anak kamu harus berbakti. Pulanglah, semua akan baik-baik saja asal kamu tidak makan apa yang di sajikan ibumu!”Wajah Sena menjadi gelap, ia mendesah dengan nafas yang berat. Sore hari saat semua kelas selesai ia segera menuju ke rumahnya.“Sudah berapa hari kamu tidak berkunjung ke rumah? Tak tahukah kamu Moana terus merengek untuk bertemu denganmu,”Moana kini sudah menginjak usia sepuluh tah
Saat sore hari menjelang, Gina sudah mempersiapkan semua keperluan untuk melakukan ritual. Ia menyiapkan gentong air berisi bunga tujuh rupa. Sebuah ranjang yang terbuat dari kayu jati dengan kain putih bersih di atasnya. Sebelum bulan purnama merah menghiasi langit, ritual pertama yang harus ia lakukan adalah memandikan Sena.Sena mulai masuk ke dalam bilik saat matahari terbenam, Ki Sukmo berada di depan rumah untuk membuat tabir gaib agar keberadaan Sena tidak terlacak oleh ratu Segara. Sementara di atas tanah rumah Gina berdiri makhluk besar dengan seluruh tubuh berbentuk api.Banyak makhluk halus lain mengitari rumah Gina dengan berbagai perwujudan menciptakan suasana mistis yang mencekam.“Kamu bisa melakukan ritualmu sekarang,” suara pria tua tak berwujud yang tak lain adalah Kakek Gina terdengar.Gina segera memandikan Sena yang bertelanjang dada dengan bunga tujuh rupa. Di mulai dari ujung kepala hingga kaki, sambil terus merapal mant
Sepanjang perjalanan Sena menatap ibunya yang terus merintih kesakitan di kursi penumpang sebelahnya. Ia tak mengetahui sejauh mana rasa sakit itu, tapi ia bisa melihat bahwa itu adalah rasa sakit yang menyiksa dari wajah ibunya yang pucat bahkan urat-urat di wajahnya menyembul.“Mari kita ke rumah sakit dulu Bu, beberapa meter lagi kita sampai di rumah sakit umum daerah.”“Tidak, ini tidak bisa sembuh hanya dengan bantuan medis.”Sena menghela nafas, ia tidak tahan melihat rasa sakit yang di derita ibunya. Membawa ke rumah sakit memang hanya akan sia-sia saja.Sena segera menghubungi Catra setelah menepikan mobilnya. Ia yakin setidaknya Catra pasti tahu cara meringankan derita ibunya.“Catra, bisakah kamu membantuku? Ibuku begitu kesakitan di bagian telapak tangan. Apakah kamu punya cara untuk menghilangkan rasa sakit itu,”“Entahlah, biarkan aku berpikir dulu.”Untuk beberapa saat hany
Pagi hari Sena pergi ke kampus dengan pikiran yang linglung, setelah memarkirkan mobilnya ia berjalan kaki menyusuri lorong menuju kelasnya.“Awas!” suara wanita terdengar dari belakang tubuh Sena sembari merengkuh tubuhnya.Brak!Suara bata putih jatuh setelah kedua orang itu tersungkur di tanah. Sena baru menyadari bahwa sedetik saja wanita yang sedang berbaring di atas tubuhnya telat dalam mendorong dirinya maka bata putih itu akan menghancurkan kepalanya.Sena linglung sesaat ketika melihat wajah cantik Amitha yang berada tepat di depan wajahnya. Rambut hitamnya menjuntai ke bawah dan mengenai sebagian wajahnya.Amitha segera bangkit dari atas tubuh Sena, “Apa kamu baik-baik saja?”Sena segera bangkit, ia merasakan sedikit sakit di kepala belakang dan sikunya. Meski begitu pandangan matanya tetap tak teralihkan dari wajah cantik Amitha.“A-aku baik-baik saja.”“Apakah kamu melamun s
Tengah malam mereka mulai berjalan menyusuri hutan untuk menuju ke Gua Rimbi dengan bantuan obor dan juga senter. Mereka harus membelah hutan sejauh satu kilometer sebelum sampai di Gua Rimbi. Hawa dingin dan mencekam terus mengikuti di tiap langkah mereka. Sena bisa merasakan banyak pasang mata tengah mengintai keberadaan mereka di tengah gelapnya hutan.“Berapa banyak hantu yang terus mengintai kita?” bisik Sena pada Catra yang berjalan di depannya.“Banyak sekali, jauh lebih banyak dari pada jumlah pohon di hutan ini. Kenapa? Kamu mau lihat?”“Hih, tidak! Penampakan mereka waktu kecilku dulu saja masih menyisakan trauma.”Setelah tenggelam dulu Indera ke enam Sena sengaja di tutup oleh salah satu dukun suruhan ibunya. Semenjak ingatan Sena tentang kejadian masa kecil kembali ia juga bisa mengingat betapa menyiksanya dulu ketika ia bisa melihat wujud menyeramkan setan-setan yang terus menampakkan diri pada Sena kecil
Setelah menghabiskan malam panjang di dalam Gua Rimbi, mereka sampai di rumah Mbah Dayat saat fajar baru merekah. Ketiga tamu Mbah Dayat segera tidur di ruang tamu secara serampangan, mengabaikan betapa keras lantai yang hanya tertutup tikar tipis. Mereka tertidur dengan sekejap mata saat kepala mereka baru menempel di lantai. Mereka kelelahan secara mental dan fisik, tertidur seperti mayat dan baru bangun pada sore hari.“Jadi bagaimana cara menemukan pengantin langit?” tanya Sena saat Catra menemani dirinya duduk di teras rumah Mbah Dayat yang asri.Catra tak bisa menjawabnya, sebagai gantinya ia segera mengajak Sena berdiskusi dengan Pak Adi dan Mbah Dayat.“Sangat sulit mencari gadis itu hanya dengan petunjuk tanda di belakang lehernya. Kita tidak mungkin menyibak rambut tiap gadis yang kita temui,” keluh Pak Adi.“Mari kita perkecil pencarian.”Sena, Pak Adi dan Mbah Dayat menatap ke arah Catra penuh tanda t
Bruk!Suara hantaman benda tumpul membuat Amitha terkejut dan membuka matanya, sesaat kemudian ia melihat dua preman tadi tengah tersungkur dan mengerang karena pukulan keras tepat di belakang tengkuk lehernya. Ratna melarikan diri saat melihat ada pria lain datang memberi pertolongan pada Amitha.Dua preman itu segara bangkit untuk memberi serangan balasan. Sena bersiaga dengan tongkat kayu panjang yang berhasil ia temukan di tumpukan bekas pembangunan. Perkelahian dua lawan satu hampir membuat Sena terjepit, beruntung saat Sena sudah terpojok seorang satpam sedang mengarahkan senter ke arah mereka. Preman itu segera lari meninggalkan Sena dan Amitha.“Apa kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Sena menghampiri Amitha.Amitha menggeleng, sebagian dari jiwanya masih ketakutan. Jemarinya bahkan masih gemetar, Amitha yang masih shock hanya menjawab Sena dengan menggelengkan kepalanya.“Mari, aku akan mengantarmu ke kantor