Omongan Kak Mirna seperti tamparan buatku. Selama ini aku selalu sok pintar menasehati Bang Aldin atas kewajibannya sebagai seorang muslim. Aku sendiri? Sebagai seorang istri?
Aku tak bisa menjawab omongan Kak Mirna. Walaupun ia tahu bagaimana pernikahan ini. Mungkin kakakku ini tidak lagi menganggap rencana Bang Dion.Namun, aku harus bagaimana? Bang Dion sekarang sedang bersemangat menyelesaikan kuliah, karena dengan itu ... artinya ia semakin dekat dengan rencananya dulu. Walaupun aku juga menganggap ini semua adalah seperti makan buah simalakama. Lagian Bang Aldin memang tidak pernah meminta haknya yang satu itu, bahkan dia sendiri menyediakan kamar khusus untukku selama ini."Mmm ... ayo kita ke depan, Kak! Mobilnya udah hampir sampai." Aku meraih tas selempangku dari atas rak di dekat lemari dan melangkah hendak pergi dari kamar itu, malas membahasnya lebih jauh."Oke!" Kak Mirna dengan semangat ikut melangkah ke luar.***"Memang kenapa?" Lelaki itu pun ikut duduk."Jangan pake sentuh, dong. Aku risih!" seruku.Alisnya bertaut memasang wajah tanpa dosa. "Kamu denger, 'kan tadi nasehat ayah?"Deg!Seketika aku tertegun. Apa ... apa Bang Aldin akan meminta haknya seperti yang ayah katakan?"Ta–tapi ... tapi kita 'kan?"Bang Aldin mengalihkan pandangan ke arah depan. "Dari awal Abang menikahi kamu, Abang gak pernah menganggap pernikahan kita ini hanya sandiwara, Mil," ujar Bang Aldin tampak serius, ia lalu menatapku, bibirnya tersenyum miring, "Abang gak peduli lagi sama Dion.""A–apa?" Aku terkejut mendengarnya.Ia menyugar rambutnya, kemudian menghempas tangannya. "Abang kira dia akan berubah dengan jatuh cinta kepada kamu, perempuan yang shaliha. Ternyata dia masih terus kekanakan. Lagian Abang mau egois sekarang. Toh, kamu istri Abang?"Dahiku mengernyit demi mendengar kata-kata pria di hadapanku ini. Apa yang Bang Aldi
Kembali aku merasakan bibirnya mempermainkan bibirku. Aku memejamkan mata dengan kencang ketika bibir itu menyusuri rahang dan turun ke leherku. Allah ... apakah ini saatnya aku menyerahkan semua kepada pria yang berstatus suamiku? Pikiranku terasa penuh. Bercampur antara sedih karena mendengar kenyataan yang di luar harapanku dengan berbagai praduga lain. Sungguh aku tak menyangka Bang Dion begitu bejat dan tega. Atau ... itu hanya akal-akalan Bang Aldin? Air mata ini terus saja berderai tak tertahankan. Tubuhku direbahkan oleh pria di hadapan yang terus saja mencumbu. Deru napasnya tersengal-sengal. Akan tetapi, aku? Jangankan menikmati, justru semakin terisak. Ya Allah ... hatiku gamang ....Mungkin karena melihat aku yang menangis semakin menjadi-jadi, Bang Aldin menghentikan cumbuannya. "Mil ... jangan nangis ...." Kembali jemarinya menghapus air mata yang terus mengalir di pipiku.Alih-alih diam, tubuh ini malah semakin berguncang menangis sesegukan. "Sh*t!" Bang Aldin menjau
"Silakan ...." Bi Imah meletakkan tiga cangkir kopi di atas meja."Terima kasih, Bi," ucapku.Tampak Bang Dion meraih cangkir itu dan menyeruputnya sedikit. Ia terlihat begitu gugup di hadapan Ayah."Apa kabar kuliahnya, Nak Dion?" tanya Ayah pada lelaki itu."Alhamdulillah, pekan depan saya ujian skripsi, Pak. In syaa Allah," jawabnya. Netranya melirik ke arah jemariku yang digenggam oleh Bang Aldin.Aku hanya berusaha bersikap normal di hadapan Ayah. Walaupun sebenarnya hati ini merasa sangat tidak nyaman dengan perlakuan berlebihan Bang Aldin yang seperti sengaja menunjukkan kepemilikannya akan diriku di hadapan Bang Dion. "Alhamdulillah kalau begitu. Bapak doakan semoga dilancarkan oleh Allah." Ayah tersenyum ramah."Aamiin," sahut Bang Dion mengangguk."Bapak to the point saja, Nak Dion."Bang Dion menyimak pembicaraan Ayah. Begitu juga Bang Aldin dan aku.Ayah mengeluarkan sebuah amplop
Bang Aldin lalu meraih ponselnya dan memesan taksi online karena memang tidak mempekerjakan seorang supir. Sementara kaki kanannya masih belum pulih. Kami bersiap dan tak lama kemudian berangkat menjemput Ivan di sekolah.Hari ini Ayah kembali ke rumah Kak Mirna. Beliau pergi dengan menggunakan taksi online yang telah aku pesankan. Ayah bilang, akan tinggal di sana sebelum Kak Mirna pindah ke Bandung. Beliau tadi berkata, "Kakakmu jarang banget bersama Ayah."Bertahun-tahun Kak Mirna merantau di kota untuk bekerja. Setelah itu ia menikah. Sejak saat itu, kakakku hanya sesekali saja mengunjungi Ayah di kampung. Jadi, wajar saja Ayah ingin lebih lama bersama kakakku itu sebelum wanita itu ikut sang suami. Aku memaklumi. Kak Mirna bilang, sekitar dua pekan lagi baru akan pindah.Aku baru saja pulang dari mengantar Ivan sekolah. Sekolahnya tidak begitu jauh. Hanya sekitar dua puluh menit menggunakan taksi online.Saat ini Aku tengah menonton berita di
Saat ini aku memutuskan untuk menerima apa pun yang terjadi. Mungkin memang ini takdir dari Yang Mahakuasa bagiku. Terserah apa masa lalu Bang Aldin atau pun Bang Dion. Kini aku tidak mau memikirkannya lagi. Rasanya aku sudah lelah ...."Mil ... masuk! Sudah malam ini," suruh Bang Aldin kepadaku yang sedang duduk di teras kamar menghadap kolam renang.Aku tidak menyahut dan tetap bergeming tepekur di situ."Hei ...." Bang Aldin menyampirkan selimut ke bahuku."Makasih," lirihku tanpa menoleh ke arahnya."Sudah jam sepuluh. Kita tidur, yuk," ajaknya lagi."Abang tidur aja dulu," jawabku.Dia menghela napas, kemudian ikut duduk di sebelahku. "Dion ... dia bilang gak pernah mencintai Amel." Bang Aldin menyeringai. Aku tidak menanggapi dan tetap diam."Dia bohong," sambungnya."Terserahlah," ujarku malas.Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin menatapku dengan sorot heran. Ia kemudian
Setelah ia memarkir mobilnya, lelaki itu lalu keluar dan melangkah mendekat. "Assalamualaikum," ucapnya.Aku pun menjawab salamnya sembari berusaha menarik kedua ujung bibir ini. "Apa kabar, Mil?" tanyanya seraya mengulas sebuah senyuman, membuat wajahnya semakin terlihat manis."Alhamdulillah baik, Bang.""Boleh Abang masuk?" tanyanya."Mmm ... maaf, Bang. Lagi gak ada orang di rumah. Di sini aja, ya, kalau ada yang mau disampaikan," ujarku mempersilakannya duduk di kursi di teras tersebut. Aku tak nyaman jika hanya berdua di dalam rumah. Kalau di luar sini, paling tidak ada Pak Hari, satpam kami. Jadi, tidak akan menimbulkan fitnah, menurutku ...."Oh, oke!" sahut lelaki itu dan langsung ia pun duduk di sana."Aku ambil minum dulu ya, Bang," imbuhku.Ia mengangguk dengan senyuman yang masih setia di bibirnya.Setelah selesai menyeduh secangkir kopi instan, aku pun ke luar dan meletakkan cangkir itu d
Bu Fatma tersenyum di sana sembari mengacak rambut si bocah tampan."Bunda kenapa telat, sih?" rajuknya padaku."Iya, Bunda gak sengaja ketiduran tadi," ujarku penuh penyesalan.Ia mengerucutkan bibirnya. "Bu, maaf ya ...," ucapku pada Bu Fatma."Iya, Bunda," sahutnya."Makasih banyak." Aku menjabat tangan Bu Fatma dan kami pun pamit."Ivan mau apa, nanti Bunda beliin." Aku mencoba merayu bocah itu agar mau tersenyum. Wajahnya kini terlihat masam."Aku mau ke kantor Ayah!" katanya.Haduh! Aku tidak pernah ke kantor Bang Aldin sama sekali. Hanya tahu nama CV–nya saja. "Hmm ... Bunda gak tahu jelas alamat kantor Ayah. Kalau Pak supirnya nanya, Bunda gak bisa jawab.""Aku tahu!" kilahnya."Mmm ... oke. Kita ke sana, deh!" Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba ke sana. Daripada bocah ini terus ngambek.Aku lalu memesan taksi online dan menulis alamat yang dituju. Ternyata ketika
Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup