Andin dan Sisil langsung menghentikan langkah kakinya. Kemudian mereka berbalik badan ke belakang.
“Alhamdulillah.” Andin mengelus dadanya. “Aku kira siapa?” ucap Andin pelan. Ia takut kalau Haidar lah yang mendengar pembicaraannya dengan Sisil.
“Kamu jangan macam-macam, Dek!” kata Aldin dengan tegas.
“Macam-macam gimana? Adek, nggak ngapa-apain,” sahut Andin.
“Siapa Zidan?” tanya Aldin pada adiknya. “Kamu udah menikah, Dek, kalau nyari teman tuh jangan sembarangan. Ada hati yang harus kamu jaga.” Aldin menasehati Andin. Ia tidak mau sang adik mendapat masalah nantinya.
“Dia teman kuliah aku,” jawab Andin. “Kami nggak ada apa-apa, kok,” imbuhnya.
“Mulai sekarang, jauhin Zidan! Jangan sampai dia merusak rumah tangga kamu,” tegas Aldin pada sang adik.
“Kita duduk di situ aja!” kata Aldin sembari menunjuk kursi panjang di bawah pohon mangga. “Aku mau nanya sesuatu.”Aldin berjalan duluan diikuti oleh Sisil yang terpaksa mengikutinya. Sebenarnya Sisil sedang berdebar-debar, penasaran dengan apa yang akan Aldin tanyakan. Ia takut Aldin tahu tentang perasaannya.“Dia mau nanya apa ya?” Sisil bertanya-tanya di dalam hatinya. “Sore-sore olah raga jantung,” gumamya dalam hati.“Ayo duduk, kenapa kamu malah bengong.” Aldin menarik tangan Sisil untuk segera duduk di sampingnya.“Yaelah nih orang bikin gue jantungan aja,” batin Sisil.Sisil mencoba bersikap tenang. Ia tidak mau kalau sampai Aldin tahu jantungnya sedang berolah raga.“Kamu kenapa keringetan kayak gitu?” tanya Aldin pada Sisil yang sedang gugup. Keringat di dahinya men
“Cie … tadi main genggaman tangan, sekarang main gendong-gendongan.” Bunda Anin meledek anaknya yang sedang menggendong Sisil.Sisil membenamkan wajahnya di dada Aldin. Ia merasa malu kalo harus melihat wajah dari bunda laki-laki yang ia cintai.“Bunda, jangan bercanda dulu. Ini Sisil lagi sakit kepalanya,” sahut Aldin. Ia terus melangkah menuju kamarnya tanpa menghiraukan sang bunda.“Astaga,” ucap Bunda Anin. “Bunda ambil kotak obat dulu ya.” Bunda Anin bergegas mengambil kotak obat.Setalah mengambil kotak obat, Bunda Anin bergegas menuju ruang tamu.“Loh, mereka ke mana? Apa Sisil diantar ke rumah sakit? Tapi, aku nggak denger suara mobil Abang,” gumam Bunda Anin.Bunda Anin segera melangkahkan kakinya menuju kamar sang anak. Dengan perlahan membuka kenop pintu kamar putranya. Ia melihat S
"Bun, Sisil kenapa? Kata Bibi, dia sakit.” Andin masuk kamar abangnya dengan tergesa. Ia merasa khawatir mendengar sahabatnya sakit. Padahal, barusan masih sehat-sehat aja.“Aku panggil dokter aja ya,” kata Haidar. Lalu ia pergi ke luar kamar untuk menelpon dokter tanpa persetujuan yang lainnya.“Lo kenapa, Sil?” tanya Andin setelah ia duduk di pinggiran tempat tidur, di samping Sisil. Andin memegangi tangan Sisil. “Tanganmu dingin banget, Sil.”“Nggak apa-apa, gue cuma pusing aja,” jawab Sisil pelan. Ia merasa lemas dan mengantuk. “Kenapa gue jadi pusing beneran,” ucap Sisil dalam hatinya.“Lo istirahat aja!” Andin menyelimuti sahabatnya. “Gue bilang ibu, lo nginep di sini ya,” kata Andin sembari mengeluarkan ponselnya.“Bunda udah nelpon ibunya,” sahut sang bunda ketika Andin hendak menelpon Bu Lastri.“Owh udah ya,” sahut Andin sembari menggaruk kepalanya. “Aku
Aldin mendekati Dokter Riko, setelah sang dokter selesai memeriksa Sisil. Ia ingin segera tahu apa sakit yang di derita Sisil. Aldin terlihat sangat khawatir dengan Sisil yang mendadak sakit.“Dia hanya kelelahan. Apa tadi dia terlambat makan?” tanya sang dokter kepada Aldin.“Iya, Dok. Tadi dia terlambat makan siang,” sahut Aldin dengan sopan.“Saya resepkan vitamin untuknya,” ucap sang dokter sembari memberikan secarik kertas bertuliskan resep obat dan vitamin untuk Sisil kepada Aldin.“Sisil udah minum obat pereda nyeri, Dok,” kata Bunda Anin pada sang dokter muda yang terlihat sangat tampan.“Kalo gitu, obat pereda nyerinya jangan diminum lagi. Kalau masih terasa sakit, boleh diminum lagi setelah empat jam ya,” ucap sang Dokter dengan ramah. “Sil, cepet sembuh ya. Banyakin istirahat, jaga kesehatan kamu,”
“Aku nggak akrab, ketemu juga baru dua kali,” elak Sisil. “Kamu kenapa nanya-nanya kayak gitu? Kamu mau kenal juga sama Mas Riko?” tanyanya.Sisil tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aldin. Ia pikir kalau Aldin cemburu karena ia lebih dekat dengan sahabat kakak iparnya.“Udah kamu istirahat aja. Aku keluar sebentar.” Aldin tidak berbicara apa-apa lagi. Ia langsug keluar dari kamarnya.“Aneh banget tuh beruang kutub,” gumam Sisil dalam hatinya. “Ya ampun, kenapa aku jadi ngantuk banget, masa jam segini mau tidur,” ucap Sisil sambil menutup mulutnya yang sdang menguap.Sisil bangun dan terduduk, lalu bersandar pada sandaran tempat tidur. “Nggak ada temen yang bisa diajak ngobrol lagi, ngantuk banget ini.” Sisil berkali-kali menguap. “Gue keluar aja kali ya?” gumam Sisil. Lalu ia turun dati tempat tidur. Baru beberapa
“Kenapa kamu balik lagi, Bee?” tanya Haidar pada sang istri.“Kakak lagi mijat kepala Sisil, kayaknya si cempreng tidur,” jawab Andin. Lalu mengempaskan tubuhnya ke kasur.“Jangan tidur! Kamu utang penjelasan sama aku.” Haidar menghampiri sang istri lalu duduk di pingiran tempat tidur.“Aku kira kamu lupa,” sahut Andin sembari tertawa pelan. Lalu bangun dan duduk bersila di samping suaminya.“Ayo jelasin!” titah Haidar.“Apa yang harus aku jelasin? Kamu aja yang tanya, nanti aku jawab,” ujar Andin sembari melirik sang suami.Haidar memiringkan tubuhnya menghadap sang istri. Ia melipat kakinya sebelah di atas kasur. Kaki sebelah lagi dibiarkan menjuntai ke lantai.“Siapa Zidan?” tanya Haidar serius. Sorot matanya tajam seperti elang.
Andin tidak menjawab panggilan telepon di ponselnya karena itu panggilan dari Zidan. Ia hanya menatap layar ponselnya.“Kenapa nggak kamu angkat?” tanya Haidar pada sang istri yang hanya memandangi layar ponselnya.“Ehm … ini dari Zi-”“Baiklah aku keluar, biar kalian lebih puas ngobrolnya,” sela Haidar memotong pembicaraan Andin. Lalu ia keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamar dengan keras.“Astaga!” Andin mengelus dadanya karena terkejut dengan dentuman pintu yang begitu keras. “Brondong alot gue marah,” ucapnya. “Gara-gara lo sih.” Andin memarahi ponselnya yang masih saja berdering.Ia turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk menyusul suaminya.“Kemana dia?” Andin bertanya pada dirinya sendiri ketika menuruni tangga. “Bun, lihat suamiku nggak?
“Nggak usah dibahas,”jawab Haidar pelan, tapi tegas.Ketika Andin ingin mengatakan sesuatu pada sang suami, ada Nenek dan Kakek yang sudah berada di meja makan. Sehingga ia pun mengurungkan niatnya.Haidar menarik kursi untuk Andin, setelah Andin duduk, ia juga ikut duduk di samping istrinya.“Ar, Ayah mana?” tanya Bunda Anin yang baru datang. Lalu ia duduk di samping Andin.“Sebentar lagi katanya, Bun,” jawab Haidar dengan sopan.“Orang ganteng ada di sini,” sahut Ayah Rey dari belakang Bunda Anin.“Udah tua juga, masih aja kepedean,” sahut Bunda Anin sembari mencebikkan bibirnya.“Kenapa sih, Bun?” tanya ayah Rey sembari memegangi bahu sang istri lalu mencium pipi istrinya. “Kangen ya sama Ayah,” kata Ayah Rey setelah mencium Bunda Anin. Kemudian ia dudu