“Cie … tadi main genggaman tangan, sekarang main gendong-gendongan.” Bunda Anin meledek anaknya yang sedang menggendong Sisil.
Sisil membenamkan wajahnya di dada Aldin. Ia merasa malu kalo harus melihat wajah dari bunda laki-laki yang ia cintai.
“Bunda, jangan bercanda dulu. Ini Sisil lagi sakit kepalanya,” sahut Aldin. Ia terus melangkah menuju kamarnya tanpa menghiraukan sang bunda.
“Astaga,” ucap Bunda Anin. “Bunda ambil kotak obat dulu ya.” Bunda Anin bergegas mengambil kotak obat.
Setalah mengambil kotak obat, Bunda Anin bergegas menuju ruang tamu.
“Loh, mereka ke mana? Apa Sisil diantar ke rumah sakit? Tapi, aku nggak denger suara mobil Abang,” gumam Bunda Anin.
Bunda Anin segera melangkahkan kakinya menuju kamar sang anak. Dengan perlahan membuka kenop pintu kamar putranya. Ia melihat S
"Bun, Sisil kenapa? Kata Bibi, dia sakit.” Andin masuk kamar abangnya dengan tergesa. Ia merasa khawatir mendengar sahabatnya sakit. Padahal, barusan masih sehat-sehat aja.“Aku panggil dokter aja ya,” kata Haidar. Lalu ia pergi ke luar kamar untuk menelpon dokter tanpa persetujuan yang lainnya.“Lo kenapa, Sil?” tanya Andin setelah ia duduk di pinggiran tempat tidur, di samping Sisil. Andin memegangi tangan Sisil. “Tanganmu dingin banget, Sil.”“Nggak apa-apa, gue cuma pusing aja,” jawab Sisil pelan. Ia merasa lemas dan mengantuk. “Kenapa gue jadi pusing beneran,” ucap Sisil dalam hatinya.“Lo istirahat aja!” Andin menyelimuti sahabatnya. “Gue bilang ibu, lo nginep di sini ya,” kata Andin sembari mengeluarkan ponselnya.“Bunda udah nelpon ibunya,” sahut sang bunda ketika Andin hendak menelpon Bu Lastri.“Owh udah ya,” sahut Andin sembari menggaruk kepalanya. “Aku
Aldin mendekati Dokter Riko, setelah sang dokter selesai memeriksa Sisil. Ia ingin segera tahu apa sakit yang di derita Sisil. Aldin terlihat sangat khawatir dengan Sisil yang mendadak sakit.“Dia hanya kelelahan. Apa tadi dia terlambat makan?” tanya sang dokter kepada Aldin.“Iya, Dok. Tadi dia terlambat makan siang,” sahut Aldin dengan sopan.“Saya resepkan vitamin untuknya,” ucap sang dokter sembari memberikan secarik kertas bertuliskan resep obat dan vitamin untuk Sisil kepada Aldin.“Sisil udah minum obat pereda nyeri, Dok,” kata Bunda Anin pada sang dokter muda yang terlihat sangat tampan.“Kalo gitu, obat pereda nyerinya jangan diminum lagi. Kalau masih terasa sakit, boleh diminum lagi setelah empat jam ya,” ucap sang Dokter dengan ramah. “Sil, cepet sembuh ya. Banyakin istirahat, jaga kesehatan kamu,”
“Aku nggak akrab, ketemu juga baru dua kali,” elak Sisil. “Kamu kenapa nanya-nanya kayak gitu? Kamu mau kenal juga sama Mas Riko?” tanyanya.Sisil tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aldin. Ia pikir kalau Aldin cemburu karena ia lebih dekat dengan sahabat kakak iparnya.“Udah kamu istirahat aja. Aku keluar sebentar.” Aldin tidak berbicara apa-apa lagi. Ia langsug keluar dari kamarnya.“Aneh banget tuh beruang kutub,” gumam Sisil dalam hatinya. “Ya ampun, kenapa aku jadi ngantuk banget, masa jam segini mau tidur,” ucap Sisil sambil menutup mulutnya yang sdang menguap.Sisil bangun dan terduduk, lalu bersandar pada sandaran tempat tidur. “Nggak ada temen yang bisa diajak ngobrol lagi, ngantuk banget ini.” Sisil berkali-kali menguap. “Gue keluar aja kali ya?” gumam Sisil. Lalu ia turun dati tempat tidur. Baru beberapa
“Kenapa kamu balik lagi, Bee?” tanya Haidar pada sang istri.“Kakak lagi mijat kepala Sisil, kayaknya si cempreng tidur,” jawab Andin. Lalu mengempaskan tubuhnya ke kasur.“Jangan tidur! Kamu utang penjelasan sama aku.” Haidar menghampiri sang istri lalu duduk di pingiran tempat tidur.“Aku kira kamu lupa,” sahut Andin sembari tertawa pelan. Lalu bangun dan duduk bersila di samping suaminya.“Ayo jelasin!” titah Haidar.“Apa yang harus aku jelasin? Kamu aja yang tanya, nanti aku jawab,” ujar Andin sembari melirik sang suami.Haidar memiringkan tubuhnya menghadap sang istri. Ia melipat kakinya sebelah di atas kasur. Kaki sebelah lagi dibiarkan menjuntai ke lantai.“Siapa Zidan?” tanya Haidar serius. Sorot matanya tajam seperti elang.
Andin tidak menjawab panggilan telepon di ponselnya karena itu panggilan dari Zidan. Ia hanya menatap layar ponselnya.“Kenapa nggak kamu angkat?” tanya Haidar pada sang istri yang hanya memandangi layar ponselnya.“Ehm … ini dari Zi-”“Baiklah aku keluar, biar kalian lebih puas ngobrolnya,” sela Haidar memotong pembicaraan Andin. Lalu ia keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamar dengan keras.“Astaga!” Andin mengelus dadanya karena terkejut dengan dentuman pintu yang begitu keras. “Brondong alot gue marah,” ucapnya. “Gara-gara lo sih.” Andin memarahi ponselnya yang masih saja berdering.Ia turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk menyusul suaminya.“Kemana dia?” Andin bertanya pada dirinya sendiri ketika menuruni tangga. “Bun, lihat suamiku nggak?
“Nggak usah dibahas,”jawab Haidar pelan, tapi tegas.Ketika Andin ingin mengatakan sesuatu pada sang suami, ada Nenek dan Kakek yang sudah berada di meja makan. Sehingga ia pun mengurungkan niatnya.Haidar menarik kursi untuk Andin, setelah Andin duduk, ia juga ikut duduk di samping istrinya.“Ar, Ayah mana?” tanya Bunda Anin yang baru datang. Lalu ia duduk di samping Andin.“Sebentar lagi katanya, Bun,” jawab Haidar dengan sopan.“Orang ganteng ada di sini,” sahut Ayah Rey dari belakang Bunda Anin.“Udah tua juga, masih aja kepedean,” sahut Bunda Anin sembari mencebikkan bibirnya.“Kenapa sih, Bun?” tanya ayah Rey sembari memegangi bahu sang istri lalu mencium pipi istrinya. “Kangen ya sama Ayah,” kata Ayah Rey setelah mencium Bunda Anin. Kemudian ia dudu
Haidar tidak menjawab ataupun menoleh pada sang istri yang berdiri di sampingnya.“Om!” panggil Andin yang geram dengan sikap cuek sang suami.“Udahlah nggak usah dibahas lagi. Terserah kamu mau ngapain. Pada akhirnya kita juga bakal pisah,” jawab Haidar dengan tegas.Andin terkejut dengan jawaban Haidar. Sudah lama ia tidak mengungkit masalah perjanjian itu, akan tetapi hari ini, kata-kata itu terucap lagi dari bibir laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya dua bulan lalu.Andin mendekati sang suami. Lalu duduk di samping suaminya. “Kok kamu ngomongnya gitu?”“Terus aku harus gimana? Kamu juga tidak mencintai suamimu ini. Kamu lebih bahagia dekat dengan orang lain dari pada denganku,” jawab Haidar tanpa menatap sang istri.“Boo, aku belum mencintaimu bukan tidak mencintaimu,” jelas Andin pada sang
“Halo, Zi, maaf tadi nggak keangkat,” sapa Andin saat sambungan teleponnya dengan Zidan terhubung.Haidar langsung terbangun dan meraih ponsel sang istri, lalu mematikan sambungan teleponnya.“Kenapa dimatiin? Aku mau bilang sama Zidan, kalau akau udah menikah,” kata Andin sambil terisak.“Dia nangis beneran apa bohongan ya?” tanya Haidar dalam hatinya. “Nggak usah telepon!” kata Haidar.“Kalau aku nggak telepon, kamu nggak bakal percaya kalau aku dan Zidan nggak ada apa-apa,” tukas Andin. Air matanya tak terasa menetes kembali.Haidar menarik Andin ke dalam pelukannya. “Kamu jangan nangis! Aku percaya sama kamu,” kata Haidar sembari mengusap-usap rambut sang istri dengan lembut.“Aku harus menjelaskan semuanya. Ini salahku karena aku nggak jujur tentang statusku. Aku takut yang dio