Share

Pengantin yang Ternoda
Pengantin yang Ternoda
Penulis: Aarelith

Bab 1. Malam yang Indah

Meskipun dalam gelap, aku tetap tahu bahwa lelaki yang bersamaku sekarang adalah suami tercinta. Dari embusan napas, sudah ketahuan. Seperti inilah cinta, tidak butuh mata untuk memandang. Pastinya, jantung yang berdegup cepat seolah menguatkan dugaanku.

"Sayang, biarkan aku ganti baju dulu!" pintaku dengan suara manja.

"Tidak usah, aku sudah tidak bisa menahan diri, Sayang!" sahutnya. Suara itu terdengar berat, tidak seperti sebelumnya.

Jujur saja, aku sempat ragu. Namun, berusaha berprasangka baik bahwa seseorang yang sedang dikuasai nafsu memang susah mengendalikan diri, suara pun akan sedikit serak. Baru saja aku mencoba melepaskan diri ketika lelaki itu memberi kecupan hangat di telinga kanan. Bibir sedikit gemetar, tetapi aku tersenyum bahagia. Kecupan singkat di telinga kanan selalu dilakukan oleh Mas Abryal sejak kami resmi pacaran.

"Baiklah, Suamiku Sayang. Lakukan apa yang seharusnya kita lakukan!"

Mas Abryal berdehem, kemudian mulai melucuti pakaianku dengan kasar. Ada apa dengannya? Kami memang pengantin baru, tetapi apa dia benar-benar tidak bisa menahan diri? Sungguh, dia seperti pemuda yang terjebak di padang pasir tanpa setetes air.

"Kamu senang?" bisik Mas Abryal sangat pelan tepat di telinga yang tadi dia kecup ketika kami sudah berada dalam penyatuan. Aku hanya mengangguk, malu menjawab langsung.

Di bawah kungkungan lelaki berbadan tegap itu, bibir tidak lepas dari senyuman. Akhirnya mahkota yang berusaha aku jaga direnggut oleh suami tercinta. Itu berarti, aku telah berhasil menjadi perempuan yang tidak terjerumus jauh dalam pergaulan bebas sekaligus menjadi bukti bahwa pacaran bukan berarti harus hamil di luar nikah.

Sesekali aku meringis kesakitan karena Mas Abryal terlalu sadis menyerang. Besok akan aku tanyakan bagaimana cara sehingga dia bisa sekuat itu. Namun, malam ini hanya harus menikmati ... aku merasakan semburan hangat itu sekarang dan entah sudah berapa lama waktu berlalu.

Ini adalah kejutan yang harus aku ceritakan pada teman-teman nanti. Ya, sebuah kejutan yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bermula dari perintah Mas Abryal sepuluh menit lalu ketika ada tamu yang dia sebut sangat penting, padahal kami sudah tidak sabar menunggu malam pertama yang kata orang sangat memabukkan.

"Kalau capek, kamu ke kamar saja duluan, nanti aku nyusul. Masih ada tamu ini, gak apa-apa, kan? Biar aku jelasin ke mereka." Suara lembut Mas Abryal kembali membuat hati berdesir hebat.

"Terima kasih, Mas. Kalau begitu aku ke kamar duluan. Di lantai dua, pintu berwarna abu, kan? Terus ponsel aku kamu simpan di laci nakas, kan?" jawabku membalas senyuman itu. Mas Abryal mengangguk, lalu memberitahu kalau dia akan menyusul dalam waktu kurang dari tiga puluh menit.

Baiklah, tiga puluh menit bukan waktu yang lama jika menunggu dengan kesabaran. Aku melangkah cepat menuju kamar pengantin kami yang tidak jauh dari pelaminan. Rumah Mas Abryal sangat besar dan sekarang adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di sini. Keluarganya begitu ramah, terkecuali perempuan yang telah melahirkan Mas Abyral. Dia terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya padaku.

"Pernikahan ini terjadi bukan atas keinginanku. Seharusnya gadis itu mengerti, lalu menolak saat kami datang melamar ke rumahnya!"

Mendengar itu aku menghentikan langkah, tepat di depan kamar mertua. Suara siapa itu? Sayang sekali karena aku belum bisa menebak, pun terdengar samar. Tiba-tiba muncul pertanyaan dalam hati, apakah menerima lamaran Mas Abryal adalah sebuah kesalahan besar? Lantas mengapa, bukankah kami harusnya mendapat restu meski hanya tiga bulan pacaran?

Biar saja, aku tidak ingin menambah beban pikiran asalkan Mas Abyral mencintai serta menganggap pernikahan ini adalah sebuah kebahagiaan yang sudah lama kami nantikan. Kedua kaki kembali terayun cepat menuju kamar di lantai dua. Aku mengulum senyum, pasti kamar ini yang dia maksud. Saat daun pintu berwarna abu terbuka lebar, mulut seketika menganga. Cantik sekali, taburan kelopak mawar merah membentuk hati menghias tempat tidur kami

"Jadi, seperti ini suasana di malam pengantin yang sering teman-teman sebut surga dunia?" Aku berbicara pada kaca rias, tidak lupa mengukir senyum selebar mungkin.

"Ingat, jangan lupa pakai lingerie!" Teringat nasihat seorang teman ketika aku sedang dirias. Memalukan, tetapi aku ingin mencobanya.

Mas Abryal bilang, dia sudah menyediakan pakaian kurang bahan itu di dalam lemarinya, jadi aku mencoba memberanikan diri untuk memeriksa lantas memakai, sebagai kejutan untuk suami tercinta. Pipi merona ketika bibir semakin lebar mengukir senyum. Lemari pakaian Mas Abryal ternyata tidak dikunci, aku memindai pakaian gantung satu per satu, tetapi tidak menemukannya.

Lampu tiba-tiba mati, di saat yang sama suara pintu terdengar dibuka oleh seseorang. Aku memanggil nama Mas Abryal, tetapi tidak ada sahutan. Terus melangkah dalam gelap sambil meraba sekitar. Dua detik kemudian, seseorang menarikku dalam pelukannya. Aroma parfum lemon milik Mas Abryal, rasa gamang seketika memudar, jantung berdegup tidak normal.

"Mas Abryal," kataku pelan, mengeratkan pelukan sebelum dia menghujaniku dengan cumbuan memabukkan.

***

Sebuah tangan melingkar erat di perut membuatku harus membuka mata, terutama karena sejak tadi dengkuran Mas Abryal sangat mengganggu. Tangan kekar itu berusaha aku singkirkan, tetapi tidak berhasil . "Mas, tolong disingkirkan tangannya. Aku mau mandi  sepertinya sudah mendekati pagi."

Tidak ada sahutan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Ketika Mas Abryal membalikkan badan dan melepaskan pelukannya, aku segera meraba dinding untuk mencari saklar lampu Terlalu lama berada dalam ruangan yang gelap membuatku sedikit sulit mengambil napas.

"Ketemu!" gumamku langsung menyalakan lampu.

Sadar tidak ada sehelai benang pada tubuh, aku gegas kembali ke samping Mas Abryal dan menutupi diri dengan selimut. Lucu, padahal tidak ada suara nyamuk yang mengganggu, tetapi lelaki tampan itu menutup kepala dengan bantal. Hati kembali berdesir hebat, segera aku memaksa Mas Abryal membalikkan badan agar kami bisa saling menatap sebelum besok diganggu oleh banyak pertanyaan dari teman-teman.

Bantal aku lempar ke sembarang arah. Aku segera duduk sambil berusaha menutupi diri, setelah itu melayangkan tamparan keras pada pipinya. Lelaki itu terbangun, melotot dengan mulut terbuka lebar. Untuk beberapa saat kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, dada naik turun karena emosi mendarah daging, siap dilampiaskan.

"Ke-kenapa kamu ...."

"Diam, jangan diteruskan!" bentakku sedikit keras pada lelaki itu. Air mata tiba-tiba tumpah ketika mengingat kejadian tadi malam. Benarkah aku menghabiskan malam dengannya? Sialan!

"Tapi, Megumi. Kenapa–" Ucapan itu terpotong ketika aku melempar wajahnya dengan bantal. Kalau saja boleh, aku ingin berteriak sekencang mungkin atau memutar waktu agar tidak berada di kamar ini. Benar-benar menyebalkan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status