“Kenapa, Kak?”“Ah, bukan apa-apa!” Claudia segera menggeleng, sedikit canggung saat memikirkan Malven meminta pertanggungjawaban seperti seorang perawan. Eh? Kalau begitu, bukankah harusnya Claudia yang meminta hal seperti itu?‘Tidak, tidak, tidak! Mau bagaimana pun bukankah yang kemarin malam itu kesalahanku? Kalau aku tidak mabuk dan menggodanya, dia pasti tidak akan pernah menyentuhku!’Claudia menghela napas, sepertinya ia benar-benar pernah melakukan kesalahan pada seseorang hingga menjadi seperti ini. Tidak hanya dikhianati oleh tunangan yang bersamanya selama tujuh tahun, ditusuk dari belakang oleh sepupu yang paling Claudia sayang dan percayai, sekarang Claudia bahkan kehilangan keperawanannya begitu saja, pada seorang pria berstatus suami orang.Apa yang akan Elodia katakan seandainya wanita itu ada di sini? Bukankah Claudia sama saja dengan Selena pada akhirnya?Tidak sampai dua jam, Claudia akhirnya mematikan televisi saat Raga tertidur begitu saja. Anak itu tidak fokus m
Kembali ke rumah yang selama dua bulan menjadi tempat tinggalnya, Claudia tidak tahu kalau akan ada perasaan rindu dan nyaman yang mendekapnya, apalagi saat Dera menyambut, bahkan para pekerja yang sudah akrab dengannya pun langsung mengerumuni Claudia di kamarnya. Claudia membagikan oleh-oleh yang dibelinya untuk seluruh pelayan di kediaman Pranaja, termasuk untuk Dera dan Ali, juga pengurus taman dan penjaga keamanan. Saat mereka bertanya dari mana Cludia memiliki uang untuk membeli semua itu, dengan mudah wanita itu menjawab bahwa Malven memberikan black card miliknya dan memerintahkannya untuk membeli apa pun sebagai oleh-olh untuk seluruh pekerja. Tentu saja itu bohong! Claudia membeli semua oleh-oleh menggunakan uang pribadinya. Shoping, jalan-jalan, menghabiskan uang, adalah cara terbaik melupakan kesedihan dan kekhawatiran. "Kenapa belum tidur?" Claudia bertanya saat memasuki kamar Raga, melihat anak itu masih bergulingan di ranjang padahal sudah pukul sembilan malam. Mer
Melihat Raga menanyakan kabar ayahnya, bahkan tentang pekerjaan pria itu membuat tidak hanya Claudia yang terharu, melainkan Dera dan para pelayan yang sedang menghidangkan makanan. Rasanya seperti melihat seseorang tumbuh dewasa dengan cepat, padahal baru beberapa bulan lalu Raga menangis dan tidak mau makan saat Malven meninggalkannya untuk pekerjaan. Ruang makan malam ini ramai dengan celoteh Raga yang menceritakan banyak hal pada sang ayah, tentang aktivitas yang ia lakukan selama seminggu terakhir dan rencananya di malam tahun baru nanti. Claudia mendengarkan dalam diam, menikmati makanannya meski wajahnya mulai terasa berlubang karena Malven terus saja melirik padanya. “Bagaimana denganmu, Claudi? Ada kabar terbaru dari Deon?” Pertanyaan yang tiba-tiba diajukan Malven membuat Claudia tersedak dan hamper saja makanannya dikeluarkan lagi dengan tidak elit. Kenapa Malven bisa mengetahui nama itu? Bagaimana dia bisa tahu? ‘Apa aku menceritakan sesuatu tentang hidupku?’ Claudia
Satu kalimat yang Malven lontarkan sukses membuat Claudia menahan napas. Teman tidur? Itu artinya hubungan yang hanya terbatas pada kepuasan fisik saja, kan? “Seperti yang kamu tahu, aku membutuhkan seseorang untuk melampiaskan gairahku, tapi aku tidak mau memilih orang sembarangan untuk menjadi teman tidurku, bahkan meski itu hanya one nigt stand.” Kata-kata Malven seolah berdengung di telinga Claudia. Tidak pernah sekali pun seumur hidupnya Claudia membayangkan dirinya digunakan sebagai alat pemuas bagi seseorang, bahkan saat ia berada dalam hubungan yang romantis dengan Deon dulu, tidak pernah sekali pun Claudia menyerahkan dirinya. Lalu, apa ini? Kenapa mudah sekali bagi Malven meminta seseorang untuk menjadi ‘teman tidur’? “Saya minta maaf, Pak, sepertinya saya tidak bisa.” Claudia akhirnya menjawab setelah berhasil menahan air matanya agar tidak merembes. “Malam itu saya mendapat kabar kalau kekasih saya akan menikah dengan wanita yang dihamilinya, jadi malam itu saya sedang
Mata itu perlahan terbuka saat mendengar sebuah suara asing, jelas itu bukan alarm-nya yang biasa. Claudia mengerjap ketika kesadarannya terkumpul sempurna, keningnya mengernyit ketika melihat suasana yang tidak dikenal. Jam weker di atas nakas samping ranjang masih berbunyi, jelas itu juga bukan miliknya. Belum sempat Claudia mengulurkan tangan untuk mematikan alarm, sebuah tangan lain sudah lebih dulu melakukannya.Claudia tertegun saat mengingat jika semalam ia menyetujui tawaran yang Malven berikan dan kembali menghabiskan malam bersama. Kapan dia tertidur? Claudia tidak ingat kapan dia kelelahan dan hilang kesadaran."Masih terlalu pagi, tidurlah lagi."Suara serak dan berat itu menyapa telinga Claudia, mengantarkan getaran ke seluruh tubuhnya. Suara Malven yang baru bangun tidur dan terdengar malas itu sungguh tidak baik untuk didengarkan. Kenapa ayah dan anak sama saja, selalu memesona setiap kali bangun di pagi hari?"Sa-saya harus ...." Claudia yang ingin berpamitan karena h
"Kakak lagi flu?" Pertanyaan yang Raga lontarkan membuat Claudia langsung memegang syal-nya. "Agak dingin tadi, jadi Kakak pakai syal, kayanya memang mau flu." Claudia menjawab sembari membantu mengancingkan kemeja Raga. Saat Claudia ke kamar Raga, anak itu sudah bangun dan sedang bergulingan di ranjangnya, bahkan ketika Claudia membawanya ke kamar mandi, Raga tidak benar-benar membuka matanya. Mungkin setelah selesai mandi rasa kantuknya akhirnya hilang dan Raga baru memperhatikan syal yang Claudia gunakan. "Mama juga selalu pake syal kaya gitu." Ucapan Raga membuat pergerakan Claudia yang sedang menyisir rambut Raga sempat terhenti, helaan napasnya terdengar ketika rasa bersalah kembali mencubit hatinya. Tentu saja mungkin syal yang Claudia kenakan sekarang juga milik Elodia. Tapi, jalan yang sudah Claudia pilih tidak bisa dibatalkan. Hubungan fisik yang ia dan Malven lakukan tidak hanya terjadi sekali dan masih bisa dibilang kesalahan, sekarang sudah benar-benar terlambat un
“Halo, Ma, hari ini aku dateng sama Kakak.” Claudia tersenyum simpul mendengar sapaan Raga di depan pusara ibunya. Untungnya Malven memberikan izin untuk Raga mengunjungi Elodia tanpanya, karena Claudia sudah terlanjur berjanji pada Raga kalau akan membawanya ke sini meski harus diam-diam.“Aku kemarin habis dari Jepang lho, Ma! Bareng Papa dan Kak Cla jugaa.”Claudia yang awalnya berada di tepat belakang Raga, perlahan mundur dan menjaga jarak saat mendengar cerita anak itu tentang kepergiannya ke Jepang. Rasa bersalah memenuhi hati Claudia yang telah melakukan sesuatu yang tidak pantas bersama Malven ketika di Jepang, bahkan semalam dan pagi ini.Saat Claudia menjanjikan akan membawa Raga menemui Elodia, ia belum melakukan kesalahan itu, juga belum menerima tawaran yang Malven ajukan. Sekarang ketika berada di depan pusara Elodia setelah tadi pagi merasakan sentuhan dan kehangatan bersama Malven, rasa bersalah yang sangat besar memenuhi benaknya.‘Maaf, Elodia, maafkan aku. Tapi ka
"Padahal waktu itu Kakak juga nyela kata-kataku." Ucapan lirih Raga membuat mengerjap. "Kapan?" tanyanya, tidak ingat pernah memotong perkataan Raga. Kalau Malven sih, jangan ditanya! "Semalem? Waktu aku tanya Deon itu siapa, Kakak langsung bilang 'Bukan!' padahal aku belum selesai ngomong." Claudia hampir tertawa saat meliht Raga memperagakan bagaimana cara Claudia memotong perkataannya semalam. Keningnya yang berkerut dengan alis sedikit naik saat mengatakan 'bukan' sungguh sangat menggemaskan. "Iya, Kakak salah, maaf. Lain kali ingatkan Kakak kalau melakukan sesuatu yang Raga pikir itu salah, ya?" Claudia kembali mencubit pelan pipi bulat Raga. "Oke, Kakak siap-siap aja!" Tawa Clauida berderai saat Raga menjawab dengan serius. Wajah anak itu selalu menyenangkan untuk dilihat seperti apa pun ekspresi yang sedang dibuat. "Maaf terlambat, apa aku membuat kalian menunggu terlalu lama?" Claudia dan Raga menoleh bersamaan saat seorang wanita memasuki ruangan. Claudia la