"Bakat apa!?" Akara, bocah laki-laki berumur 7 tahun berteriak sangat keras dan mulai meneteskan air mata.
"Aku akan menjadi master Aura terkuat! Apa-apaan dengan benda rusak ini!?" lanjutnya.
"Semangatmu memang bagus nak, tapi bakatmu sudah ditentukan oleh takdir. Tidak bisa diubah lagi." Pria penguji perlahan mendekati Akara yang sedang menangis dan mengulurkan tangannya, untuk mengusap kepala anak kecil itu.
Plakk!!
Dengan sekuat tenaga, ia menepis tangan pria paruh baya itu dan sontak membuat semua orang terkejut. Tatapan matanya yang tajam karena kesal, kini terhentak seakan ada yang menusuk tubuhnya, ia melihat ke arah anak-anak lain yang tengah merasa kasihan kepadanya. Anak-anak itu mengernyitkan dahinya, mengasihani dirinya akan bakatnya.
"Persetan dengan bakat! Persetan dengan takdir! Gelar master Aura terkuat akan aku miliki bagaimanapun caranya! Semua itu bukan karena bakat, tapi dengan kerja keras dan kepintaranku!" Akara berteriak dengan lantang, lalu mengangkat pedang kayu di tangan kanannya ke arah anak-anak lainnya. Tangisannya mereda, dan tangan kirinya kini mengusap sisa air mata yang mengalir di pipinya.
"Kalian yang dianggap jenius berbakat, akan aku buat tidak berkutik melawanku! Akan aku buat takdirku sendiri! Walaupun harus melawan Dewa sekalipun, pasti akan aku lakukan dan akan aku lampaui!" teriaknya lagi, lalu berjalan pergi meninggalkan altar batu. Tatapan mata yang tajam terus melihat ke depan, tanpa memperhatikan pandangan anak-anak lainnya.
Semuanya benar-benar sunyi kala itu, tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali selain langkah kakinya. Langkah kaki yang mantap terdengar sangat jelas, namun kemudian terdengar lebih cepat saat ia berlari meninggalkan akademi. Kepergiannya dibarengi oleh turunnya hujan yang begitu lebat dan juga petir yang menyambar-nyambar
...
Sungai Oll
Sungai selebar puluhan meter yang bersanding dengan pegunungan Vodor. Akan tetapi, keduanya saling menjauh karena adanya kota Oll Hilir. Kota ini berada di tengah-tengah Sungai besar Oll dan pegunungan Vodor yang begitu tinggi.
Masih dengan muka yang kesal, Akara memasuki hutan dan berjalan di pinggir sungai Oll. Pepohonan dan tanah sudah begitu basah, terguyur hujan yang kini sudah mulai terang. Tubuh anak kecil itu juga sudah basah, ia terus berjalan tanpa memperhatikan sekitar, seolah-olah tanpa tujuan, namun akhirnya ia tersadar saat melihat seseorang berjalan di atas tebing.
Tebing dengan tinggi belasan meter, tepat di sisi sungai, ada seorang wanita dengan gaun merah muda dan mengenakan topeng berbentuk wajah laki-laki dengan kumis. Walau sekelilingnya telah basah karena terguyur hujan, gaunnya masih kering dan merumbai indah karena tersapu angin. Ia berjalan begitu anggun di atas tebing, seolah meniti sebuah tali, ia merentangkan kedua tangannya untuk menjaga keseimbangan.
"Woi! Bahaya!" Akara sontak panik saat wanita itu terus berjalan walau hampir mencapai ujung tebing. Benar saja, wanita itu terus berjalan hingga terjatuh dari tebing. Posisi jatuhnya tetap berdiri tegap, meluncur menuju sungai di bawahnya.
Akara tambah panik, ia langsung melompat begitu mencapai tempat paling dekat. Setelah anak itu menceburkan diri, wanita tadi terjatuh sangat kuat hingga menyebabkan ombak di sungai. Walau arusnya cukup tenang, tapi Akara tetap kesulitan berenang saat tersapu oleh ombak dari jatuhnya wanita tadi.
Karena terus terdorong ombak, ia menarik napas panjang, kemudian menyelam ke Dalam air. Ia membuka matanya di Dalam air, dan melihat wanita tadi yang terlihat tidak bisa berenang dan panik karena tenggelam. Tanpa basa-basi, ia langsung berenang ke arahnya, lalu mengambil udara lagi sebelum menyelam dan meraih tangannya.
Setelah berhasil meraih tangan wanita itu, ia langsung berenang ke permukaan. Tubuhnya ditarik ke pinggir sungai sebelum ia tersungkur, lalu membalikkan badannya. Keduanya terengah-engah kehabisan napas dengan tubuh basah kuyup. Setelah beberapa detik, ia berusaha duduk dan menatap wanita itu dengan kesal. Gaun merah muda yang ia kenakan, kini melekat pada tubuhnya karena basah, memperlihatkan lekukan indah tubuhnya yang ramping dengan buah dada sedang, namun setengah bulat sempurna.
"Apa yang kau lakukan!?" teriaknya tepat di depan muka wanita bertopeng.
"Jatuh," ujar wanita bertopeng dengan masih terengah-engah. Suara seorang gadis yang begitu lembut terdengar sangat indah walau hanya satu patah kata.
"Kalau itu aku juga sudah tau! Kenapa bisa jatuh!"
"Jatuh, karena berjalan di atas tebing," jawabnya seakan-akan tanpa beban, membuat Akara semakin kesal.
"Akkhhh!!" Akara berteriak sangat kesal, lalu terhentak kaget, meraih punggungnya saat menyadari pedang kayu miliknya telah hilang.
"Pedangku!?" Ia langsung berdiri dan mengamati ke segala penjuru, namun masih saja tidak menemukan pedangnya.
Setelah itu ia terdiam, pandangannya tertuju pada sungai di depannya. Tanpa basa-basi, ia langsung melompat kembali ke sungai. Setelah mengambil napas panjang, ia menyelam lagi ke Dalam sungai.
Wanita bertopeng tadi sekarang duduk, mengamati air bergelombang yang mulai tenang kembali. Tidak lama kemudian anak itu muncul ke permukaan, menghirup udara segar sambil berenang ke pinggiran.
"Dapat?" ujar wanita bertopeng, padahal jelas-jelas anak itu kembali dengan tangan kosong.
"Dapat dilihat bukan!?" jawabnya dengan berteriak sambil menatapnya dengan kesal.
"Ohh… Siapa namamu?"
"Akara," jawabnya dengan suara lebih tenang, namun raut mukanya masih kesal.
"Akara? Kalau aku panggil saja Si Cantik," ujar wanita bertopeng sambil menunjuk kedua pipinya dengan begitu imut.
"Tidak ada yang nanya! Cantik dari mana? Topeng jelek begitu," ujar Akara sambil menunjuk ke arah muka wanita bertopeng.
"Aku cantik!"
"Jelek!"
"Cantik!" Wanita bertopeng yang tadinya cuek, ternyata berperilaku sangat menyebalkan hingga beradu mulut dengan anak kecil.
Karena terlampau kesal, Akara dengan cepat menarik topengnya: "Jele..?" Ia terdiam sesaat begitu melihat wajahnya.
Wajah seorang gadis berusia 17 tahunan dengan wajah tirus, sorot mata yang terang dengan pupil berwarna hitam dengan garis-garis merah muda, lalu senyuman manis di bibir merah mudanya. Rambut hitam panjangnya yang lurus, terlihat begitu kontras dengan kulitnya yang putih bersih seperti mutiara. Dengan cepat gadis itu mengenakan kembali topengnya, sedangkan Akara malah berteriak. "Jelek! Week!" teriaknya sambil menjulurkan lidah. "Hahaha, lihat sepuluh tahun lagi!" ujar gadis tadi dengan suara begitu lembut. Ia berusaha berdiri, lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah Akara, dan tiba-tiba saja muncul dua bilah pedang kayu. "Ambil pedangku," lanjutnya, lalu muncul kilatan listrik berwarna merah muda di sekujur tubuhnya, yang tak lama kemudian membuat dirinya menghilang. "Wahh keren!" seru Akara kagum melihat kepergiannya, lalu meraih kedua bilah pedang kayu yang terjatuh di depannya. "Ini, ini pedangku!" teriaknya, namun kemudian menyadari sesuatu yang aneh dan mengayunkannya. "Bu
"Tolong?" ujar gadis bertopeng dengan riang. "To, tolong!" teriak Akara terbata karena terpaksa. Kini keduanya terdiam, saling menatap tanpa ada pergerakan sedikitpun. Lama-lama Akara mulai kesal, hingga matanya mulai melotot. "Baiklah," jawab sang gadis sambil berdiri tegap kembali, membuat ekspresi wajah Akara berubah 180 derajat. "Benarkah!?" serunya dengan begitu gembira. "Akan aku berikan sebuah teknik latihan ranah, namun dengan syarat," "Apa syaratnya!? Akan aku lakukan!" Akara sontak kegirangan dan tanpa pikir panjang mengiyakan, sebelum gadis itu memberikan syaratnya. "Dalam satu minggu ini, jangan sampai ada luka sedikitpun di tubuhmu. Kalaupun kamu bertengkar, harus menang tanpa ada luka," "Satu minggu!? Itu terlalu lama!" teriak Akara sampai-sampai terlihat ingin menangis. "Kalau tidak mau yaudah." Gadis itu menggoda Akara, dengan mengeluarkan dua buah gulungan kertas, lalu digoyang-goyangkan. "Aku lakukan!" teriak Akara tanpa basa-basi dan langsung berjalan pergi
Akara kesal, mengepalkan tangannya dengan begitu kuat, namun tiba-tiba terbelalak. "Satu, dua…" Akara tiba-tiba menghitung jarinya, lalu Cor Beton mendekatinya. "Kenapa? Kita ada 4 orang, tapi aku saja sudah cukup untuk menghajarmu," "Ehh 7!?" Akara mengabaikan Cor Beton dan panik begitu mengetahui ini hari ketujuh. "Beraninya kau mengabaikan aku!" Cor Beton sontak kesal, namun tiba-tiba saja Akara berlari mengindarinya. "Hahaha pengecut itu lari ketakutan melihat tuan Cor Beton!" seru salah satu bawahan Cor Beton. "Hahaha kejar dia!" Cor Beton merasa sombong dan mengejar Akara bersama bawahannya. Menyadari ada yang mengejarnya, ia terkekeh, kemudian berlari ke arah hutan. Karena sudah terbiasa dan hafal medannya, ia dengan mudah meninggalkan mereka cukup jauh. "Ke mana anak itu?!" ujar Cor beton kepada bawahannya begitu keberadaan Akara tidak dapat ia temukan. "Dia, sangat cepat, sekali, kaburnya." Salah satu bawahannya kelelahan hingga kesulitan mengatur napas. Kretak!!
Diulurkan tangan kanannya untuk menyentuh kubah secara perlahan, lalu muncul energi dingin dari arah lengannya. Energi dingin yang dengan cepat membekukan seluruh kubah penghalang, lalu diketukkan jari telunjuknya pada kubah. Crangg!! Ketukan pelan nan lembut, tapi membuat kubah hancur berantakan seperti pecahan kaca. Energi penghalang yang harusnya bisa menahan bahkan monster sekuat apapun, namun dengan mudahnya dihancurkan. Wanita itu kini melayang turun perlahan, dibarengi jatuhnya kristal es dari tubuhnya dan memadamkan api yang membakar hutan. Beberapa saat kemudian, kubah penghalang mulai terbentuk kembali secara perlahan-lahan hingga akhirnya utuh seperti sedia kala. "Memang bisa menahan monster sekuat apapun, tapi tidak akan menahan sesuatu yang bahkan membuat monster ketakutan," ujar gadis bertopeng seraya melihat ke arah mamanya Akara. "Lisa, ada apa dengan kekuatanmu?" ujarnya dengan santai, seperti tidak melihat keadaan anaknya yang sedang pingsan. "Perjalanan ruang w
"Apa yang terjadi, bagaimana bisa?" Akara langsung melepaskan pegangannya pada kedua pedang kayunya, lalu tertatih berjalan mundur. "Anakku!" Ayah Cor Beton langsung berlari menghampiri anaknya dan langsung mengusap darah di perut yang mengalir di perutnya. "Selamatkan anakku!" teriaknya kepada para anggota keluarga Beton. "Tangkap anak itu!" Yon Beton langsung memerintahkan anggota keluarga Beton untuk menangkap Akara. Padahal anak itu sedang kebingungan dan masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. "Panggil ibunya ke sini!" lanjutnya. … Beberapa saat kemudian, mamanya Akara datang ke kediaman keluarga Beton. Di sana Akara sudah babak-belur, terikat pada tiang kayu dengan tatapan mata kosong. "Akara!" teriaknya yang langsung berlari menghampiri anaknya. Tatapan mata kesal terus terpancar dari para anggota keluarga Beton. Saat itu hanya ada Yon Beton, sedangkan ayah Cor Beton selaku kepala keluarga malah tidak terlihat. Dengan perlahan Yon Beton mendekati wanita yang
Di kediaman keluarga Beton, Lisa mendatangi suatu bangunan, di sana terdengar suara tangisan banyak orang. Saat ia membuka pintu, ada beberapa orang yang sedang mengerumuni jasad Cor Beton. Kebanyakan dari mereka adalah wanita dan begitu melihat kedatangannya, satu-persatu tangisan mereka berhenti. Kedatangan wanita bertopeng misterius, tentu saja membuat mereka terkejut dan langsung berposisi menyerang. Dikeluarkan aura ranah mereka yang hanya aura satu bulan energi, ranah Maskumambang. "Siapa kau!?" "Berani-beraninya menyusup ke kediaman keluarga Beton!" Lisa tidak memperdulikannya dan dengan tenang berjalan menuju ke arah dua pedang kayu yang tergeletak di lantai. Pedang kayu yang ia berikan kepada Akara, kini telah berlumuran darah tuan muda keluarga Beton. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia mengambilnya dan berjalan ke luar ruangan begitu saja. … Wush! Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang berdiri di depan Akara. Ia masih terlihat muda, bahkan seperti belum mencapai
Wilayah Kaisar Naga Sejati Lisa melayang di atas hutan yang begitu lebat nan luas, di depannya ada seorang gadis yang juga melayang. Gadis dengan rambut yang disanggul berwarna emas berkilau, menampakkan lehernya dengan rambut tipis. Kulitnya begitu putih bersih, dengan bibir tipis merah muda dan pupil mata yang sama dengan warna rambutnya. Dada dan panggulnya bulat berisi, dengan pinggul kecil dan kaki jenjang. Bisa dikatakan bahwa tubuhnya sangatlah ideal. "Mendistorsi ruang waktu yang menggagalkan teleportasiku, seharusnya ada satu orang yang bisa melakukannya di dunia fana ini," ujar Lisa sambil melepaskan topengnya perlahan-lahan, menunjukkan wajahnya yang tidak kalah cantik. "Kekuatanmu turun sejauh ini, apa masih berani mendatangi mereka?" Gadis berambut emas perlahan-lahan mendekati Lisa. "Apa ingin memberiku kekuatan, kak Viona?" Lisa tersenyum lebar sambil terus menatapnya. Gadis bernama Viona itu kemudian menjentikkan jarinya, membuat penghalang yang mengelilingi mereka
Kedua bilah pedang melesat dengan cepat ke arah Alice dan mengitari tubuhnya. Walau nampak terkejut dan ketakutan, gadis itu tetap diam dan mengamati pedang yang tebang mengitarinya. Brakk! Tiba-tiba saja pedang terjatuh, jatuhnya kedua pedang kayu membuat Akara terbangun. "Ahh Alice, ada apa?" Akara bangun dan mendekati adiknya yang masih mematung. "Kok pedangku di situ?" Ia lalu mengambil pedang kayu miliknya yang berada di bawah kaki adiknya. "Maaf kak," ujar Alice yang terlihat sedikit takut. "Tidak apa-apa," jawab Akara sambil tersenyum lebar, agar adiknya tidak merasa bersalah lagi. "Itu kak, mama sudah menunggu di ruang makan," "Oh ayo!" Ia langsung meraih tangan adiknya dan bergegas menuju ruang makan. Sesampainya di sana, ia langsung melepaskan tangan adiknya dan berlari ke arah ayahnya. Dengan cepat ia ayunkan pedangnya ke arah tengkuk ayahnya yang sedang duduk. Tass!! dalam sekejap mata, mama Violet sudah ada di sampingnya dan menangkis pedangnya menggunakan jari