Pengusiran sama seperti yang terjadi pada Akara dilontarkan dan akhirnya keluar seorang kakek tua dan seorang gadis. Ia merupakan Kana dan kakeknya Taji Meranti. Akara dan Kana saling pandang, namun nampaknya keduanya tidak saling mengenali. Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar, juga mereka sudah tumbuh dari bocah kecil menjadi seorang remaja. Akara kemudian masuk begitu saja dan mendapati seorang pria penempa yang masih kesal dan menggerutu.
"Permisi, apakah saya bisa bertemu dengan penempa toko ini?""Aku penempanya… Maaf nak, aku masih kesal dengan kakek tua tadi," jawabnya sambil berusaha menenangkan diri."Ahh tidak apa-apa, saya ingin membeli batu bahan." Akara tidak ingin tau alasan pertengkaran tadi dan melanjutkan urusannya."Oh kemari, kau bisa pilih sendiri batu yang ingin di beli!" Laki-laki itu mempersilahkan Akara masuk ke bagian belakang, namun ia menolaknya."Tidak perlu, yang saya cari itu batu Cryostar,"LDi depan mereka sudah terlihat orang-orang berlalu lalang di jalan dan lorong ini tidak ada simpangan lagi. Akan tetapi, gadis itu tetap terus berlari dan melemparkan belati lagi. Kini kecepatan gadis itu semakin pelan dan jarak keduanya semakin pendek, namun juga beberapa meter lagi mencapai jalan utama. Merasa bisa menangkapnya, Akara memadamkan apinya dan mengulurkan tangannya untuk meraih pundak gadis itu. Clekk…Tinggal satu langkah lagi mencapai jalan, gadis tadi menunduk dan menyilangkan satu kaki untuk menjegal Akara. Ia yang terkejut, tidak sempat dan tidak bisa berhenti karena larinya cukup kencang. Ia terjegal, meluncur ke jalan dan menabrak seseorang.Brukk!!Akara tersungkur dan kedua pedangnya berserakan, namun juga ada seorang gadis yang ia tindih."Maaf-maaf!" Akara langsung berdiri dan melirik ke arah lorong, gadis bertopeng sudah tidak ada di sana."Kana, tidak apa-apa?" ujar pak tua kepada cucunya yang masih d
"Silahkan ikuti saya." Kak Elena langsung memandu mereka menuju salah satu ruang VIP."Terima kasih," ujar kakek Taji Meranti begitu masuk ruang VIP. "Anak muda ini begitu ceroboh, membiarkan orang lain mengetahui hartanya," "Akara, lain kali harus bersama pendamping yang kuat setiap kali akan bertransaksi di luar!" Kak Elena langsung menasehati remaja polos itu."Tenang saja, memangnya guruku akan membiarkan muridnya berkeliaran begitu saja membawa uang dan barang-barang berharga?" ujar Akara yang ternyata tidak sepenuhnya polos. Sedikit teknik ancaman yang membuat orang lain berfikir dua kali untuk menyerangnya. "Dari bahan-bahan yang guru cari saja seharusnya sudah bisa diketahui, kalau guru bukanlah orang yang lemah 'kan?""Benar juga!" ujar kakek Taji Meranti. "Kalau boleh tau, siapa nama gurumu?""Nama penempa guru adalah "Neraka Biru". Guru selalu mengasingkan diri, jadi tidak begitu terkenal," jelas Akara."Baiklah, Aula
"Apa yang kalian lakukan!? Cepat bantu aku!" teriaknya, namun tidak kunjung ada jawaban dan ia segera melihat kondisi kedua pengawalnya. Ternyata mereka sudah terkapar, dengan beberapa bagian tubuh gosong karena tersengat petir dan masih ada sesekali kilatan di tubuhnya. Ia benar-benar syok kala itu, pasalnya kedua pengawalnya merupakan tetua keluarga dan ranah mereka tidaklah lemah. Satu di puncak ranah Kinanthi empat bulan energi dan satunya di awal ranah Asmaradana lima bulan energi."Tidak mungkin! Mereka ranah abadi! Kenapa kau bisa!?" teriaknya dengan gemetar hebat karena begitu ketakutan memandangi Alice yang masih dengan tenang melayang di udara."Jaga mulut busukmu, kau bahkan tidak lebih besar dari sebutir debu di bawah kaki kak Akara," ucap Alice dengan ekspresi datar, lalu suara gemlegar terdengar saat sambaran petir mengenai tubuh Wan Waru."Apa-apaan kekuatannya!?""Bahkan lebih mengerikan daripada Peri Salju saat itu!" Para sis
Tidak butuh waktu lama, ada dua peserta yang sudah selesai mengerjakan."Selesai!" seru Akara dan Aul Besiah secara bersamaan, sontak membuat peserta lain yang sedang berpikir keras jadi terkejut. Merasa tersaingi, Aul besiah menatap Akara dengan tajam."Tidak perlu terburu-buru, masih ada sisa waktu untuk menyelesaikannya!" ujar Dong Waru dan setelah itu Mala Jati menyusul mereka."Aku tidak terkejut dengan Aul Besiah, tapi hebat juga kamu… Namamu Akara 'kan? Aku Mala Jati!" ujar Mala Jati, sedangkan Akara hanya tersenyum dan melambaikan tangan kembali. Beberapa saat kemudian waktu ujian telah habis dan tanpa memeriksa jawaban, tetua Dong Waru langsung menentukan siapa saja yang lolos. Ia menjentikkan jarinya, membuat kobaran api kecil di depan beberapa peserta dan berkata."Kalian dengan api di depannya lolos ujian selanjutnya, sedangkan yang tidak muncul api pulanglah dan belajar lagi!" Hampir dari setengah peserta tidak mendapatkan a
Dong Waru yang tengah berbincang santai jadi menoleh ke arah Akara. Ia lalu bertanya saat melihat remaja yang clingak-clinguk itu. "Ada apa nak?" "Ahh tidak apa-apa!" jawab Akara yang langsung memasukkan semua bahan obat ke dalam tungku. "Hahaha lihatlah anak itu sangat gugup!" "Memasukkan semua bahan? Nekat sekali anak ini!" Mereka menertawakannya. Pasalnya, untuk membuat pil Pembentukan Energi tidak perlu Cengkeh api dan Kecombrang petir. "Maaf!" seru Akara, lalu seketika muncul energi dingin di bawah tungkunya."Apa yang terjadi?" Dong Waru pun ikut terkejut melihat energi dingin yang cukup besar, menyebar dengan cepat ke segala penjuru. Energi dingin yang cenderung lebih berat dari udara normal, membuatnya hanya setinggi beberapa centimeter di lantai hingga menutupi aura alkemis mereka. Anehnya, cahaya ungu dari aura alkemis milik Akara bersinar lebih terang dan lebar dari semua orang. Api pada tungkunya juga menyala besar dan sta
"Kata guruku level aura tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana dirimu memurnikan pil dan seberapa bagus hasilnya," jawab Akara, hingga membuat Dong Waru semakin penasaran, untung Aulia segera menepuk pundak Dong Waru dan berkata."Dia menutup aura alkemisnya sebelum pemurniannya berhasil sepenuhnya. Pasti ada alasan dia melakukan itu, sebaiknya tidak perlu mengungkitnya." Dengan berat hati Dong Waru menuruti permintaan Aulia dan tenang kembali. Kini pemurnian telah selesai dan tengah dinilai pil hasil pemurnian mereka."Mala Jati, berhasil memurnikan pil Pembentukan Energi level dua! Lulus sebagai alkemis level satu." Dong Waru memberikan sebuah lencana kepada Mala Jati."Gara-gara kalian berdua! Kalau tidak, pasti bisa lebih tinggi," ujar Mala dengan cemberut setelah mengambil lencana Alkemis miliknya. "Kamu sudah bagus!" Aulia mengusap lembut kepala Mala Jati sambil tersenyum, membuat gadis itu jadi tenang kembali. Ki
Setelah ujian selesai.Di depan ruang ujian, Mala Jati dan Aul Besiah menemui Akara."Yo Akara!" seru Mala Jati sambil mengajak tos Akara, walau dengan ragu, ia membalas tosnya."Dia Aul Besiah!" Mala mendorong tangan Akara untuk bersalaman pada Aul Besiah."Akara!" "Aul!""Wohhh alkemis tingkat tiga!" seru Mala saat melihat lencana di dada kiri Akara. "Kenapa tidak mau masuk akademi?" lanjutnya."Bukan tidak mau, tapi beberapa tahun lagi,""Oh? Padahal kamu bisa berkembang sangat pesat di akademi,"Sebagai orang pada umumnya tentu akan berkembang pesat di akademi, namun tidak dengan Akara. Mau berlatih sekeras apapun, ia tidak akan naik ranah jika tidak mendapatkan Esensi Surgawi.Pintu ruangan terbuka dan keluarlah para peserta ujian yang ternyata baru selesai. Mereka langsung menjabat tangan Akara dan berterima kasih kepadanya. Lencana di dada kiri mereka menandakan mereka berhasil melalui ujian Alke
Pria berbaju hijau masih terbang di udara, mengamati remaja buronannya dan seorang gadis bertopeng serigala. Berada di tanah lapang yang niat awalnya untuk mencegat gadis itu, namun sekarang malah membuat terjebak. Senjata makan tuan, ia tak bisa kabur, lebih tepatnya tak ada yang membantunya untuk kabur. Di tanah yang lapang tanpa satupun pepohonan hanya bisa mengandalkan kecepatan, namun lawannya adalah seorang abadi di ranah Asmaradana. Dengan satu kepakan sayapnya saja bisa melesat puluhan meter dalam satu detik. Adapun gadis itu, namun ia tidak berada di pihaknya dan malah ikut memojokkannya.Akara tetap tenang untuk berpikir rasional, namun keringat yang bercucuran di wajahnya tidak bisa menutupi kepanikannya. Ketiganya masih berdiam diri dan hanya saling menatap, mewaspadai satu sama lain hingga akhirnya pria itu buka mulut."Nona kecil, apa memiliki keluhan dengan bocah itu juga?"Gadis bertopeng dengan rambut kucir kuda itu hanya diam saja, bahkan