Wibi merasa bosan, sudah satu jam Mahesa mengacuhkan. Kekasihnya hanya menegur layar laptop yang berada di hadapannya. Lelaki muda itu melempar sebongkah kertas yang telah dibentuk seperti bola.
“Aw!” Mahesa terkejut lalu mengembalikan kertas tersebut kembali ke arah Wibi yang sedang duduk di kursi teras sambil membaca textbook. Lelaki itu kemudian bangun lalu menghampiri Mahesa.
“Masih lama?” tanyanya.
Mahesa mengangguk sambil mengetik.
Wibi lalu menarik laptop berwarna merah tersebut dari hadapan Mahesa.
“Wibi, ah!” Lalu Mahesa menepuk lengan Wibi. “Aku kan udah bilang kalau hari ini aku mau kerja, aku enggak bisa nemenin kamu.” Wajah Mahesa memperlihatkan mimik menyesal.
Wibi melekatkan kepalanya ke kaca jendela, lalu memperhatikan foto keluarga yang ditaruh di atas meja. Ia kemudian masuk ke dalam rumah, kemudian mengambilnya. Dalam foto itu ada Mahesa, Zaenal, Rima, Aini dan pastinya Yasmin. “Foto ini diambil kapan?” tany
6 Bulan Sebelumnya “Disleksia mempengaruhi kemampuan bahasa, termasuk bahasa lisan dan tulisan seseorang, mereka akan kesulitan mengerti, mengingat, mengorganisasikan dan juga menggunakan simbol-simbol verbal. Hal ini juga mempengaruhi kemampuan dasar membaca dan menulis, mengucapkan kata, tulisan tangan dan matematika.” “Tapi, aku penulis.” Mahesa masih tidak percaya dengan penjelasan dokter berdarah Melayu-Inggris itu, apalagi mendiagnosis Mahesa hanya dari kelakuan Mahesa sehari-harinya. “Disleksia memang membingungkan, bentuknya selalu berbeda-beda, tidak ada profil yang pasti. Ada anak yang punya masalah berbicara, ada yang lancar dalam berbicara, ada yang pintar dalam menulis ada juga yang tidak, ada yang pintar berdansa, tapi ada juga yang membedakan kanan dan kiri saja masih susah, ada sulit mengenal nada tetapi ada juga yang pintar mengenali nada.” Mahesa terdiam, “Lalu apa yang menyebabkanmu mendiagnosis aku sebagai di
Mahesa kesal, berkali-kali menelepon Wibi tidak juga dijawab. Darah di tubuhnya seakan-akan dipanaskan di atas kompor, mendidih, bahkan sudah berada di atas seratus derajat. “Ih! Anak ini kenapa sih?” Mahesa [Kalau kamu nggak mau ngomong ... kita putus aja!] tulisnya dalam sebuah pesan. *** Tak seperti biasa kamar Wibi acak-acakan. Pakaian, buku, poster, semuanya bercampur aduk. Padahal biasanya tersusun rapi. Memang dia anak lelaki, tetapi kecerewetan Aminah soal kebersihan dan tatakrama berhasil membentuk Wibi menjadi berbeda dari lelaki kebanyakan. Hari itu ia hanya di kamar, duduk memetik gitar. Tiba-tiba berhenti, melihat layar telepon yang berkedip-kedip, lalu membuka pesan yang baru saja datang. Dengan sangat kuat ia menarik napas. Untuk sekian kalinya Mahesa memanggil. “Halo ...” sapanya lemas. Hey anak nakal! Anak enggak sopan! terdengar teriakan di seberang, harusnya kamu yang ngehubungin aku duluan!
16 Tahun yang Lalu “Mahesa!” Mahesa tersentak oleh teriakan Zaenal. Memang ia baru saja akan mengambil boneka kesayangannya dari tangan Yasmin yang sedang memeluk Teddy Bear pemberian ibunya. Ia teringat pada hari itu, ia mengantar ibunya pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Mahesa memperhatikan sebuah boneka berukuran besar berwarna cokelat. Ibunya datang, tersenyum, lalu membelikannya satu. Itu milikku. “Ngalah dong jadi kakak!” teguran dari bapaknya itu membuat Mahesa tertunduk. Mungkin saat itu hampir setiap hari, setiap saat, ia sering kali diminta mengalah, alasannya karena ia adalah kakak. Begitulah kakak harus mengalah, dan adik harus menang. Apa pun barang yang diperebutkan, makanan, pakaian, bahkan Zaenal dan Rima, bila Yasmin menginginkan, Mahesa harus menyerahkannya. Suatu hari ketika Mahesa mulai remaja, ia memberanikan diri, mengambil sikap. “Berikan!” teriak Mahesa mengambil buku ha
Setelah berkali-kali mempertimbangkan ucapan Zasky yang banyak benarnya. Wibi melangkah menuju ke dalam rumahnya melihat ibunya yang sedang tertidur di sofa. Matanya terasa panas, ia melihat wajah sendu ibunya. Walaupun sedang terlelap, tetapi terlihat banyak beban yang menghimpit pikirannya. Wibi duduk di bawah sofa sambil memandang wajah ibunya, ia membenarkan selimut yang menyelubungi perempuan paruh baya. Lalu ketika ibunya terbangun ia tersenyum. “Wibi?” Aminah memandang anaknya dengan haru. Saat itu juga Wibi mencium kaki ibunya. “Maafin Wibi, Ma ....” “Anakku sayang ...” isak Aminah sambil memeluk anak lelakinya. Sambil memijit punggung ibunya yang terasa semakin keras Wibi bertanya. “Emang, Mama maunya Wibi dapet pacar yang kaya gimana, sih?” Aminah memandang ke atas, “Ya, cantik, baik, salihah, pinter, nurut sama orang tua, mandiri, bijak.” “Kriteria Mama tinggi amet, Wibi juga enggak sebagus itu, Ma ....” Amin
Tangan Mahesa bergetar ketika mengambil cangkir tehnya. Namun, entah masih kurang jelas mengapa rasa di hatinya tidak menentu. “Menikahlah dengan orang yang sepadan denganmu, yang seusia denganmu ....” Bahkan ketika Aminah mengatakan itu, Mahesa belum bisa menangkap kata-katanya. Semua bagaikan huruf-huruf yang berpadu, takada makna. Gelap, dingin, dan bercampur rasa lainnya. “Aaa.” Mahesa terbata. “Mahesa ... Tante minta tolong, Wibi masih terlalu muda, saat ini adalah pengalamannya menghadapi kehidupan nyata, menjejakkan kakinya setelah beranjak dewasa. Tante berharap masa depannya nantinya akan cerah, secerah nilai akademisnya selama ini.” Ia menatap Mahesa, lalu mengulurkan tangan untuk menggapai tangan Mahesa yang sedang duduk di hadapannya. “Kalau dia sudah berpacaran terlalu dini, apalagi denganmu, yang usianya jauh di atasnya, dia akan melupakan pendidikannya, padahal itu masa depannya.” Mahesa terdiam, memandangi Aminah dengan
Sambil memakan mie instan Mahesa kembali menonton televisi, sekilas berita tentang pembunuhan kejam yang dilakukan seorang perempuan terhadap kekasihnya. Pelakunya berjalan lurus menerobos serbuan wartawan, tanpa terlihat rasa takut, pun rasa bersalah, lalu ia berhenti ketika wartawan menanyainya sebuah pertanyaan. [Apakah anda tidak mencintai kekasih anda?] Rongrongan para wartawan. [Justru karena aku sangat mencintainya, maka aku membunuhnya,] ucapan itu keluar dari bibir mungil seorang perempuan cantik berwajah polos dengan enteng, lalu diakhiri dengan senyuman dingin yang membuat Mahesa bergidik. Cinta memiliki kekuatan ... benarkah? tanyanya pada diri sendiri. Ia lalu mengingat pernah menulis tentang keajaiban cinta. Tapi kekuatan yang seperti apa? Kenapa banyak orang yang saling mencintai tetapi saling menyakiti? Mengapa hasilnya berbeda? Ataukah perasaannya yang salah, sebenarnya yang dirasakan bukanlah rasa cinta? bisakah kita membuat kesimpul
Kaki Zaenal menginjak rumahnya lagi, rumah yang dulunya menjadi tempat baginya dan Sandra menjalani biduk pernikahan. Pernikahan tanpa rasa cinta. “Papa?!” Mahesa terkejut melihat kedatangan ayahnya. Lalu membereskan ruang tamu yang berantakkan. “kenapa enggak ngomong-ngomong mau datang?” ucapnya panik sambil berlari membawa kertas-kertas dalam kardus ke bagian rumah yang lain. “Masa nengok putri sendiri aja harus ngomong-ngomong.” Lalu duduk di sebuah sofa dengan motif batik. “Tunggu, Pa ... Echa buatin minum dulu.” Zaenal terdiam, memperhatikan rumah itu, masih seperti dulu. Mahesa benar-benar tidak mengubah posisi apa pun. Kursi tua yang kini didudukinya, masih seperti dulu meski dengan warna yang kian usang. Foto-foto mereka yang dipajang di meja sudut. Foto pernikahannya, foto bayi Mahesa hingga usianya lima tahun. Cukup membuatnya kembali ke masa itu. Lalu menutup matanya. “Teh dengan gula rendah kalori.” Mahesa datang dari arah dapur sa
Mahesa kecil kecewa, ayahnya menikah lagi, padahal belum lama ini mereka mengubur ibunya, baru minggu kemarin Mahesa bersama Zaenal pergi ke pemakaman mengganti pusara ibunya dengan keramik. Harumnya masih tercium di rumah, suaranya masih terngiang di telinga. Wujudnya selalu ada di hati. Baru saja Mahesa merasakan kebahagiaan bersama ayahnya, berjalan bersama, menunggu Zaenal memasak nasi goreng dan telur hingga gosong, tertawa hingga perut terasa sakit. Pergi ke Dunia Fantasi dan dibelikan banyak mainan. Namun, Zaenal telah menikah lagi, dan Mahesa tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak juga merasa apa-apa. Tidak menangis. “Hei ....” Suara Rima lembut, lalu menyentuh pipi Mahesa yang tirus. “Selamat pagi, Sayang.” Mahesa menelan ludahnya melihat Rima yang berpakaian tidur serba putih, berjalan menjauhinya. “Kita sarapan, yuk.” Ia menoleh ke belakang. “Pagi, Sayang.” Zaenal datang menghadang sambil menciumi kening Rima. “Sssttt, ada