Sepeninggal Devan, Kintan hanya bisa terduduk lemas di lantai ruang kerja. Semuanya terlalu sulit untuk dicerna akal sehat. Tatapannya kosong. Air matanya sampai tidak bisa lagi menetes. Satu-satunya penanda bahwa dia masih sadar adalah kelopak matanya yang masih berkedip perlahan. Detak jam dinding seolah-olah mengantarkan ingatan Kintan akan kebersamaannya dengan Devan palsu. Ya, bagi Kintan semuanya palsu.Sikap Dejan pasti palsu. Perhatian Dejan juga palsu. Pun dengan rasa cinta yang sempat membuat jantung Kintan berdebar kencang. Itu juga palsu.Dalam bayangannya, dua lelaki kembar tersebut tengah mentertawakan kebodohannya. Mau marah, tapi tidak tahu harus marah kepada siapa. Toh, muara semua kesalahpahaman itu sebenarnya dari kekurangannya yang tidak bisa membedakan wajah.Suara ketukan di pintu membuat Kintan akhirnya tersadar bahwa dirinya masih berada di ruang kerja. Ratri memanggilnya dari luar berulang kali. Kintan pun akhirnya menguatkan kedua lutut untuk berdiri dan mem
"Kasih jalan! Kasih jalan!" seru seorang lelaki yang membopong tubuh mungil Kintan. Kerumunan yang semula mengitari mereka lantas menepi untuk membiarkan orang itu lewat.Kintan dibawa ke bawah pohon yang teduh. Kakinya diluruskan dan badannya dikipasi. Seorang wanita berseragam minimarket menepuk pipinya berulang kali untuk memeriksa kesadaran Kintan."Permisi, Mas, Mbak ...." Dinda sampai di tempat itu dengan terengah-engah. Dia langsung berlutut di samping tubuh Kintan yang tergolek tak berdaya."Kintan! Sadar, Tan ... Ya Allah, kenapa jadi kayak gini, sih?" Embun menggelayut di ujung mata Dinda."Mas, ini teman saya. Kalau nggak keberatan, saya mau minta tolong bawa dia ke salon saya yang di ujung itu. Nanti biar saya panggilkan dokter untuk diperiksa," pinta Dinda dengan wajah cemas."Oh, boleh, Mbak. Syukurlah kalau Mbak ini temannya."Dinda dan wanita berseragam minimarket membopong tubuh Kintan bagian atas sedangkan kakinya dibopong lagi oleh lelaki itu. Sinar matahari yang te
Dejan mencengkeram ponselnya kuat-kuat setelah sambungan telepon terputus. Berita dari Dinda bagaikan petir di siang bolong.Entah apa yang harus dia perbuat untuk menebus kesalahan kepada Kintan. Ya, kesalahan. Meski awalnya Devan yang menyakiti hati Kintan dengan diam-diam menduakannya, Dejan juga punya andil karena menutupi kebohongan itu dengan kebohongan lain.Sebagai manusia yang punya hati, Dejan bisa merasakan sakitnya menjadi Kintan. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah calon suami selingkuh, kembaran suaminya malah mengaku-aku demi bisa mendekatinya.Pasca dihubungi Dinda, tak lama kemudian Devan juga menghubunginya. Dia dihadapkan pada dua pilihan: tidak mengangkat telepon itu, tetapi akan dicap sebagai pecundang atau mengangkat telepon dan menerima konsekuensi akan ditertawakan habis-habisan.Semuanya sudah kepalang tanggung. Nasi sudah menjadi bubur. Mengelak bukanlah sifat seorang ksatria. Dia harus berani menghadapi risiko dari semua perbuatannya
Welcome to IndonesiaTulisan di Bandara Soekarno-Hatta itu membuat wajah Malia berseri-seri. Meski telah melalui perjalanan panjang selama belasan jam, Malia masih sanggup berfoto-foto dan menggeret kopernya penuh semangat.Wajah Dejan masih seasam perasan jeruk nipis. Kalau saja tidak berhutang budi kepada Malia, sudah pasti dia akan mengusir gadis itu jauh-jauh.Mereka memesan taksi menuju sebuah hotel bintang empat di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Malia sempat menawarkan agar Dejan menumpang mandi dan berganti pakaian, tetapi langsung ditolak mentah-mentah. Tujuan Dejan hanya satu: segera kembali ke rumah untuk menemui Devan dan menyelesaikan semuanya."Ingat, Malia, jangan cari gara-gara! Aku mengizinkanmu ikut sebagai timbal balik atas bantuanmu," tegasnya sebelum meninggalkan hotel."Telingaku masih di sini, Dejan, tidak perlu kau ulangi berkali-kali!"Malia cemberut. Dia memang belum tau tujuan kepulangan Dejan yang sebenarnya, tetapi gelagatnya jelas terlihat marah sekali
"Emm, omong-omong, ke dokter apa kamu akan berobat? Maksudku, apakah cukup ke dokter umum atau perlu ke spesialis?" tanya Dejan saat turun dari mobil.Malia adalah warga negara asing sehingga Dejan perlu membantunya melakukan registrasi di lobi rumah sakit."Spesialis kandungan," jawab Malia tanpa ragu. Dejan terhenyak beberapa detik. Dokter spesialis kandungan? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Malia?"Kenapa wajahmu tegang begitu? Kamu pikir aku hamil?" terka Malia tanpa tedeng aling-aling."Ya, emm, tidak ... Maksudku, sedikit saja." Dejan mengacungkan jempol dan telunjuk yang hampir menyatu untuk menegaskan kata 'sedikit' itu. Malia terkekeh. Jawaban Dejan yang terbata-bata itu jelas menunjukkan bahwa dia grogi dan takut salah bicara."Bagaimana kalau nanti dokter bertanya siapa ayahnya? Haruskah kujawab bahwa itu kamu?" Malia semakin merasa di atas angin, ingin mengusilinya.Dejan memasang muka datar dengan lirikan setajam belati. "Kalau kau tidak sesakit itu dan masih bisa b
"Anda berdua akan dibebaskan setelah membayar ganti rugi kerusakan dan menandatangani surat pernyataan. Dan sebagai kosekuensi ke depannya, Anda dilarang berobat di rumah sakit ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," ucap kepala keamanan rumah sakit.Tanpa banyak cakap, Dejan dan Devan langsung menyetujui syarat tersebut. Uang bisa dicari. Rumah sakit lain juga masih banyak. Namun, urusan dua bersaudara ini harus segera diselesaikan.Setelah menyelesaikan urusan di kantor keamanan, Dejan meminta sepasang kekasih itu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Waktunya tidak banyak, jadi dia langsung menanyai mereka di depan kantor keamanan."Jadi bener, lo hamil anak kakak gue?" Dejan menatap tajam Talita.Wanita berlipstik merah menyala itu mengangguk seraya mengelus perutnya. Masih kempis, Dejan tebak usia kandungannya baru beberapa minggu."Rencana lo apa sekarang?" Lelaki yang matanya masih merah menahan kantuk itu ganti menatap Devan."Bukan urusan lo!" balas Devan sen
Sudah tiga hari berlalu sejak Malia menemui Kintan. Selama tiga hari itu juga, Kintan enggan menerima telepon atau membalas pesan Dejan. Sempat terbersit keinginan untuk memblokir nomornya sementara waktu, tapi Kintan tidak sampai hati. Kalau dipikir-pikir, muara semua kesalahpahaman itu adalah Devan. Dialah yang pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun. Seandainya mereka putus sejak awal, barangkali rasanya tidak sesakit itu. "Nggak ke toko lagi, Tan?" tanya Bu Ranti. Sudah tiga hari dia mendapati anaknya murung dan kurang nafsu makan. Namun, setiap kali ditanya gadis itu mengunci mulutnya rapat-rapat. "Mungkin nanti siangan, Bu." Kintan mengaduk nasi gorengnya tanpa minat. Kegiatannya terhenti karena ada telepon dari Dinda. Dia jadi punya alasan untuk meninggalkan sarapan dan pergi ke balkon untuk menerima telepon. "Halo, Din." "Tan, lagi di mana?" "Di rumah. Kenapa?" "Temani jalan-jalan ke Ancol, yuk!" "Hah?!" Kintan mengernyit karena ajakan itu terasa sangat tiba-tib
Udara di sekitar kedai makanan itu terasa hampa. Harumnya bumbu ayam goreng dan hiruk pikuk suasana sekitar tidak cukup mampu memecah keheningan di antara Dejan dan Kintan. Keduanya menarik napas dalam, mengisi rongga dada yang terasa sesak dengan sebanyak-banyaknya udara. "Aku hargai keputusan kamu, Tan," kata Dejan akhirnya. "Tapi bolehkah aku meminta satu hal?" sambungnya. Kintan mengangkat alis sebagai isyarat agar Dejan melanjutkan ucapannya. "Kita masih bisa temenan, kan?" Kintan tersenyum kecil. Sebuah senyuman yang sulit Dejan artikan. "Menurut Mas Dejan, kita masih bisa temenan? Setelah semua yang aku alami kemarin, aku harus bersikap biasa saja? Jangan kelewatan kalau bercanda!" Intonasinya menjadi lebih berat di ujung kalimat.Baru kali itu Dejan melihat Kintan melempar tatapan sinis. Meski demikian, ucapan gadis itu memang tidak salah. Apa yang dia harapkan dari sebuah pertemanan yang diawali dengan kebohongan? "Iya sih, Tan. Kamu nggak bikin keributan aja udah syuk