"Kenapa? Abang sudah tidak tahan, Sayang. Ketika berdekatan denganmu rasanya sulit sekali menahan, pleace jangan kamu membenciku sehingga tidak lagi mau melayani Abang," ucap Akram dengan tatapan memohon. "Bukan itu, Bang. Tapi, ... ," Belum selesai bicara bibir Fitri sudah dibungkam dengan ciuman Akram. Fitri mendorong dada suaminya, "Bang, maaf ... aku lagi dapat," dengan tatapan bersalah dan memeluk suaminya. "Nggak apa, Sayang. Kenapa nggak bilang heh?" ucap Akram menahan kesal. Bukan salah istrinya, dia yang salah tidak memberi kesempatan istrinya bicara. "Sayang, tidurlah. Abang ingin tidur memelukmu," Akram mengancingkan kembali piyama itu menarik selimut agar menutupi keduanya lalu memeluk pinggang istrinya. Kepalanya terasa pusing akibat dari gagal pelepasan. Karena merasa bersalah Fitri berbalik menghadap suaminya, mulai melayani dengan cara lain. Ia khawatir suaminya menggunakan cara onani. Mengingat onani sendiri menurut sebagian besar ulama mengatakan haram hukumnya
"Akram, ikutilah kata hatimu. Kembali bekerja, itu dipikir setelah pekerjaan selesai, jangan sampai berpengaruh terhadap hasil kerja kita, bisa-bisa potong gaji akibat lalai," ucap Ihsan serius menasihati sahabatnya."Hem ..., "Jam istirahat dia mendapatkan pesan dari kedua istrinya, dia lebih memilih membuka pesan Fitri mengingat waktunya hari ini buat Fitri. [Bang, motor pesanan Abang sudah sampai barusan. Papa juga mengirim mobil ke rumah, maaf jika Papa tidak ijin sama Abang dulu. Itu bukan mobil Papa, tapi mobilku. Jadi Papa pikir nggak perlu ijin katanya] Ia memilih Honda All New CB 150R untuk menjadi alat transportasi kedepannya yang harganya dibawah 30 juta.Fitri pernah cerita punya mobil tapi tidak bertanya lebih lanjut karena itu bukan wewenang suami mengusik milik istrinya. Apalagi dia tau kalau Fitri anak kesayangan orang tuanya. Mungkin selama ini tidak membawa mobil ke rumah untuk menghargai suaminya. Sementara sekarang? Apa yang mesti dihargai, bahkan Akram selalu me
Akram beranjak dari tempat duduknya lalu memeluk erat tubuh anak gadisnya. "Sayang, jangan bicara seperti itu. Ayah sangat menyayangi kamu," ucap Akram dengan senyum tulus dan raut penyesalan. Syifa mendorong tubuh ayahnya tidak nyaman dengan tatapan Indah."Papa, Lulu juga mau di peluk ini, mau nangis anaknya," kata Indah, membuat suasana semakin tidak nyaman."Ayah, sudahlah. Tidak usah menjelaskan, sikap Ayah akhir-akhir ini sudah cukup menjelaskan siapa Syifa di hati Ayah. Syifa tau saat ini ayah bukan lagi milik Syifa. Ada Lulu tuh, yang mau di peluk kasihan dia nggak punya siapa-siapa. Tidak perlu khawatir, banyak yang menyayangi kami. Di sini juga ada dua Uncle tampan," ucap Syifa gugup, melihat Indah terus menatap. Fitri mengamati perubahan Syifa, ia ikuti arah pandang Syifa. Ya Tuhan benarkah dia seorang wanita? Seorang ibu? Dimana hati nuraninya, mengalah sedikit dengan anak kecil bisa kan? "Hilda, sudah bangun, Sayang. Mau minum?" tanya Syafik."Num ... mi-num," celoteh H
"Mas, jawab! Mas, mau kemana?" Indah sangat khawatir melihat suaminya tampak begitu tegang. "Mas, jangan bilang kalau lagi mengkhawatirkan keluarga mu yang lain. Mas!"Akram memasang helmnya dan berniat mengancingkan tidak bisa-bisa akibat tangannya gemetar. "Mas, ada apa? Mas!" Indah terus bertanya. "Syifa, di rumah sakit. Aku harus kesana," jawab Akram masih dengan raut sangat panik. "Nggak bisa begitu, Mas. Kemarin sewaktu kamu di rumah Fitri, Lulu juga demam. Kamu tidak panik seperti ini? Kamu pilih kasih, Mas!" "Indah, Lulu itu demam bukan aku penyebabnya. Sementara Syifa demam kali ini akulah penyebabnya, aku yang egois tadi sore sewaktu di sana aku mengabaikannya! Aku muak berdebat terus. Terima tidak terima maka, kamu harus menerima! Aku tidak mungkin terus menurutimu untuk mengabaikan anak-anakku. Siapa yang tidak membolehkan aku menyapa mereka? Siapa yang terus memberikan tatapan tajam pada Syifa sehingga dia mau mengalah? Dia anak kecil Indah. Kamu ancam dengan tatapan
Perlakuan Akram saat ini bukan hanya karena permintaan Syifa. Tapi memang bener-bener hati nuraninya begitu mencintai dan menyayangi anaknya. Akram sangat merasa sangat bersalah."Sayang, bukalah matanya. Ayah tidak akan pergi, ayah akan tetap disini untuk gadis kecil ayah," ucap Akram sambil terisak. Merasa menjadi ayah yang tidak punya hati. "Sayang, bukalah sekarang kamu bukan lagi bermimpi. Ini kenyataan, ayah minta cepatlah sembuh. Biar bisa bermain bersama kembali," ucap Akram. "Ayah, jika kondisi Kakak saat ini membuat Ayah selalu berada di sampingku maka aku rela, seperti ini terus. Ini hanya demam, kepalanya hanya sakit. Minum parasetamol sudah sembuh, tapi kalau ini yang sakit, rasanya ...," ucap Syifa sambil memegang dadanya disertai derai air mata. Baru kali ini anak gadisnya mengungkapkan apa yang dia rasakan. "Ayah, andaikan membenci Ayah dibolehkan sama Allah maka aku sudah membencimu, tapi Allah memerintahkan agar seorang anak itu taat," celoteh Syifa yang di paksa
"Astagfirullah, Akram. Sebenarnya aku paling tidak tega dengan tangisan anak kecil. Apalagi dia adalah keponakanku sendiri. Tapi, aku membenci diriku sendiri yang tidak bisa membuatmu babak belur mengingat, Syifa sangat menyayangimu. Tidak mungkin aku menambah kesedihan dia," ucap Farid lirih menahan kesal sekaligus takut terdengar mereka yang sedang terlelap. "Maaf, ... ," "Andai kata maaf bisa mengobati hati mereka, tentu aku dengan senang hati. Aku tidak mungkin diam melihat penderitaan mereka. Akram, ceraikan Fitri!" ucap Farid tegas. Mendengar kata kakak dari istrinya seakan hancur dunia Akram. Dia tertunduk dengan nafas berat dan mata memerah, bukan marah dia memang pantas mendapat ancaman dari Farid. "Kak, aku mohon jangan menyuruh kami berpisah. Aku akan perbaiki semua, aku akan membuat Indah tidak berbuat macam-macam dengan Fitri dan anak-anak. Dia memang keterlaluan, aku melihat sendiri bagaimana Indah mengintimidasi Syifa sore tadi," suara Akram bergetar. "Haha ... kasi
"Ayah mau kemana buka pintu?" ucap Syifa lemah khas seorang anak baru bangun tidur. "Kakak, sudah bangun, Sayang?" jawab Akram gugup dengan pertanyaan balik, dia takut pertengkaran keduanya terdengar anaknya. "Tapi bukan mau meninggalkan kakak lagi kan?" tanya Syifa dengan merengek ketakutan. Seketika tercipta keheningan, Fitri tidak mau mengecewakan anaknya. "Kakak, setelah tiga hari di rumah sakit apa kamu tidak jenuh? Bagaimana kalau kita ke taman bermain sebentar?" ucap Fitri. "Benarkah, Bunda? Sama ayah kan?" tanya Syifa dengan berbinar. Dia mendambakan bermain bersama ayah bundanya. Selama beberapa bulan ini kegiatan yang seharusnya menyenangkan selalu mendapat gangguan. "Tentu, Sayang. Ayah siap menemani Kakak hari ini, kemanapun kamu mau," jawab Akram tanpa memperdulikan lirikan istrinya yang terlihat sangat kesal. "Hore ... alhamdulillah," ucap Syifa sembari bertepuk tangan."Tapi kakak janji ya, kita di sana hanya melihat teman-teman bermain," ujar Akram."Siap, Ayah
"Sayang, pulang yuk!" "Bunda, sebentar lagi ya. Masih pengin main bersama Ayah Bunda. Kakak di foto coba, Bun. Ayah, ayah di belakang Syifa," ucap Syifa senang. "Siap, Tuan Putri. Bentar, jilbabnya bunda benerin dulu," tanganku merapikan jilbab instan anakku."Nah, sudah cantik. Bersiap ya?" Aku mundur beberapa langkah untuk membidik gambar terbaik mereka. Aku tersenyum puas melihat pemandangan di depanku. Bunda janji akan mengembalikan senyum terbaik kalian seperti ini kedepannya. "Bunda, lagi Bun!" teriakan Syifa membuyarkan lamunanku. "Iya, Sayang. Abang sekarang peluk kakak!" Bang Akram mengikuti arahan ku. "Nah benar begitu, bagus!" aku mengacungkan jempol."Kakak mau lihat, Bun. Bagaimana hasilnya?"""Eits ... tunggu dulu. Bunda masih mau foto kakak, sekarang posisi Ayah yang di ayunan, lalu kakak yang mengayun,""Siap, Bunda. Ayah duduk," aku melihat Bang Akram begitu penurut. Jarang-jarang dia mau foto. "Kalian pasangan ayah dan anak yang sangat serasi," Bang Akram dan S