"Siapa yang datang, Alfa lagi?" tanya Wina, istri ke-empatku. Dia melongokkan kepalanya, melihat ke arah ruang tamu di mana Alfa berada. "Iya," jawabku singkat, seraya membuka kulkas dan mengambil botol air minum. Sejak aku memutuskan menikah lagi, Alfa mulai menjaga sikap bila di rumah ini. Dia tak lagi bebas keluar masuk seperti dulu, paling duduk di ruang tamu atau di teras ngobrol bersamaku. Itu pun tak lama, hanya satu dua jam dia langsung pamit pulang. Padahal dulu dia biasa berlama-lama di rumah ini, bahkan menginap barang satu dua malam. Ketika kutanya apa alasannya, dia selalu bilang, "Nggak enak sama Mama Wina."Istriku ini memang kurang suka kepada Alfa dan Via, buah pernikahanku dengan Uma. Padahal Alfa dan Via tak berbuat kesalahan pada Wina, entah mengapa wanita yang kunikahi lima tahun yang lalu itu begitu membenci mereka. "Ngapain sih dia ke sini terus, Mas?" ketus Wina. "Kok ngapain? Ya menjalin silaturahim dengan ayahnya ini. Kamu ini kok aneh," sahutku kesal.
"Gimana nggak ketus, kamu itu pilih kasih. Kalau sama mereka apa-apa kamu belikan, nggak peduli harganya mahal sekalipun. Tapi Buat Ryan apa yang sudah kamu belikan?" ketus Wina. "Hhh!" Aku hanya bisa mendengkus kesal, lalu meninggalkan Wina. Bagaimana mau membelikan barang-barang seperti Alfa dan Via? Ryan, buah cintaku bersama Wina memiliki keterbelakangan mental. "Mas! Orang belum selesai bicara kok ditinggal nyelonong aja!" bentak Wina. Dia menyusul langkahku. "Kamu mau ngomong apa?" ucapku pelan masih berusaha sabar. Kalau stock sabarku nggak dibanyakin, mungkin aku sudah gila. Setiap hari hanya ngajak ribut aja kerjanya. Diantaranya wanita yang pernah aku nikahi, bisa dibilang Wina ini paling parah. Wajahnya biasa saja, nggak ada apa-apanya dibanding Uma atau Riyanti, apalagi kalau disandingkan dengan Sandi. Ibarat langit dan bumi. Soal attitude apalagi, dia banyak minusnya. Suaranya cempreng nggak ada lembut-lembutnya, kalau ngomong suka ngegas. Aku sendiri kadang malu ka
"Ini ada tamu, ngantar soto." Aku menoleh ke arah Wina, melihat ekspresinya apa dia marah, pagi-pagi aku sudah dihampiri bidadari. "Selamat Pagi, Mbak. Saya tetangga baru, semalam baru pindahan," ucap Riyanti, seraya memamerkan senyum manisnya. "Oh, yang menempati rumah almarhum Pak Badi?" balas Wina. "Iya, Mbak. Saya mengantar soto sekalian memperkenalkan diri, nama saya Riyanti," balas Riyanti. "Saya Wina."Dan obrolan mereka berlanjut, Wina bersikap ramah pada Riyanti, karena dia tidak tahu siapa sebenarnya wanita itu. "Mah, sudah ngobrolnya. Itu sotonya taruh di dalam dong," pintaku pada Wina. "Eh maaf, sampai lupa ganti mangkuknya. Habisnya Mbak Riyanti ini ramah banget, sudah cantik, baik lagi," puji Wina, Riyanti hanya tersenyum menanggapi ucapan Wina, sambil sesekali melirikku. "Saya ganti mangkuknya dulu ya, Mbak?" ucap Wina berpamitan pada Riyanti. "Ya, silahkan!" balas Riyanti. "Itu tadi istri Mas Afnan?" tanya Riyanti, usai Wina berlalu. "Iya," jawabku singkat, m
Sejak Riyanti menghantui pikiranku, aku jadi penasaran ingin bertemu dengannya, meski tak bisa ngobrol lama, setidaknya aku bisa memandang wajahnya. Tapi setiap hari aku hanya bisa menatap pagar terkunci dari luar, rumah Riyanti selalu sepi. Paling-paling aku melihat pembantunya yang sedang nyapu halaman. Tak kehilangan akal, aku berusaha bangun pagi, agar bisa melihat Riyanti. Begitu azan berkumandang, aku segera bergegas ke mesjid terdekat, tapi rumah Riyanti sudah sepi. Usaha apa lagi yang harus kulakukan agar bisa bertamu Riyanti? Tiba-tiba terlintas ide dikepalaku, mengapa aku tidak ke warung makannya saja? Pura-pura makan. Selain bisa menatap wajahnya dari dekat, aku bisa merasakan enaknya masakan dia. "Tumben pagi-pagi sudah mau berangkat, Mas?" sapa Wina, ketika melihatku sudah rapi. "Iya, ada beberapa berkas yang harus diperiksa," bohongku. Berkas apaan? Aku hanya ingin sarapan di warung makan milik Riyanti. "Nggak sarapan dulu? Sudah mateng lho, aku ambilin ya?""Ngga
Setelah kedatanganku yang pertama mendapat sambutan baik dari Riyanti, hampir setiap hari aku berkunjung ke warung itu. Tapi aku memilih jam makan siang, yang pengunjungnya tak terlalu ramai. Aku juga sering bantu Riyanti, beres-beres saat warungnya kalau mau tutup. Entah lah, apa yang kulakukan ini dosa atau tidak, aku hanya ingin meringankan sedikit saja beban janda muda itu. Meski berkali-kali dia menolak bantuanku. "Mas Afnan nggak usah repot bantu-bantu di sini. Ada anak-anak, biar mereka aja yang mengerjakan," ucap Riyanti ketika membantunya menurunkan belanjaan dari mobil. "Nggak pa-pa, aku seneng bisa bantu kamu.""Iya, tapi aku nggak enak. Apa kata orang nanti, melihat Mas Afnan bantuin aku di sini!" "Ya emang kenapa? Nggak salah, kan?""Mas, aku ini sudah berusaha sebisa mungkin menyembunyikan masa lalu kita lho, kalau kamu kayak gini nanti tetangga tahu, kalau aku ini mantan istrimu.""Kalau mereka tahu kenapa?""Kan bisa jadi bahan gunjingan, Mas. Aku malu.""Sudah ngg
"Kamu kenapa sih, Mas? Sekarang kok jarang makan di rumah, nggak mau dibawain bekal," tanya Wina ketika aku menolak sarapan, dan tidak mau membawa bekal yang sudah dia siapkan. "Nggak pa-pa, hampir tiap hari ada aja yang bawa makanan, masak iya aku tolak, nggak enak," bohongku. Padahal aku males makan masakan Wina yang itu-itu saja. Lagi pula aku males bawa bekal dari rumah, kayak anak TK aja. Mending aku makan di warungnya Riyanti, rasanya enak plus bisa menatap wajah cantiknya. "Beneran itu alasannya? Bukan karena ada alasan lain?" tanyanya curiga. "Alasan lain apa? Kamu jangan ngarang ya?" "Mungkin aja kamu lebih suka makan di warung Mbak Janda, yang sekarang lagi viral itu.""Mbak Janda?" Aku membeo ucapan Wina. "Iya, warung sotonya Mbak Riyanti. Warga baru kompleks ini.""Kamu itu ngarang, aku memang pernah makan di sana, tapi nggak setiap hari juga. Nggak bosen apa, makan soto terus," sangkalku. Padahal aku hampir setiap hari makan di warung itu. Bagiku tidak ada kata bosa
Sejak kejadian pelabrakan yang dilakukan oleh ibu-ibu tidak kenal, terhadap Riyanti. Hubunganku dengan Riyanti menghangat, maksudku dia sudah tidak menolak lagi bantuanku. Karena aku sudah menjadi pahlawan untuknya. Aku ini manajer, perusahaannya pun milik saudaraku, jadi aku sedikit bebas keluar kantor, tanpa perlu ijin. Yang penting pekerjaanku beres, begitu kata Mbak Yeni. Dan kesempatan ini kugunakan untuk mendatangi warung Riyanti. Bantuin dia, dan jaga-jaga kalau ada kejadian serupa. Dari sikapnya, aku merasa Riyanti ini membutuhkan aku sebagai pelindungnya. Meski itu tidak terucap dari bibirnya, aku bisa merasakan itu. "Mas, akhir-akhir ini perasaanku kok nggak enak ya?" ucap Riyanti suatu hari. "Nggak enak gimana?""Nggak enak aja, aku juga nggak tahu kenapa. Tapi feelingku mengatakan bakal ada kejadian yang nggak enak lagi." ucapnya khawatir. "Nggak usah negatif thinking jadi orang, nanti malah kejadian. Mikir itu yang positif aja, yang baik-baik, biar yang terjadi juga
"Cerai?" Mbak Yeni membeo ucapanku. Setelah kuceritakan tentang niatku untuk bercerai dengan Wina. "Iya Mbak, aku sudah nggak tahan sama sikap Wina. Susah diatur, apalagi penampilannya, bikin ilfeel aja. Rasanya aku ini nggak punya istri, tapi pembantu," ucapku meluapkan unek-unek di hati. "Hhh!" Mbak Yeni membuang nafas kasar. "Kamu dari dulu nggak berubah, selalu buru-buru mengambil keputusan, tanpa dipikir dulu baik buruknya, efek jangka panjangnya. Hanya menuruti emosi saja. Bagaimanapun juga Wina itu istrimu, wanita pilihanmu sendiri, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa kamu buat nikahi dia. Kalau Wina tidak sesuai keinginanmu, bicaralah baik-baik.""Aku sudah capek ngomong sama dia, Mbak. Dia itu keras kepala," selaku."Bingung aku harus ngomong apa sama kamu. Dulu kupikir kamu menikahi Wina, karena sudah siap dengan resiko punya istri dengan latar belakang seperti itu. Kupikir kamu bisa membimbingnya, agar dia bisa mengimbangimu. Eh ternyata makin kesini, makin---