Daren berendam di air dingin di sebuah air terjun. Biasanya ia akan pergi ke sana bersama wanitanya, tapi sekarang ia hanya sendirian. Mungkin nanti ia akan membawa Elisa ke sini."Hei, apa yang kita lakukan di sini? Ayo kembali ke kamar. Aku ingin segera bertemu dengan Elisa dan melakukannya," ucap wolfnya, Greg."Itu tidak akan terjadi, Greg. Kau bisa melihat tadi bahwa Elisa tidak menginginkannya. Aku tidak ingin melukainya dan membuat Elisa semakin membenci kita," jelas Daren.Setelah itu, Daren kembali menyelam untuk mendinginkan pikirannya. Ia membuka mata dan melihat beberapa ikan yang sedang berenang mendekatinya. Tiba-tiba, ia mendapatkan ide.Dengan tangkas, ia menangkap ikan-ikan tersebut dan membawanya ke daratan. Setelah memakai kembali pakaiannya, ia mencari beberapa kayu untuk dibakar bersama dengan ikan hasil tangkapannya tadi.Ia merasa lapar setelah lima belas menit berendam di air tersebut. Kini, pikirannya sudah teralihkan oleh ikan-ikan segar di sampingnya. Tak bu
Suasana lapangan begitu ramai dengan suara pedang yang saling beradu. Tidak hanya itu, suara para pejuang pun terdengar begitu keras. Di sudut lapangan terdapat dua orang pria yang sedang bercengkerama, membahas strategi peperangan untuk mempertahankan wilayah. Daren, sebagai Alpha, sedang mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Gamma, orang yang bertugas membuat strategi perang dan melatih para pejuang agar siap berperang kapanpun dibutuhkan."Daren, bagaimana kemampuan mereka?" tanya Daren. "Aku pikir kemampuan mereka jauh lebih baik sekarang, jadi kau tak perlu khawatir. Mereka siap kapanpun dibutuhkan," jelas Gamma tersebut.Daren merasa bangga pada Gamma. Serigala itu begitu bisa diandalkan, dan ia percaya pada Gamma tersebut.Setelah berbicara panjang lebar, keduanya pun berpisah. Gamma pamit untuk kembali melatih para pejuang di lapangan. Sementara itu, Daren masih memperhatikan latihan tersebut. Dalam pengawasannya, tiba-tiba terdengar suara Elisa tertawa. Tidak hanya itu,
2 / 2Semua orang terkejut ketika Elisa tiba-tiba menyerang Alpha mereka. Para pejuang berhenti berlatih dan antusias menyelimutinya. Jarang sekali Alpha turun ke lapangan pelatihan, apalagi untuk bertarung. Pertarungan antara seorang Luna dan Alpha merupakan peristiwa langka. Meskipun mereka tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang, tetap saja pertarungan ini menarik perhatian. Melihat dua pemimpin saling berhadapan begitu menyenangkan.Namun, ketegangan timbul saat Elisa terlihat kesulitan menghadapi serangan Alpha mereka. Daren merasa tak percaya akan keahlian Elisa dalam bermain pedang. Terlihat bahwa kelemahan gadis itu memaksa dia untuk menguasai hal-hal lain demi mempertahankan diri dari musuh-musuhnya.Para penonton, termasuk Kiana, juga terkesima melihat kemampuan Elisa. Gadis itu ternyata memiliki kelebihan dalam berpedang, meskipun masih perlu banyak perbaikan. Bagi seorang pemula, itu sudah merupakan prestasi yang baik."Sepertinya kau cukup terampil dalam menggunakan
"Kak! Hentikan!" teriak Kiana dari kejauhan. Gadis itu berlari menuju tengah lapangan, di mana Elisa terdiam dengan tatapan sengaja menatap kakaknya yang kejam. Bagaimana mungkin Daren melukai Elisa, pasangannya sendiri? Kiana berpikir bahwa Daren adalah pria yang tidak memiliki hati nurani. Gelar Alpha terkejam memang pantas untuknya."El, apa kau baik-baik saja?" tanya Kiana, mencoba membantu Elisa menutup luka di bahunya agar darah tidak terus mengalir. "Kau sengaja ingin membunuh pasanganmu sendiri!" sarkas Kiana menghadap Daren. Luka yang diberikan mungkin hanya sedikit, tetapi bagi Elisa itu cukup besar. Luka tersebut masih mengeluarkan darah yang merah dan kental. Elisa terus menatap kakaknya, tidak ada rasa hormat yang tersisa. Biarkan orang lain menganggapnya tidak sopan kepada pemimpin mereka."Hanya luka kecil, Kia. Dan karena itu, kau kehilangan rasa hormat padaku?" Daren meremehkan sambil menyentuh pedangnya dengan jari. Dia bahkan hanya melirik Elisa sekilas tanpa rasa b
"Apa yang terjadi di sini, Aston?" tanya seorang werewolf dengan tubuh besar yang baru saja tiba dengan para wariornya. Dia melihat sekeliling tempat itu dengan tatapan tajam. Di depan mereka, banyak Rogue yang memberontak, dan juga banyak warrior yang telah gugur."Sepertinya para Rogue telah melakukan serangan. Mereka beraksi lebih cepat dari yang saya duga," jelas serigala yang hampir sebesar Aston.Mereka berdua berdiri di atas batu besar sambil terus mengawasi para Rogue tersebut. Tatapan mereka begitu tajam, terutama Daren, yang memahami situasi dengan matanya.Aston jelas kalah jumlah dibanding para Rogue. Mereka tampak tak berhenti datang seperti semut. Mungkin semua Rogue di benua ini berkumpul? Tidak heran Aston membutuhkan bantuan.Tiba-tiba, Daren melihat pemimpin Rogue muncul di antara mereka. Tubuh serigala itu hampir sebesar tubuh Aston. "Apakah kau sudah siap, Daren?" tanya Greg dengan suara merem-melek melalui pemindah pikiran.Daren tidak sabar untuk memulai. Dia ber
Elisa kembali kesal karena masih tidak bisa keluar dari istana. Ini adalah hari kedua setelah Daren pergi. Tampaknya sang Alpha ingin dia mati kebosanan di sini."Dasar pria sinting!" geram Elisa di hadapan pengawal. Dia tidak peduli dengan mereka yang akan mencelanya. Dia berharap Daren mati di medan perang. Dia tidak ingin melihat Daren lagi.Pria itu selalu saja membuatnya kesal. Seperti sekarang, pengawasan dari para pengawal membuatnya tidak bisa bergerak dengan bebas. Meskipun kesal, dia masih memiliki cara lain untuk keluar. Kemungkinan besar akan berhasil."Baiklah, aku akan pergi dari sini dan kembali ke kamar," ujarnya pada dua pengawal yang selalu mengikutinya.Dia kembali memasuki istana dan berpura-pura menuju kamar. Saat sampai di depan kamar, dia berhenti sejenak dan menatap kedua pengawal tersebut."Apa kalian akan mengikutiku sampai ke dalam?" tanya Elisa dengan tatapan aneh."Maaf, Luna, kami tidak berani. Tapi kami akan menunggu di sini. Itu adalah perintah, jadi mo
Greg sibuk bermain dengan para rogue yang semakin banyak menyerangnya, tetapi bukannya takut, ia malah menyeringai dengan senang hati. Meskipun begitu, ia bingung dari mana datangnya mereka semua. Sepertinya mereka tidak pernah habis. Mati satu, muncul lagi yang lain. Tubuhnya sudah dipenuhi dengan bekas cakaran dari para rogue, tetapi itu tidak mengurangi semangatnya untuk membunuh mereka. Meskipun sudah dua hari bertempur, ia tetap tidak kelelahan. Kemampuannya tidak diragukan lagi. Daren bahkan bisa bertempur selama seminggu hanya untuk mempertahankan wilayahnya.Tiba-tiba, suara sang beta mengganggu Greg. Seketika itu, dia tidak bisa berkonsentrasi. Beberapa rogue bahkan sempat melukainya. Greg mundur sedikit dan menggeram marah pada mereka. Main-mainnya telah hilang. Kali ini, dia akan menyelesaikan semuanya dalam sekejap. Dia bahkan mengaum keras sehingga terdengar oleh seluruh kaum werewolf yang ada di sana. Tanpa menunggu lagi, dia menerjang rogue-rogue di sana.Dia mencakar d
Daren sangat marah. Elisa belum ditemukan selama lebih dari satu jam. Ia telah menebas beberapa kepala prajurit yang gagal menjalankan tugasnya, termasuk dua pengawal yang telah diperintahkannya satu atau dua hari yang lalu. Tanpa ragu, ia mengayunkan pedang yang masih berlumuran darah prajurit tak bersalah. Para pejuang yang berkumpul di sana merasa cemas melihat teman-teman seperjuangan mereka mati sia-sia. Mereka merasa seperti menunggu kematian yang menjemput mereka, semakin dekat dan dekat."Mengapa kalian membiarkannya pergi begitu saja? Aku sudah mengatakan agar tidak meninggalkan luna kalian sendiri, bukan!" teriak Daren sambil mengayunkan pedang ke arah pejuang lain yang menunggu giliran. Suara pedang menyambar, dua kepala terlepas dan darah mengalir dari sayatan di leher mereka seperti air yang deras.Daren menghentikan gerakan pedangnya setengah ayunan. Ia merasakan aroma yang dikenalnya dengan baik. Aroma vanilla dan kayu manis yang memikatnya. Daren menoleh ke arah sumber