Share

02

Shanum terkulai lemas kala mengetahui ibunya telah tiada. Operasi tidak jadi dilaksanakan karena sang ibu sudah pergi sebelum operasi berlangsung.

Tangisan Shanum pecah mengingat hal kotor yang baru saja dia lakukan. Apa guna uang itu jika orang yang dia perjuangkan sudah tiada.

"Sabar sayang, semua sudah takdir dari Tuhan." Khansa berusaha menenangkan Shanum yang sedari tadi menangis histeris.

Rasa sakit di bagian intinya tidak dia rasakan, dia tidak peduli banyak mata yang melihat ke arahnya.

"Ibuku, Khansa. Kenapa ibu pergi? Aku sudah mendapatkan uang untuk operasi ibu. Aku sudah punya uang banyak untuk pengobatan ibu. Kenapa ibu pergi, Khansa? Apa ibu tahu jika uang ini uang haram? Sehingga ibu tidak mau mengunakannya." Shanum meraung sejadi-jadinya.

"Sudahlah! Semua sudah terjadi. Jangan sesali! Kamu sudah menunjukkan baktimu, sudah kau tunjukkan perjuanganmu, dan sekarang jika Tuhan memilih untuk memanggil ibumu, itu sudah jalannya." Khansa terus menenangkan Shanum.

Hingga malam, Shanum masih bersedih. Dia berdiam diri di kamar, berdiri di samping jendela yang terbuka. Kepalanya mendongak, mata indahnya menatap bulan yang tertutup awan mendung.

"Inikah jalan hidup yang harus aku jalani, Tuhan? Hidup dalam kotornya tubuhku. Aku ingin mati saja, hiks." Shanum kembali menangis, kini terdengar lebih pilu dan menyayat.

"Mati? Kamu pikir dengan mati semua akan selesai? Tidak Shanum! Hidup lah lebih lama untuk membersihkan tubuh dan menghapus dosa-dosamu. Minta ampunan pada Tuhan!" Khansa sungguh sahabat yang baik, dia menasehati Shanum agar tidak putus asa.

"Aku takut,Sa. Aku takut jika aku hamil. Apa kata orang-orang nanti jika mereka tahu aku hamil di luar nikah? Aku malu Sa!" pungkas Shanum.

"Ikut denganku! Di sana tidak ada yang mengenalimu. Lagi pula di ibukota, tidak ada yang peduli apa masalahmu." Ajak Khansa.

"Ngapain kamu ke kota?" tanya Shanum.

"Aku dipindahkan ke ibukota. Pekerjaanku bagus kata bos. Kebetulan bos besar sedang berada di kota ini dan dari sepuluh kandidat, aku salah satu pegawai yang terpilih." Jawab Khansa.

"Aku tidak mau merepotkanmu! Biarlah aku berjuang sendiri. Aku rasa pria itu tidak akan marah jika aku memakai uangnya," tutur Shanum.

Shanum menutup jendela dan tirainya, lalu naik ke atas kasur. Untuk malam ini dia tinggal bersama Khansa.

Membeli kembali rumah peninggalan orang tuanya sudah tidak mungkin, karena pemiliknya yang baru sudah merobohkan rumah tersebut.

Keesokan harinya di bandara,

"Hubungi aku jika kamu butuh sesuatu! Aku dengan senang hati membantumu," ujar Khansa, dia sudah berada di bandara. Hari ini dia akan terbang ke kota, ke tempat kerjanya yang baru.

"Baiklah! Hati-hati di sana," pesan Shanum.

"Jangan lupa memberitahuku di mana tempat tinggalmu nanti!" seru Khansa dari kejauhan sambil melambaikan tangannya.

Kini tinggalah Shanum, sendiri dengan rasa sepinya. Meskipun sekarang dia berada di tempat yang ramai.

"Sebaiknya aku juga pergi. Aku tidak mungkin tinggal di sini."

Shanum pun memesan tiket, pergi ke kota yang sama dengan Khansa. Namun, nantinya dia akan memilih di tempat yang berbeda.

Di sisi lain,

"Semua pegawai pilihan sudah berangkat! Kapan kita akan kembali?" tanya Arfan.

"Aku masih lelah! Besok saja kita pulang" jawab Kemal dengan lesu.

Arfan mengerutkan keningnya, "Kamu kenapa? Kok lesu gitu? Tidak seperti biasanya." Selidik Arfan.

"Pertarunganku dengan gadis itu cukup menguras tenaga. Sekian banyak gadis yang aku tiduri, baru ini aku merasakan yang perawan. Benar-benar membuatku gila," ungkap Kemal.

Hahaha ... Arfan tertawa terbahak-bahak mendengar ungkapan temannya. "Tidak rugi kan membelinya dengan harga satu miliar!" goda Arfan.

"Aku memberinya dua miliar serta melunasi seluruh tagihan rumah sakit," kata Kemal.

"What? Sudah gila kamu! Itu sangat berlebihan, Kemal!" sungut Arfan.

"Itu lebih dari pantas, karena aku menggarapnya sampai pagi." Tutur Kemal.

"Ini lebih gila! Kamu tidak lupa pakai pengaman 'kan?" tanya Arfan dan Kemal pun menggeleng.

"Aku tidak memakainya. Untuk apa pengaman? Dia tidak mungkin hamil! Baru juga jebol gawangnya, gak mungkinlah dia langsung hamil."Cicit Kemal penuh percaya diri.

"Gini ni kalo pinternya cuma urusan bisnis, dan kerjaannya depan laptop doang. Jadi tu otak nyusut, lama-lama kurang seons loe!" Dengus Arfan dengan kesal.

"Kamu main nggak pake pengaman, trus kamu hajar dia berulang kali. Ada kemungkinan salah satu benih yang kamu tembakkan itu berhasil hidup Kemal. Oh Tuhan, kenapa aku bisa punya teman yang pinternya kelewatan. Saking lewatnya pinternya jadi ilang berubah jadi pelon." Arfan menepuk keningnya, tidak habis pikir dengan jalan pikiran Kemal.

"Kalau begitu, cari gadis itu sekarang!" perintah Kemal.

"Bagian enaknya aja, elo yang dapat. Bagian susahnya aja gua." Sungut Arfan lalu ke luar dari ruang kerja Kemal.

Arfan mengerahkan anak buahnya untuk mencari informasi tentang Shanum. Mereka memulai pencarian dari rumah sakit.

Beberapa menit berlalu, ponsel milik Kemal berdering. Arfan yang menelponnya.

"Hallo!"

"Ibu gadis itu meninggal di malam kalian bertempur, setelah kutelusuri dia tidak punya tempat tinggal. Rumahnya sudah dijual beberapa hari yang lalu, dan sekarang kami tidak tahu keberadaannya." Lapor Arfan dari seberang telpon.

"Aku tidak mau tahu! Cari sampai dapat!" perintah Kemal, lalu memutuskan panggilan di ponselnya.

"Sial! Mencari satu gadis saja tidak becus!" umpat Kemal.

Kemal beranjak dari duduknya lalu ke luar dari ruang kerja.

Dia pergi untuk mencari informasi tentang Shanum.

"Percuma punya anak buah banyak kayak tawon, tapi mencari satu gadis saja tidak bisa!" Kemal terus mengumpat di sepanjang jalan.

Kemal mengemudikan mobilnya menuju ke rumah sakit, hal yang pertama dia lakukan adalah menemui dokter yang selama ini menangani ibunya Shanum.

Setelah mendengar penuturan dari dokter dan mendapat alamat tempat tinggal Khansa, Kemal pun langsung pergi.

Dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju ke kediaman Khansa.

Sesampainya di rumah Khansa, Kemal memarkirkan mobilnya di sembarang tempat. Dia turun dari mobilnya lalu berjalan menuju rumah yang terlihat sepi.

"Permisi!"

Kemal mengetuk pintu rumah itu berulang kali.

"Maaf pak, anda mencari siapa?" tanya Pria paruh baya yang ke luar dari rumah Khansa.

"Saya mencari gadis yang ada di sini," jawab Kemal.

"Siapa yang tuan maksud? Apa itu Khansa putri saya?" tanya pria itu.

"Bukan, tapi temannya." Jawab Kemal.

"Shanum? Dia sudah pergi sejak pagi bersama Khansa," tutur Ayah Khansa.

"Ke mana?" tanya Kemal.

"Kalo Khansa pergi bekerja, dia pindah tugas ke Sinar corp. Kalo Shanum, saya tidak tahu." papar Ayah Khansa.

"Sinar? Bukankah itu perusahaan milikku? Gumam Kemal.

Setelah memperoleh sedikit informasi, Kemal pun pamit untuk pulang.

Niat awal hendak berlama-lama di kota ini pun batal, tanpa pemberitahuan awal, Kemal mendadak mengajak Arfan untuk kembali ke kotanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status