***
“Aw!” Liza mengaduh karena tak sengaja menabrak Gilang pagi ini.
“Mabok, po? Untung gelasku nggak jatuh.” Ucap Gilang sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.
Liza mengusap dahinya, kemudian menggosok-gosok matanya.
“Kenapa? Bulu mata jatuh? Jangan digosok-gosok gitu dong, elah.”
Gilang memegang tangan Liza, menjauhkannya dari mata gadis itu, lalu meniupnya perlahan.
“Apaan sih main sembur-sembur aja!”
“Daripada matanya digosok-gosok gitu.”
“Aku bukannya kelilipan gegara bulu mata.”
Liza menyadari kalau dia sudah tidak begitu menjaga jarak dengan kakaknya. Tinggal serumah selama beberapa bulan ditambah fakta bahwa mereka berdua adalah saudara di dunia ini, membuat Liza terpaksa harus beradaptasi.
“Terus? Masih pusing?”
Liza mengangguk perlahan, kemudian berbalik dan menuju dispenser untuk mengambil segelas air.
&
***Kembali ke realita, meskipun kilas balik yang kemarin terhitung kasar sebagai fiksi dan yang ini juga fiksi.Keseluruhan karya ini benar-benar hanya fiksi, tentunya.Liza baru saja mendengar cerita Gilang mengenai kencan pertamanya dengan Chaca. Gadis itu kemudian mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah."Za. Mau nebeng aja?""Kenapa, kak? Tumben?""Aku lagi ada keperluan di kampus sih.""Ooh.""Jadi gimana? Mau nggak?"Liza menimbang-nimbang soal tawaran Gilang. Tak ada salahnya ia menerima kebaikan kakaknya kali ini, toh ia juga bisa menyimpan ongkos berangkat pagi ini"Yaudah sana buruan. Mandi aja belum dasar kambing!""Yeuu bawel."***Ketika jam istirahat kedua selesai, Liza makan bertiga dengan Nabila dan Anggi di kantin."Kak Gilang baru ngedate yaa..."Gumam Liza sambil memainkan bekalnya dengan sendok, tanpa sadar kalau teman semejanya bisa mendengar gumamannya
“MAA! UDAH DONG MAA! AKU NGGAK BISA LIAT MAMA KAYAK GINI TERUS!”Wanita itu berteriak kacau.Suaranya terdengar serak dan tak mengenakkan. Boleh jadi karena tadi di tempat kerjanya, dia habis adu mulut dengan koleganya yang bebal dan tak mau diatur. Tapi apa boleh buat, kerabat dekat pimpinan punya kelas yang jelas berbeda darinya.Biasanya wanita itu tidak sering memperlihatkan emosi, tetapi mungkin hari ini adalah puncak kesialannya.Keputusasaan dan kekecewaan tergambar jelas dari teriakan menyedihkan itu.Wanita itu bernama Rani Anggraini, kepala keluarga, dua puluh delapan tahun. Dia tinggal bersama Mamanya di sebuah rumah setelah suami kedua, Papanya kabur meinggalkan mereka dengan kesan yang begitu menjijikkan. Rani sendiri tak habis pikir bagaimana pria busuk nan kasar itu bisa menarik perhatian Mamanya delapan belas tahun lalu.Rani benar-benar sedang sial hari ini.Wanita berlari ke kamar, membanting pintu, lalu
“Lizaa! Kamu ini masih mau tidur? Ayo bangun! Ini kan sekarang hari pertama kamu masuk sekolah. Bikin malu aja kalau telat! Udah sana!” Panggil seorang wanita paruh baya sambil menggoyang-goyangkan tubuh gadis yang tertidur di kasur. “Haah? Apa?” Balas gadis itu pun dengan malas. Dia merasa kepalanya sedikit berat dan sedikit pusing. “Kenapa Mama manggilnya aku pakai sebutan Liza?” Sanggahnya sambil menguap. Gadis itu kebingungan dengan ucapannya sendiri. Menguap, pusing, kepala yang terasa berat. Ia cukup yakin kalau ia seharusnya sudah mati dan akhirnya bisa melihat malaikat bersayap cantik yang terbang dihadapannya. Gadis yang dipanggil Liza itu perlahan membuka matanya dan memperhatikan sekeliling. Ia cukup yakin bahwa mau dilihat bagaimana pun ini jelas bukan kamarnya. Ia pun bertanya-tanya sebenarnya dia berada di mana. “Lizaaa! Ayo keluar! Sarapan!” Sahut wanita itu tadi sekali lagi. “Hah tunggu? Apa apa? Aku harus apa?” Ucap ga
“Duh gawat! Gara-gara terlalu mikirin soal ke depannya harus apa, aku sampai lupa nanya Mama sekolah di mana.” Keluh Liza dalam hatinya lagi.“Eng, eh. Anu!”“Kiri, bang!” sahut seorang laki-laki dengan seragam putih abu yang sebelumnya duduk di depannya.“T-turun di sini juga, bang!” Ucapnya tergagap mengikutinya.Liza merasa malu dengan kelakuannya. Dia juga kebingungan dengan siapa laki-laki yang berada di berjalan di depannya. Laki-laki itu memakai seragam yang sama dengannya, tetapi dia tetap tidak yakin apakah mereka berdua sekolah di tempat yang sama.“Za! Dari tadi kenapa linglung nggak jelas sih? Abis kecopetan?” Tanya laki-laki itu memulai pembicaraan.“HAH APA IYA ENGGAK!” Balas Liza tergagap.“Hah apa?” Laki-laki itu kebingungan dengan jawaban Liza.Jangan coba bertanya soal Liza, dia sendiri jelas kebingungan dengan jawabannya sendi
Liza kehilangan akal sesaat karena Mamanya, bisa-bisanya jatuh cinta segampang itu.“Ah tapi, ya, tentu saja. Ini kan ‘Mama’?” Pikirnya kemudianPadahal sampai akhir hayat Liza pun harusnya dia sadar, karena masih melihat bagaimana Mamanya begitu mencintai Papa. Hati kecil Liza-Rani berharap agar Papanya ada di sini dan hadir untuk memeluknya. Liza berharap punya seseorang untuk berbagi cerita tentang permasalahan yang dia hadapi selama ini.Dulu sebelum Ayah meninggal, ia memanggil orang tuanya dengan sebutan Ayah dan Ibu. Tetapi setelah Ibu menikah lagi, suami barunya meminta Liza untuk memanggil mereka dengan sebutan Papa dan Mama. Gadis itu agak sedikit meragukan ingatannya sendiri, mengenai bagaimana dulu dia mau mau saja menuruti permintaan Papanya. Tetapi satu hal pasti, Papanya adalah pria yang brengsek.Bel pulang sekolah berbunyi, Liza pun memilih untuk pulang naik angkot seperti tadi pagi. Tetapi masalahnya saat pergi se
***Terlepas dari kejadian kemarin yang merupakan pengecualian khusus tidak rasional, Liza harusnya berangkat sekolah cukup awal hari ini. Karena sebenarnya dia itu bukanlah pribadi yang pemalas dan sering terlambat, Liza sendiri berpikir kalau dia harusnya bisa bangun lebih pagi dan membantu ibu-nenek memasak. Dia sudah bertahun-tahun menjadi wanita karir yang sekaligus merangkap jadi tulang punggung keluarga berusia dua puluh delapan tahun, kemudian mati dan berpindah tubuh menjadi Mama nya sendiri.Tetapi pagi ini Liza disibukkan untuk memilah-milah lajur mana yang harus aku ambil untuk menaklukan kehidupan Mama ini. Sebab siapa sangka kalau ternyata selama ini dia memiliki seorang kakak laki-laki-paman. Liza-Rani yang dulu hampir belum pernah datang ke rumah keluarga Mama atau Papa, tetapi cukup sering bermain ke rumah Ayah. Mungkin dulu beberapa kali pernah saat bayi, ketika Liza masih gadis kecil nan lugu, yang belum bisa mengingat banyak hal.Sebelum Mama
***“Kalian semua yang berada di sini memangnya sebegitu luang sampai tidak punya hal lain yang harus dikerjakan? Uwaah aku iri sekali, orang sibuk sepertiku benar-benar ingin sesekali merasakan kebebasan seperti kalian.”“Ck! Menyebalkan.”“Ini cewek mulutnya pedes juga, ya?”“Lo nggak usah kepedean, deh! Jijik tau!”Salah satu dari perempuan itu menarik rambut Liza, kemudian yang lainnya terlihat mengeluarkan sebuah gunting. Sepertinya mereka ingin menjahili Liza dengan menggunting beberapa helai-genggam rambutnya. Tetapi sebelum niat jahat mereka terlaksanakan, seseorang tiba-tiba muncul dan melompat sambil dikejar oleh dua orang perempuan— anggota mereka yang berjaga di depan pintu masuk gang sempit itu.“Za! Kenapa tiba-tiba duluan? Bukannya tadi kita udah janji mau makan dulu habis pulang sekolah tadi?” Tanyanya tiba-tiba.“Oh, iya! Kalian-kalian yang
***Langit yang mendung membuat cahaya matahari masuk menyelinap kecil-kecil dari balik awan. Pagi ini adalah salah satu pagi baru yang sedikit banyak menenangkan hati Liza, dia merasa sudah menyelesaikan permasalahan awalnya sebelum nanti dirinya-Mamanya mengalami hal yang tidak mengenakkan sebagai akibat dari pernikahannya dengan Randi-Papa. Liza memulai paginya dengan cukup awal hari ini, menyelesaikan cucian, membantu menyiapkan sarapan, juga berberes untuk dirinya sendiri.“Za, cuciannya taruh di ember aja!” Sahut Ibu-Neneknya mengingatkan. Tidak ada yang tahu kapan hujan akan turun, menjemurnya sekarang mungkin hanya akan menambah pekerjaan saja.“Iya, Bu!” Liza menuruti perkataan Ibunya, kemudian setelah sarapan dia segera mandi dan berpakaian.Sudah sekitar dua minggu sejak dia meminta putus dengan Randi. Bahkan untuk laki-laki bebal sepertinya, dihina dengan tiga paragraf berantai pasti sudah membuatnya kapok untuk mendeka