Satya menarik tangannya seraya menatap heran Lintang. “Ini ronde paling enak, lho. Masa kamu nggak mau ngabisin?”Gelengan Lintang menjawab pertanyaan Satya. Bukan ia tidak suka, melainkan perutnya tidak bisa diajak kompromi. Daripada apa yang sudah masuk harus keluar lagi, lebih baik ia berhenti makan. “Aku sudah kenyang. Mas Satya saja yang ngabisin.” “Lah, belum juga separuh?” Satya menggaruk kepala. “Siapa tahu bayinya masih pengen. Ntar dia ngiler gimana?”Lintang tersenyum geli. “Buat Papa saja katanya.”“Nggak percaya. Pasti dia masih pengen.” Satya meletakkan mangkuk di meja lalu mendekatkan kepala ke perut Lintang. “Kamu masih pengen, kan, dek?”“Pokoknya Mas Satya saja yang ngabisin.” Lintang mulai merajuk.Satya mengangkat kepalanya lalu menggeleng. Setiap kali Lintang meminta makanan tertentu, istrinya hanya makan beberapa suap dan setelahnya ia yang harus menghabiskan. “Kalau kayak gini terus, bisa-bisa yang hamil kamu, yang melar badannya aku.” Ambyar sudah dietnya se
Hening sejenak. Pandangan kedua lelaki itu saling bertemu. “Aku tidak tahu,” ujar Satya menyandarkan tubuh di kursi. Matanya menatap langit-langit ruang makan seolah penawar gundah yang meraja ada di sana. Evan mengganjur napas. Suasana pagi yang hangat mendadak sendu. Ia menyesal telah memulai pembicaraan tentang persidangan hari ini. Seharusnya ia memilih topik pembicaraan lain agar tidak memperburuk suasana hati Satya. “Sudah setengah delapan. Ayo berangkat.” Satya bangkit dan beranjak masuk ke kamar. “Beneran aku nggak boleh ikut?” Lintang menatap Satya lamat-lamat ketika suaminya berada di dalam kamar untuk mengambil tas kerja. “Aku akan baik-baik saja. Aku sudah pernah mengikuti persidangan seperti ini.” Lintang berusaha meluluhkan hati Satya. Selarik senyum terbit di wajah Satya. “Aku belum mengubah keputusan.” Ia memangkas jarak dan duduk di tepi ranjang. “Doamu sudah cukup menyertaiku.”Sekian detik keduanya disergap sunyi, sibuk dengan kecamuk pikiran masing-masing. Sa
“Berdasarkan bukti-bukti yang ada, Saudara Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Undang-Undang nomor 23 tahun 2007 dan melakukan kejahatan lingkungan berat.” Mulut Satya terbuka lalu tertutup. “Kejahatan lingkungan berat”, kalimat itu seperti tusukan ribuan jarum, berdengung di kepala seperti dengungan ribuan lebah.“Oleh karena itu, kami meminta majelis hakim yang terhormat menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama sepuluh tahun, wajib membangun instalasi pengolah limbah yang memadai sehingga menghasilkan limbah yang memenuhi standar baku mutu dan aman bagi lingkungan, serta membayar denda sebesar lima milyar rupiah.” Embusan napas berat Satya mengapung di udara. Bayangan tubuhnya meringkuk di balik jeruji besi berkelebat cepat di rongga mata. Hatinya serasa diremas hingga lumat kala menyadari tidak akan melihat anaknya lahir dan tumbuh besar. Sepuluh tahun, bukan waktu yang singkat untuk dijalani sebagai pesakitan. Sanggupkah ia
Saksi-saksi yang memberatkan Satya sudah dihadirkan Jaksa Penuntut Umum. Ia panik, tetapi Andri tetap tenang. Ia bingung, tetapi Andri menganggap kesaksian mereka dengan santai.“Kami sudah siapkan saksi yang akan meringankan posisi Anda. Jadi, tidak perlu khawatir.: Andri berujar dengan tenang meski wajahnya memperlihatkan kalau sedang berpikir keras.“Apakah saksi-saksi itu bisa menyelamatkan dari penjara?” Satya tidak terlalu peduli dengan denda yang harus dibayar. Otaknya terkonsentrasi pada kata penjara yang belakangan menjadi mimpi buruk dan menghalanginya dari tidur nyenyak.“Saksi yang kami siapkan adalah orang-orang yang cukup ahli di bidang ini. Kami yakin mereka akan membalikkan posisi penggugat.”“Kita lihat saja besok.” Satya enggan melanjutkan pembicaraan. Ia tidak ingin terlalu berharap.“Ini daftar saksi ahli yang sudah kitas siapkan.” Andri masih belum menyerah. Disodorkannya selembar kertas pada Satya yang tidak dibaca sama sekali.Keesokan harinya, sebelum sidang Sa
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba