Bian melihat projek yang dibuat Al. Sepupunya itu ada-ada saja membuat taman kaca. Projek ini katanya untuk pernikahan. Bian melihat sendiri, karena tadi kakaknya bilang sudah melihat. Jadi dia melihatnya sendiri. Taman kaca tampak indah dengan bunga-bunga di sekitarnya. Di tengah adalah ruang kosong yang bisa diisi dengan kursi-kursi saat acara pernikahan. Flavia mencari Bian ke taman kaca. Dilihatnya Bian berada di taman kaca sendiri. Tampak suaminya itu sedang berdiri sambil memerhatikan sekitar. Dengan segera Flavia menghampiri, dia langsung memeluk suaminya itu dari belakang. Punggung lebar yang selalu nyaman untuk bersandar itu tak pernah berubah. Selalu nyaman untuk tempatnya bersandar. “Jangan tinggalkan aku.” Air mata Flavia mengalih ketika memeluk sang suami. Dia tidak rela jika harus berpisah dari suaminya itu. Bian cukup terkejut ketika Flavia tiba-tiba memeluknya. Dengan segera dia berbalik untuk melihat wajah sang istri. Dilihatnya sang istri yang menangis sambil meme
Flavia melihat Ghea, Freya, Shera, dan Dearra di sana. Mereka menyambut Flavia yang baru saja masuk. Melihat kakak-kakak iparnya, tentu saja membuat Flavia bingung. “Kakak di sini?” tanya Flavia bingung. “Iya, kami di sini. Untuk meriasmu.” Freya menjawab dengan senyum di wajahnya. Flavia masih dalam kebingungannya. “Merias untuk apa?” Dia yang bingung pun segera bertanya. “Sudah, ayo kita tidak punya banyak waktu.” Ghea segera menarik adik iparnya itu untuk duduk. Flavia hanya bisa terpaku saja ketika melihat akan hal itu. Dia benar-benar tidak mengerti kejutan apa yang disiapkan Bian untuknya, sampai kakak-kakaknya turun tangan semuanya. Freya merias wajah Flavia bersama Shera, sedangkan Ghea dan Dearra merapikan rambut Flavia. Satu tubuh dikeroyok empat orang. Tak butuh waktu lama, akhirnya Flavia selesai juga berias. Wajah Flavia tak kalah cantik ketika dirias oleh penata rias. “Sekarang pakai gaunnya.” Ghea segera menyerahkan gaun pada Flavia. Flavia melihat gaun dari pant
Menunggu lift untuk sampai di lantai di mana kamar mereka berada membuat Flavia tersipu malu. Perasaannya tidak karuan. Senang, berdebar, sedikit takut, dan sedikit cemas. Tentu saja itu membuat keheningan di antara dirinya dan sang suami. “Kenapa pucat?” Bian memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Flavia. Mendapati tatapan Bian, Flavia dibuat salah tingkah. “Siapa yang pucat?” elaknya. Bian meraih tangan Flavia. Telapak tangan sang istri berkeringat. Jelas itu menandakan jika sang istri sedang cemas. “Bukannya kemarin kamu yang begitu menginginkannya.” Bian berbisik di telinga sang istri. Menggoda sang istri ternyata sangat mengasyikkan. Apalagi ketika sang istri sedang cemas. “Iya.” Flavia mengangguk. “Kamu berani?” Bian memastikan kembali.“Tentu aku berani.” Jelas dusta yang dikatakan Flavia. Dia tidak benar-benar berani seperti yang dikatakannya.“Baiklah, kita lihat saja.” Bian tersenyum. Gemas sekali sebenarnya melihat wajah sang istri. Lift terbuka, Bian dan Flavia m
Dua hari Flavia dan Bian menginap di hotel. Mereka menghabiskan waktu berdua. Walaupun sudah bisa ditebak apa yang mereka lakukan selama itu. Bian dan Flavia tidak langsung pulang. Mereka memilih ke rumah mommy dan daddy lebih dulu karena ternyata Ethan berada di sana. Mommy Shea kemarin meminta Ethan untuk tinggal di rumah. Merasa kasihan Ethan sendiri di apartemen. Saat sampai di rumah, Bian mendapati Ethan yang sedang sibuk memasak dengan para ibu. Mereka sangat sibuk sekali. “Kalian sudah pulang.” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Merasa begitu senang sekali karena ternyata anaknya datang ke rumah. “Iya.” Bian dan Flavia menjawab bersamaan. Namun, pandangan mereka teralih pada Ethan yang sedang sibuk di dapur. Tampak para wanita menyuapi Ethan untuk mencicip masakan mereka. Flavia merasa bingung adiknya dikepung ibu-ibu di dapur. “Adikmu sedang mengajari kami masakan Italia.” Mommy Shea memberitahu menantunya. “Dia jadi bintang di sini.” Mommy Shea kembali menambahkan. Fla
“Apa benar kamu tidak pernah merawat anak-anak dengan benar?” Papa Harry langsung melemparkan pertanyaan itu pada istrinya. Mama Agnes begitu terkejut sekali. Dia tidak menyangka jika suaminya akhirnya tahu setelah puluhan tahun. Mama Agnes justru takut ketika suaminya bertanya padanya seperti itu. Melihat istrinya yang diam tentu saja membuat Papa Harry yakin jika istrinya memang tidak memperlakukan dengan baik anak-anaknya. “Sejak awal menikah, aku sudah bilang jika aku punya anak. Aku sudah bertanya apakah kamu siap memberikan kasih sayang. Jika aku tahu jika kamu tidak menyayangi anakku dengan baik, aku tidak akan menikahimu.” Papa Harry benar-benar kecewa sekali. “Jadi kamu menyesal menikah denganku?” Mama Agnes tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh suaminya tersebut. Kehadirannya seolah tidak dihargai sama sekali. “Iya, aku menyesal. Karena kamu merusak masa kecil anak-anakku.” Papa Harry menyesal ketika meninggalkan luka pada hati anak-anaknya. Padahal mereka pastiny
“Sepertinya Kak Bian benar-benar mencintai Kak Fla.” Ethan menghampiri kakaknya dan menemani kakaknya yang sedang memasak. “Iya, dia benar-benar mencintai aku.” Flavia juga merasa jika Bian memang begitu mencintainya. Walaupun awal perjalanan cinta mereka terasa sulit sekali. “Aku senang akhirnya Kak Fla menemukan orang yang tepat. Aku jauh lebih tenang sekarang.” Selama ini ada perasaan takut jika kakaknya tidak akan bahagia. Namun, semua sirna ketika melihat kakaknya begitu bahagia. Apalagi ada keluarga yang begitu baiknya. “Belajarlah yang benar. Jangan khawatirkan aku.” Flavia tersenyum. Dia ingin adiknya lulus dengan nilai terbaik. Agar kelak bisa mendapatkan kehidupan yang layak. “Tentu aku akan belajar dengan benar.” Ethan sadar jika pastinya kakaknya khawatir dengannya. Untuk sementara ini, dia tidak mengatakan jika nanti dia akan bekerja paruh waktu. Karena menurutnya, itu akan membebani pikiran kakaknya. Yang terpenting, kuliahnya bisa terlaksana dengan baik, dan lulus t
Bian memerhatikan Flavia yang sedang memoles wajahnya di depan cermin. Hari ini Flavia akan ada acara reuni. Walaupun reuninya akan diadakan siang, tetapi dia harus berangkat pagi untuk melakukan persiapan dan memastikan jika semuanya akan aman selama acara berlangsung. “Apa Nevan juga datang pagi?” tanya Bian menatap sang istri yang sedang berdandan. Sejujurnya, dia merasa begitu kecewa sekali karena tidak bisa ikut dengan Flavia. Juga tidak bisa mengawasi sang istri di sana. “Dia bukan panitia. Jadi tentu dia tidak datang pagi-pagi. Dia akan datang siang seperti yang lain.” Sambil memoles wajahnya, Flavia mencoba menjelaskan. Bian mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun mengerti apa yang dikatakan sang istri, tetap saja dia merasa takut. Wajah cemasnya itu tidak bisa dibohongi dari wajah Bian. Flavia melihat wajah Bian dari pantulan cermin. Dilihatnya sang suami menekuk bibirnya. Seolah tampak kesal sekali. “Apa kamu tidak percaya denganku?” Flavia menatap sang suami dari pant
Sayangnya, saat obat diminum, tidak ada reaksi apa-apa. Sesak yang dirasakan Bian semakin bertambah. Wajah Bian sudah merah-merah. Bibirnya pun sudah bengkak karena makan bubur kepiting itu. “Bi.” Daddy Bryan mulai panik. Reaksi tubuh Bian jauh lebih parah dibanding dirinya. “Dad, a-aku ti-dak bi-sa na-pas.” Bian mencoba menjelaskan pada daddy-nya. “Bry, sepertinya reaksinya lebih parah dibanding kamu.” Papa Felix melihat Bian yang benar-benar sudah sangat kesakitan, meskipun sudah minum obat. “Lalu kita harus apa?” Daddy Bryan menatap Papa Felix.“Kita harus bawa dia ke rumah sakit. Bisa-bisa dia tidak bernapas jika dibiarkan.” Papa Felix jelas takut jika terjadi apa-apa dengan Bian. “Baiklah, ayo kita bawa ke rumah sakit.” Daddy Bryan setuju. “Bi, ayo kita ke rumah sakit.” Daddy Bryan mengangkat tubuh Bian. Memapah ke mobil. Papa Felix segera mengambil kunci mobil temanya yang berada di nakas. Dengan segera dia keluar untuk membuka pintu mobil. Daddy Bryan segera memasukkan Bi