Flavia tetap tenang membuka pintu rumahnya. Mengabaikan Anika yang merasa tidak enak dengan Bian. Anika pun hanya tersenyum dan berlalu ke apartemen Flavia. Flavia masih tampak tenang masuk ke apartemen. Anika pun ikut masuk ke apartemen menyusul Flavia. “Fla, kenapa tidak bilang jika yang menjadi tetanggamu adalah Pak Bian?” Anika melemparkan protesnya. “Kamu tidak tanya.” Flavia dengan enteng menjawab. Dia masuk dan menuju ke meja makan. Di sana dia meletakkan tasnya. Anika menatap malas. “Jadi Pak Bian yang kamu bilang tetangga menyebalkan.” “Iya.” Flavia menuju ke dapur. Mengeluarkan belanjaan yang dibelinya tadi di atas meja dapur. “Dia baik, kenapa bilang menyebalkan?” Anika penasaran dengan pandangan Flavia. Karena sejauh dia mengenal Bian, pria itu adalah orang yang baik. “Iya, karena dia memang menyebalkan. Selalu membuat mood-ku buruk.” Flavia kemudian mencuci tangannya. Bersiap untuk memasak. “Padahal dia selalu jadi mood buat aku jika di kantor. Pesonanya mengalahka
“Bukankah aku sangat menyebalkan?” Bian menyeringai ketika menatap Flavia. Flavia melirik malas. “Jika sudah tahu, kenapa bertanya?” Dia menyeringai. Flavia membakar daging. Dia mengabaikan Bian dan fokus dengan apa yang dilakukannya. Bian hanya tersenyum ketika melihat reaksi Flavia. “Medium well.” Bian mengatakan seberapa tingkat kematangan steak yang diinginkannya. Flavia tidak menjawab, tetapi tetap melakukan apa yang diminta Bian. Membuat daging medium well. Bian memilih diam. Membiarkan Flavia memasak. Dia memerhatikan Flavia yang tampak cantik sekali ketika memasak. Tentu saja membuatnya cukup terpesona. Sejujurnya, Flavia adalah wanita yang cukup cantik. Mungkin, jika Flavia tidak dengan daddy-nya, Bian bisa menaruh hati padanya.Akhirnya Flavia selesai membakar steak. Dia segera meletakkan steak di atas piring saji. Bian memilih membantu. Meraih piring untuk dibawa ke meja makan. Flavia membawa satu piring dan Bian membawa dua piring.“Bagaimana rasanya memiliki tetangga m
“Apa kamu sering makan siang dengan Flavia?” Mommy Shea yang sedang mengolesi cream anti aging, menoleh sejenak pada suaminya.“Tidak.” Daddy Bryan yang sedang membaca majalah pun menjawab sambil matanya tetap fokus pada majalah. “Bagus kalau begitu.” Mommy Shea masih sibuk mengoles cream ke wajahnya. Memastikan jika cream rata di wajahnya. Agar kerutan di wajahnya sedikit berkurang. Mendengar ucapan istrinya itu Daddy Bryan menurunkan majalahnya. Mengalihkan pandangan pada istrinya. “Apa kamu sedang menunjukan rasa cemburumu?” Dia tersenyum menatap sang istri. Mommy Shea yang sudah selesai segera menghampiri sang suami. Duduk tepat di samping sang suami. Tatapannya begitu teduh ketika melihat pria yang sudah dinikahinya selama tiga puluh enam tahun itu. “Banyak yang bilang pria seusiamu ini sedang mengalami puber kedua. Mereka akan tergoda dengan apa yang ada di luar sana. Jadi aku pun takut kamu akan tergoda dengan daun muda di luar sana.” Ucapan Mama Chika kala itu memang sedik
Bian berlari ke lobi. Daddy-nya tadi menghubunginya mendadak. Jadi dia harus buru-buru ke lobi agar daddy-nya tidak terlalu lama menunggu. Saat sampai di lobi, Bian melihat jika ternyata tidak hanya sang daddy di sana. Ada Papa Felix juga di sana. “Maaf lama.” Bian merasa tidak enak sekali. “Santai saja.” Papa Felix tersenyum. “Ayo kalau begitu.” Daddy Bryan segera mengajak anak dan temannya itu untuk segera pergi. Mereka bertiga pergi dengan menggunakan satu mobil. Memilih restoran yang tak jauh dari kantor. Tak mau bermacet-macetan. “Bagaimana bekerja di sini?” tanya Papa Felix menatap Bian. “Aku rasa harus banyak perubahan yang dilakukan Adion. Terlalu kuno cara-cara yang digunakan.” Bian mencibir daddy-nya yang masih tak menggunakan teknologi lebih baik untuk pembangunan sebuah proyek. “Kalau kamu bisa membuatnya lebih maju usulkan saja apa yang menjadi idemu. Siapa tahu perusahaan ini akan jauh lebih maju lagi.” Daddy Bryan justru menunggu apa yang akan dilakukan anaknya u
“Tidak apa-apa.” Flavia menegakkan tubuhnya. Dia berusaha untuk menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. “Sebaiknya aku akan segera mengantarkanmu.” Charles meraih pinggang Flavia. Berusaha untuk membuat Flavia tetap tegak. “Sepertinya tadi bukan dua puluh persen. Kepalaku sakit sekali.” Flavia merasa jika kepalanya begitu berdenyut. Perasan mulai melayang. Hampir kehilangan kesadarannya. “Itu tadi dua puluh persen. Hanya saja kamu sensitif dengan alkohol saja.” Charles memberitahu Flavia sambil terus mengajak Flavia jalan. “Iya, aku sudah lama sekali tidak minum. Kapan aku minum?” Flavia bertanya pada dirinya sendiri. “Sepertinya kamu sudah lama tidak minum.” Charles pun memberikan komentarnya. Flavia tertawa. “Benar aku sudah lama tidak minum.” Kesadaran Flavia mulai berkurang. Efek alkohol memberikan sensasi euforia. Charles senang melihat Flavia sudah mulai minum. Inilah yang ditunggunya sejak tadi. Charles memang sudah menyukai Flavia sejak lama. Karena itu dia sengaja melak
Benar saja. Setelah mendengarkan musik, Flavia menari-nari. Bian pun membiarkan Flavia yang sibuk menari. Dia memilih segera melajukan mobilnya. “Jika tahu tidak kuat minum, harusnya jangan mencoba minum.” Bian yang fokus pada jalanan, melirik Flavia sejenak. Dia sedikit kesal dengan gadis di sampingnya itu. Tiba-tiba Flavia menangis di tengah-tengah menari. Seketika dia menghentikan gerakannya. “Semua orang tidak benar-benar menyayangi aku. Aku kesepian.” Flavia menangis. Selama ini Flavia tinggal sendiri. Jarang sekali pulang ke rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya untuk pulang, tak pernah dikunjunginya. Walaupun papanya menyayanginya, mama tirinya tak pernah menyayanginya. Selalu saja memerintahnya sesuka hatinya. Bian yang melihat Flavia menangis langsung mematikan musik. Dia memilih mendengarkan Flavia yang menangis. “Mereka selalu memintaku menjadi yang mereka mau. Aku tidak suka.” Flavia menggeleng. Merasakan perasaan sedihnya. Bian penasaran. Apa yang terjadi s
Belum sampai bibir Bian pada bibir Flavia, tiba-tiba gadis itu membuka mata. Reflek Bian memundurkan tubuhnya. Bian takut Flavia menyadari apa yang dilakukannya. “Panas sekali.” Flavia memegangi lehernya. “Aku akan ambilkan minum.” Bian dengan cepat berinisiatif berdiri. Mengayunkan langkahnya ke dapur untuk mengambilkan minum. Berharap Flavia tidak menyadari apa yang akan dilakukan tadi. “Panas.” Flavia merasakan tubuhnya yang begitu panas. Dengan segera dia menurunkan ritsleting gaun yang dipakainya. Kemudian menurunkannya dan membuangnya asal. Dia merasa tubuhnya panas. Karena itu dia membuka bajunya dan membuangnya asal. Bian yang kembali ke kamar benar-benar dikejutkan dengan Flavia yang membuka bajunya, dan hanya tersisa pakaian dalam saja. Tentu saja itu membuat Bian begitu terkejut. Bian laki-laki normal. Melihat pemandangan indah di dari tubuhnya membuatnya tentu saja tergoda. Flavia ingin membuka bra yang dipakainya. Hal itu membuat Bian segera menghampiri dan mencegahn
Bian segera mendaratkan bibirnya di bibir Flavia. Mencium dengan kasar gadis di depannya itu. Dia tak memberikan celah sama sekali pada Flavia. Jangankan membalas. Untuk sekadar memberikan celah Flavia bernapas pun Bian tidak melakukannya. Bian benar-benar dipengaruhi perasaan marahnya pada Flavia.Flavia yang berada dalam pengaruh alkohol pun berusaha melepaskan bibirnya. Namun, usahanya sia-sia saja. Bian tak melepaskannya sama sekali.Di saat bibir masih saling bertautan, tangan Bian mulai menyelusup masuk ke punggung Flavia. Melepas pengait bra yang dikenakan oleh gadis itu. Pengait bra yang terlepas, membuat Bian mulai menurunkannya. Membuat dua benda kenyal milik Flavia tanpa penutup apa pun. Bian melepaskan tautan bibirnya. Dia mengangsur tubuhnya turun. Mendaratkan kecupan di leher Flavia dan meninggalkan bekas kemerahan di sana. Bibir Bian yang mulai turun pun sampai ke dua benda kenyal milik Flavia. Bian tetaplah pria normal. Tentu hasratnya seketika muncul walaupun di ten