Sesuai dengan rencana Flavia yang akan memasak untuknya. Mereka berdua menuju ke supermarket yang masih berada dalam satu kawasan apartemen mereka. Bian menggunakan motornya, sedangkan Flavian menggunakan mobilnya. Seperti biasa Bian sampai lebih dulu. Dia asyik menikmati es krim yang dibelinya di depan supermarket. Flavia yang sampai melihat Bian tampak mengemaskan sekali. Pria itu menggendong sambil memakan es krim. Jika Bian tidak memakai jaket motor dan memakai baju sekolah, mungkin orang akan mengira jika Bian anak sekolah. Flavia menghampiri Bian. “Ayo.” “Bentar aku habiskan es krimku dulu.” Bian meminta Flavia untuk duduk di sebelahnya. Flavia harus menunggu Bian dulu. Alhasil, dia duduk di sebelah Bian. “Mau.” Bian menawari Flavia sambil menyodori es krimnya. Es krim tampak begitu menggiurkan. Tentu saja membuat Flavia tergoda. Dia bersiap untuk mendekatkan bibirnya ke arah es krim. “Tidak mau ya sudah.” Bian menarik kembali es krimnya.Flavia hanya membulatkan matanya
Bian dan Flavia sampai di apartemen. Mereka meletakkan belanjaan di atas meja. Flavia langsung membuka kancing tangan kemejanya, kemudian melipatnya agar nanti dapat memasak lebih leluasa. Tak lupa dia mengikat rambutnya. Agar nanti bergerak nyaman. Melihat Flavia yang mengikat rambutnya membuat Bian menelan salivanya. Leher jenjang terdengar begitu putih dan menggoda. “Kamu masukkan belanjaan ke dalam lemari pendingin.” Flavia berlalu sambil mengambil bahan masakan yang akan dibuatnya sekarang. Kemudian berlalu meninggalkan Bian. Bian hanya terpaku saja. Baru saat Flavia berlalu, dia baru tersadar. Bian memilih untuk membuka kancing tangan kemejanya. Kemudian menggulungnya. Belanjaan yang berada di atas meja dibawa oleh Bian ke dapur. Dia merapikan belanjaan ke dalam lemari pendingin. “Aku sudah bawa kotak-kotak penyimpaan. Kamu bisa masukkan belanjaan satu-satu ke dalam kotak lebih dulu sebelum memasukkannya ke dalam lemari pendingin.” Flavia mencari kursi yang biasa di dapur.
Bian langsung mengibas-gibaskan tangannya agar asapnya segera pergi. Tak mau Flavia terganggu. “Aku mau makan es krim, karena itu aku belum tidur.” Flavia ikut melihat pemandangan kota dari apartemen. Kemudian membuka es krim miliknya dan memakannya. Bian memerhatikan Flavia yang sedang asyik makan es krim cone yang dibawanya. Flavia yang terus menyilat es krim membuat Bian menelan salivanya. Pikirannya melayang membayangkan jika itu lehernya yang dijilat. Bayangan itu tentu saja membuat tubuhnya panas dingin. “Kamu sudah lama merokok?” Flavia menoleh ke arah Bian. Mendapati Flavia yang menoleh membuat Bian mengalihkan pandangannya. Memandang pemandangan yang berada di depannya. Tak mau ketahuan jika dia baru saja berpikiran kotor tentang Flavia. “Sejak sekolah menengah.” Bian menjelaskan pada Flavia. “Wah … anak sekolah sudah merokok, apa daddy dan mommy tidak marah?” “Tidak. Justru mereka tahu.” Bian menjelaskan. “Oh … ya?” Lalu mereka mengizinkan?” Flavia penasaran sekali.
Flavia membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut dengan yang dilakukan oleh Bian. Bian menggigit lembut bibir Flavia agar terbuka, kemudian memasukkan coklat yang masih berada di dalam mulutnya yang masih tersisa. Dengan segera Bian melepaskan tautan bibirnya tersebut setelah memberikan coklatnya. “Coklatnya sudah aku berikan. Jangan menarikku lagi.” Bian tersenyum. Dia berangsur bangun dari tubuh Flavia. Tidak aman untuk adik kecilnya jika berada dalam posisi intimnya.Flavia hanya terpaku. Dia menyesap coklat yang berada di mulutnya. Walaupun Bian tidak benar-benar menciumnya, tetapi bibir mereka sempat menempel.“Kenapa ini?” Flavia memegangi dada sebelah kiri. Di mana jantungnya berada. Dia merasa debaran jantungnya tak beraturan. Flavia tidak berani menyimpulkan apa-apa. Karena dia merasa takut dengan kesimpulannya itu. ***Pagi ini Flavia memilih berangkat lebih dulu ke kantor. Meninggalkan pesan pada Bian untuk menikmati sarapannya. Dia berusaha untuk mengh
Flavia sampai di rumah. Saat membuka pintu, aroma masakan tercium. Tentu saja itu membuat Flavia bingung. Siapa gerangan yang memasak. Dengan langkah cepat Flavia masuk. Dilihatnya sang suami yang sedang asyik memasak. Dari belakang punggung Bian tampak lebar sekali. Membuat Flavia yang melihat ingin rasanya memeluk dari belakang. Menyandarkan kepalanya di punggung itu. Astaga, kenapa aku berpikir seperti itu. Flavia menyingkirkan pikirannya yang berlebihan itu pada Bian. Dia merasa jika pikirannya sudah terlalu liar. “Kamu sudah pulang?” Ketika berbalik, Bian melihat Flavia. Tentu saja itu membuatnya senang. Siapa yang tidak senang melihat wanita yang baru saja membuatnya bahagia datang. Sejak mendapati jawaban Flavia tadi, Bian begitu bahagia sekali. Dia seolah mendapatkan pintu hati Flavia yang terbuka sedikit. “Iya.” Flavia mengangguk sambil mengayunkan langkahnya. “Kamu masak?” tanya Flavia yang mendekat ke arah Bian.“Baru mau masak.” Bian memang baru saja datang. Jadi dia
Pagi ini Flavia dan Bian menuju ke proyek pembangunan hotel Davis. Jika biasanya Flavia pergi dengan Daddy Bryan, kali ini dia pergi dengan Bian. Sebenarnya, Daddy Bryan menyarankan Bian untuk membawa supir saja. Sayangnya, Bian tidak mau. Dia merasa lebih baik berdua saja. Apalagi keadaan jauh lebih baik. Flavia semalaman tidak bisa tidur. Dia memikirkan jika kali ini dia harus lebih berhati-hati. Tak boleh tergoda atau justru menikmati apa yang dilakukan oleh Bian. Tidak mau hal kemarin terulang kembali. Sayangnya, karena semalam dia sulit tidur. Kini dia merasa mengantuk. Di dalam perjalanan Flavia terus menguap. Dia mengantuk sekali. Apalagi, mereka berangkat pagi-pagi sekali seperti sekarang ini. “Jika kamu mengantuk tidurlah.” Bian menoleh sejenak pada Flavia yang tampak begitu mengantuk sekali. “Tidak.” Flavia menggeleng. Dia tidak mau tidur. Apalagi Bian menyetir sendiri, tidak ada teman yang menemani. Bian pun tidak memaksakan jika Flavia memang tidak mau tidur. Lagi pul
Flavia memutuskan untuk berdandan di dalam mobil. Dengan segera dia mengikat rambutnya untuk lebih leluasa ketika merias wajahnya. Flavia menggunakan kaca di atas dashboard karena ukurannya lebih besar dari pada kaca di bedaknya. Bian menurunkan kursinya, setengah merebah, sambil memerhatikan Flavia yang sedang asyik mengikat rambutnya. Sejak kemarin, Bian terus disuguhi dengan leher jenjang milik Flavia. Rasanya, Bian seolah diuji dengan melihat leher jenjang nan putih itu. Sabar, Bi.Bian menguatkan hatinya ketika melihat leher jenjang Flavia tersebut. Karena tak tahan melihat hal itu, Bian memutuskan untuk mengalihkan pandangan lain. Berusaha melihat ke arah lain, tetap saja Bian tidak bisa. Seolah seperti magnet yang terus ingin menariknya, Bian akhirnya kembali ke arah Flavia. Melihat istrinya itu berdandan.Bian melihat jelas wajah Flavia sebelum memakai riasan. Wajah Flavia cantik alami. Riasan yang dipakai membuat wajah istrinya itu semakin cantik. Flavia memoles bibirnya y
Flavia dan Bian menuju ke proyek bersama dengan Aletha dan Axel. Mereka melihat sejauh apa proses pembangunan yang dilakukan oleh Adion. Sudah berjalan dua bulan proses cukup signifikan. Sudah berdiri setengah jalan. Padahal proyek diperkirakan akan selesai selama enam bulan. “Sepertinya akan selesai lebih awal.” Aletha melihat jelas proses yang begitu cepat sekali. “Kemungkinan begitu.” Bian mengangguk. Karena memang pekerja dibuat beberapa sift. Setiap hari non stop pekerjaan selalu ada. Jadi proses memang terbilang cepat. Mereka mengecek setiap bagian proyek. Ditemani pimpinan proyek, mereka mendapatkan penjelasan seberapa jauh pembangunan. Cukup lama Aletha, Axel, Bian, dan Flavia mengecek proyek. Aletha merasa tidak ada masalah dalam pembangunan. Jadi tentu saja itu membuatnya tenang. Mereka melanjutkan dengan makan siang bersama. Saat makan siang, mereka membahas beberapa hal terkait proyek.Aletha, Axel, Bian, dan Flavia kembali ke hotel tepat jam empat sore. Bian memesan ka