Flavia dan Bian menuju ke proyek bersama dengan Aletha dan Axel. Mereka melihat sejauh apa proses pembangunan yang dilakukan oleh Adion. Sudah berjalan dua bulan proses cukup signifikan. Sudah berdiri setengah jalan. Padahal proyek diperkirakan akan selesai selama enam bulan. “Sepertinya akan selesai lebih awal.” Aletha melihat jelas proses yang begitu cepat sekali. “Kemungkinan begitu.” Bian mengangguk. Karena memang pekerja dibuat beberapa sift. Setiap hari non stop pekerjaan selalu ada. Jadi proses memang terbilang cepat. Mereka mengecek setiap bagian proyek. Ditemani pimpinan proyek, mereka mendapatkan penjelasan seberapa jauh pembangunan. Cukup lama Aletha, Axel, Bian, dan Flavia mengecek proyek. Aletha merasa tidak ada masalah dalam pembangunan. Jadi tentu saja itu membuatnya tenang. Mereka melanjutkan dengan makan siang bersama. Saat makan siang, mereka membahas beberapa hal terkait proyek.Aletha, Axel, Bian, dan Flavia kembali ke hotel tepat jam empat sore. Bian memesan ka
“Aku tidak akan pernah macam-macam.” Flavia menatap Bian kesal. Tentu saja dia tidak akan melakukan hal gila itu. “Kita lihat saja.” Bian tersenyum. Flavia malas bicara dengan Bian lagi. Dia memilih untuk segera mengambil bajunya. Tubuhnya sudah sangat lelah jadi ingin segera disegarkan. Bian yang menunggu Flavia pun memilih memainkan ponselnya sambil duduk di kursi yang berada di dalam kamar. Dia mengirim pesan pada mommy-nya. Memberikan kabar jika dia sudah di hotel. Beberapa menit berlalu, Flavia keluar dari pakaian lengkapnya. Bian pikir Flavia akan keluar dengan handuk saja. Namun, ternyata tak seindah bayangannya. Bergantian dengan Flavia, Bian memilih untuk segera masuk ke kamar mandi. Dia juga ingin menyegarkan tubuhnya. Flavia melihat kalender di ponselnya. Dia melihat jika minggu ini adalah jadwal datang bulannya. Namun, dia tidak merasakan tanda-tanda apa pun. “Apa jangan-jangan aku hamil?” Flavia memikirkan akan hal itu, tentu saja itu membuatnya merasa bingung. Dia
Flavia merasa pegal karena tidur dalam posisi miring ke satu sisi. Karena itu, dia mengubah sisi lainnya. Berbalik ke sisi lain agar tidak pegal. Saat Flavia berbalik, Bian masih terus memeluk Flavia. Dia justru semakin mengeratkan pelukannya. Kali ini pelukan diberikan Bian dari belakang. Memastikan jika sang istri tidak kedinginan. Merasakan tangan kokoh yang memeluknya, Flavia merasa terkejut. Untuk memastikan itu, dia membuka matanya perlahan-lahan. Alangkah terkejutnya Flavia melihat tangan Bian yang melingkar di perutnya. Kenapa dia memelukku? Bukankah aku sudah bilang untuk tidak macam-macam.Flavia merasa jika Bian sudah melewati batasannya. Suaminya itu memeluknya dengan sesuka hatinya. Namun, sejenak Flavia menyadari satu hal. Aku yang bergeser mendekat ke arahnya.Flavia menyadari jika tubuhnya sudah jauh dari posisi awal dia tidur. Artinya Flavia sendiri yang mendekat ke arah Bian. Kenapa aku tidak merasakannya?Flavia merasa jika ini adalah kesalahannya. Tentu saja j
Bian memandang Flavia. Walaupun bangun tidur, wajah istrinya tampak cantik sekali. Bian secara impulsif menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Flavia. Tangannya yang berada di wajah Flavia, membelai lembut wajah wanita yang sudah menjadi istrinya selama sebulan itu. “Sejak aku bertemu denganmu di kantor. Aku merasa kamu cantik sekali. Aku sampai berpikir jika pantas daddy menyukaimu.” Bian mengingat bagaimana pertama kali melihat Flava setelah sekian lama tidak bertemu. Pipi Flavia menghangat. Jelas sekarang pipinya itu sudah menyemburkan rona mereka. Wanita mana yang tidak suka dipuji. Tentu saja semua wanita suka dipuji. Termasuk dengan Flavia. Dia sampai lupa jika sekarang berada di dalam pelukan Bian. Bian yang membelai lembut wajah Flavia, perlahan mengangsur wajahnya. Dia mendaratkan bibirnya tepat di bibir Flavia yang sedari tadi menggodanya. Perlahan Bian menyesap bibir tipis dan manis milik Flavia. Geraka yang lembut membuat Flavia memejamkan matanya. Dia menikmati sensa
Flavia memilih baju apa yang bisa dipakainya untuk naik motor. Tentu saja yang nyaman. Tak lupa dia mencari jaket untuk dipakainya. “Pakai apa ya?” Flavia melihat bajunya satu per satu. “Jangan dress.” Dia memberikan peringatan pada dirinya sendiri. “Sepertinya ini pas.” Flavia menemukan atasan blik-blik dengan celana pendek. Setelah itu dia mendapatkan jaket kulit. Flavia merasa ini pas untuk dipakai pergi nonton dan malam minggu. Setelah mendapatkan pakaiannya yang didapatnya, Flavia bersiap untuk mandi. Tak mau sampai Bian menunggu lama nanti. Setengah jam berlalu. Flavia keluar dari kamarnya ketika sudah siap. Menemui Bian di ruang tamu, menunggunya. Bian membulatkan matanya ketika melihat Flavia yang begitu seksi. Perutnya karena memakai atasan crop blik-blik. Belum lagi, paha putihnya terlihat karena Flavia memilih celana pendek. “Kamu pakai apa itu?” Bian hanya bisa menahan napasnya melihat istrinya yang begitu seksi. “Pakai baju, memangnya pakai apa?” Flavia menjawab sam
“Agar kamu tidak terjatuh.” Bian tersenyum sambil melihat istrinya dari pantulan kaca spion. Flavia tersenyum tipis. Entah kenapa dia malu harus memeluk Bian, tetapi dia tidak menolak juga ketika diminta untuk memeluk. “Baiklah, kita pergi.” Bian mulai menarik tuas gasnya. Melajukan mobilnya ke mal. Walaupun di dekat apartemen mereka ada mal, tetap saja mereka ingin pergi ke mal lain. Alasan Bian saja yang ingin menikmati naik motor dengan Flavia. Bian melajukan motornya. Jalanan cukup padat, meskipun tidak macet. Bian juga tidak melajukan motornya dengan kencang agar Flavia nyaman memboceng. Langit malam ini begitu indah. Flavia yang melihat ke langit, melihat bintang-bintang denga sedikit cahaya. Maklum, ibu kota dengan begitu banyak polusi memang membuat cahaya bintang sedikit tertutup. Udara malam yang cukup dingin, disertai angin yang bertiup kencang membuat Flavia mengeratkan pelukannya. Bian yang merasakan pelukan dari Flavia merasa senang. Perjalanan tiga puluh menit me
Bian dan Flavia melanjutkan berjalan-jalan ke toko-toko yang berada di mal. Saat melintas di toko sepatu Flavia terpana dengan sepatu yang begitu cantik. “Aku mau lihat itu.” Flavia menarik Bian. Bian pasrah saja ketika Flavia menariknya. Dia mengikuti ke mana istrinya membawanya. Ternyata sang istri sedang melihat sepatu yang terpajang. “Wah … cantik sekali.” Flavia melihat sepatu dengan warna toska yang begitu cantik sekali. “Cobalah.” Bian menatap sang istri. Flavia mengangguk. Dia meminta pramuniaga untuk mengambilkan ukuran sepatunya. Kemudian mencobanya. Warna toska dengan hiasan blink-blink tampak begitu indah sekali. Pas di kaki Flavia yang berwarna putih. “Berapa harganya?” tanya Flavia pada pramuniaga sambil hendak memasang sepatu di kaki satunya. “Lima belas juta.” Pramuniaga memberitahu. Seketika Flavia membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut. Karena harganya tidak masuk akal baginya. Tentu saja Flavia takut membeli barang dengan harga segitu. Dia segera
Pagi ini Flavia berniat untuk berolahraga. Dari kemarin, dia belum datang bulan. Berharap jika setelah olahraga kali ini dia akan segera datang bulan. Namun, karena Flavia juga takut jika sampai ada kehamilan, dia memilih untuk berenang saja. Olahraga yang menurutnya aman jika terjadi kehamilan. Saat keluar, dia melihat Bian yang juga sedang memakai sepatu olahraga. Tentu saja, dia menebak jika pasti Bian ingin olahraga juga. “Kamu mau olahraga?” tanya Flavia memastikan pada Bian. “Iya, kamu sendiri mau ke mana?” Bian melihat Flavia membawa tas di tangannya. “Mau berenang.” Flavia menunjukan tasnya. Walaupun Bian hanya melihat tas dari luar saja, tetapi dia tahu jika tas itu berisi alat untuk berenang. “Tunggu kalau begitu.” Bian melepas sepatunya. Dia ingin ikut Flavia berenang juga. “Tunggu apa?” Flavia bingung dengan Bian yang tiba-tiba membuka sepatunya. “Aku mau ikut berenang.” Bian tidak mau sang istri lepas dari pengawasannya. Dia segera berlari ke kamarnya. “Tunggu aku