Bian memandang Flavia. Walaupun bangun tidur, wajah istrinya tampak cantik sekali. Bian secara impulsif menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Flavia. Tangannya yang berada di wajah Flavia, membelai lembut wajah wanita yang sudah menjadi istrinya selama sebulan itu. “Sejak aku bertemu denganmu di kantor. Aku merasa kamu cantik sekali. Aku sampai berpikir jika pantas daddy menyukaimu.” Bian mengingat bagaimana pertama kali melihat Flava setelah sekian lama tidak bertemu. Pipi Flavia menghangat. Jelas sekarang pipinya itu sudah menyemburkan rona mereka. Wanita mana yang tidak suka dipuji. Tentu saja semua wanita suka dipuji. Termasuk dengan Flavia. Dia sampai lupa jika sekarang berada di dalam pelukan Bian. Bian yang membelai lembut wajah Flavia, perlahan mengangsur wajahnya. Dia mendaratkan bibirnya tepat di bibir Flavia yang sedari tadi menggodanya. Perlahan Bian menyesap bibir tipis dan manis milik Flavia. Geraka yang lembut membuat Flavia memejamkan matanya. Dia menikmati sensa
Flavia memilih baju apa yang bisa dipakainya untuk naik motor. Tentu saja yang nyaman. Tak lupa dia mencari jaket untuk dipakainya. “Pakai apa ya?” Flavia melihat bajunya satu per satu. “Jangan dress.” Dia memberikan peringatan pada dirinya sendiri. “Sepertinya ini pas.” Flavia menemukan atasan blik-blik dengan celana pendek. Setelah itu dia mendapatkan jaket kulit. Flavia merasa ini pas untuk dipakai pergi nonton dan malam minggu. Setelah mendapatkan pakaiannya yang didapatnya, Flavia bersiap untuk mandi. Tak mau sampai Bian menunggu lama nanti. Setengah jam berlalu. Flavia keluar dari kamarnya ketika sudah siap. Menemui Bian di ruang tamu, menunggunya. Bian membulatkan matanya ketika melihat Flavia yang begitu seksi. Perutnya karena memakai atasan crop blik-blik. Belum lagi, paha putihnya terlihat karena Flavia memilih celana pendek. “Kamu pakai apa itu?” Bian hanya bisa menahan napasnya melihat istrinya yang begitu seksi. “Pakai baju, memangnya pakai apa?” Flavia menjawab sam
“Agar kamu tidak terjatuh.” Bian tersenyum sambil melihat istrinya dari pantulan kaca spion. Flavia tersenyum tipis. Entah kenapa dia malu harus memeluk Bian, tetapi dia tidak menolak juga ketika diminta untuk memeluk. “Baiklah, kita pergi.” Bian mulai menarik tuas gasnya. Melajukan mobilnya ke mal. Walaupun di dekat apartemen mereka ada mal, tetap saja mereka ingin pergi ke mal lain. Alasan Bian saja yang ingin menikmati naik motor dengan Flavia. Bian melajukan motornya. Jalanan cukup padat, meskipun tidak macet. Bian juga tidak melajukan motornya dengan kencang agar Flavia nyaman memboceng. Langit malam ini begitu indah. Flavia yang melihat ke langit, melihat bintang-bintang denga sedikit cahaya. Maklum, ibu kota dengan begitu banyak polusi memang membuat cahaya bintang sedikit tertutup. Udara malam yang cukup dingin, disertai angin yang bertiup kencang membuat Flavia mengeratkan pelukannya. Bian yang merasakan pelukan dari Flavia merasa senang. Perjalanan tiga puluh menit me
Bian dan Flavia melanjutkan berjalan-jalan ke toko-toko yang berada di mal. Saat melintas di toko sepatu Flavia terpana dengan sepatu yang begitu cantik. “Aku mau lihat itu.” Flavia menarik Bian. Bian pasrah saja ketika Flavia menariknya. Dia mengikuti ke mana istrinya membawanya. Ternyata sang istri sedang melihat sepatu yang terpajang. “Wah … cantik sekali.” Flavia melihat sepatu dengan warna toska yang begitu cantik sekali. “Cobalah.” Bian menatap sang istri. Flavia mengangguk. Dia meminta pramuniaga untuk mengambilkan ukuran sepatunya. Kemudian mencobanya. Warna toska dengan hiasan blink-blink tampak begitu indah sekali. Pas di kaki Flavia yang berwarna putih. “Berapa harganya?” tanya Flavia pada pramuniaga sambil hendak memasang sepatu di kaki satunya. “Lima belas juta.” Pramuniaga memberitahu. Seketika Flavia membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut. Karena harganya tidak masuk akal baginya. Tentu saja Flavia takut membeli barang dengan harga segitu. Dia segera
Pagi ini Flavia berniat untuk berolahraga. Dari kemarin, dia belum datang bulan. Berharap jika setelah olahraga kali ini dia akan segera datang bulan. Namun, karena Flavia juga takut jika sampai ada kehamilan, dia memilih untuk berenang saja. Olahraga yang menurutnya aman jika terjadi kehamilan. Saat keluar, dia melihat Bian yang juga sedang memakai sepatu olahraga. Tentu saja, dia menebak jika pasti Bian ingin olahraga juga. “Kamu mau olahraga?” tanya Flavia memastikan pada Bian. “Iya, kamu sendiri mau ke mana?” Bian melihat Flavia membawa tas di tangannya. “Mau berenang.” Flavia menunjukan tasnya. Walaupun Bian hanya melihat tas dari luar saja, tetapi dia tahu jika tas itu berisi alat untuk berenang. “Tunggu kalau begitu.” Bian melepas sepatunya. Dia ingin ikut Flavia berenang juga. “Tunggu apa?” Flavia bingung dengan Bian yang tiba-tiba membuka sepatunya. “Aku mau ikut berenang.” Bian tidak mau sang istri lepas dari pengawasannya. Dia segera berlari ke kamarnya. “Tunggu aku
Flavia memilih untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu, sedangkan Bian sudah langsung meluncur ke dalam air. Flavia melihat sang suami yang berenang. Tentu saja itu membuatnya ingin segera merasakan air dingin yang mengenai kulitnya. Pasti akan segar sekali. Setelah melakukan pemanasan, Flavia langsung meluncur ke dalam kolam renang. Rasa segar begitu terasa ketika Flavia berenang. Dia berenang sampai ke ujung di mana pemandangan kota terlihat dari ketinggian. Flavia muncul dari dalam air. Dia mengambil udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya yang kosong akibat menahan napas di dalam air. “Aku suka berenang di sini karena bisa sambil melihat pemandangan.” Flavia tersenyum ketika melihat pemandangan kota dari atas. “Perasaan sama saja jika dilihat dari balkon apartemen.” Bian merasa memang tidak ada bedanya. Flavia merasa Bian kembali menyebalkan. Padahal semalam begitu romantis sekali. Flavia merasa jika ternyata dia memang dirinya tidak boleh langsung percaya. “
“Tentu saja tidak. Ini pertama kali aku membelinya.” Bian menatap Flavia. “Kenapa kamu berpikir aku sudah biasa?” tanyanya ingin tahu. “Kamu tampak tenang ketika membeli alat tes kehamilan.” Flavia merasa Bian tidak setakut dirinya. “Aku dan kamu sudah menikah. Bukan berpacaran yang takut untuk membeli alat tes kehamilan. Jika pun anak itu ada, dia ada di dalam pernikahan. Lalu kenapa harus takut?” Bian justru bingung dengan apa yang dipikirkan oleh Flavia. Flavia terdiam. Dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Bian. Memang benar adanya jika dirinyalah yang terlalu berlebihan takut. Padahal mereka sudah menikah, jadi sah-sah saja jika membeli alat tes kehamilan. Bian melajukan mobilnya kembali ke apartemen. Dia tidak mempermasalahkan apa yang dikatakan oleh Flavia. Dia tahu jika sang istri sedang takut. Jadi dia memaklumi. ***Suara ketukan pintu terdengar. Flavia yang sedang menikmati tidurnya segera berangsur bangun ketika mendengar suara itu. Dilihatnya waktu me
Entah kenapa Bian senang ketika tanpa diminta Flavia memeluknya. Itu menandakan jika Flavia mulai nyaman dengannya. Benar kat Bian, naik motor memang secepat itu. Tentu saja itu membuatnya senang. Apalagi tadi ketika Bian menyelip antara mobil-mobil. Begitu seru dan menegangkan. Kebetulan motor Bian terparkir di depan kantor tepat. Karena memang disiapkan khusus untuk anak pemilik perusahaan. Jadi wajar saja. Flavia yang turun dari motor segera membuka helm-nya. Ketika rambutnya tergerai, dia mencium aroma rambut itu. Sayangnya, dia tidak mencium aroma rambutnya apa-apa. “Coba cium, ada bau asap tidak.” Flavia menyodorkan kepalanya untuk dicium oleh Bian. Bian tersenyum. Dia melakukan apa yang diminta istrinya itu. Namun, bukannya mendapatkan bau asap, dia mencium aroma shampoo Flavia yang begitu wangi sekali. “Wangi shampoo.” Bian menjelaskan aroma apa yang diciumnya. “Benar? Coba cium lagi. Siapa tahu terselip aroma asap?” Flavia masih belum percaya. Hingga membuat suaminya