Pagi ini Flavia berniat untuk berolahraga. Dari kemarin, dia belum datang bulan. Berharap jika setelah olahraga kali ini dia akan segera datang bulan. Namun, karena Flavia juga takut jika sampai ada kehamilan, dia memilih untuk berenang saja. Olahraga yang menurutnya aman jika terjadi kehamilan. Saat keluar, dia melihat Bian yang juga sedang memakai sepatu olahraga. Tentu saja, dia menebak jika pasti Bian ingin olahraga juga. “Kamu mau olahraga?” tanya Flavia memastikan pada Bian. “Iya, kamu sendiri mau ke mana?” Bian melihat Flavia membawa tas di tangannya. “Mau berenang.” Flavia menunjukan tasnya. Walaupun Bian hanya melihat tas dari luar saja, tetapi dia tahu jika tas itu berisi alat untuk berenang. “Tunggu kalau begitu.” Bian melepas sepatunya. Dia ingin ikut Flavia berenang juga. “Tunggu apa?” Flavia bingung dengan Bian yang tiba-tiba membuka sepatunya. “Aku mau ikut berenang.” Bian tidak mau sang istri lepas dari pengawasannya. Dia segera berlari ke kamarnya. “Tunggu aku
Flavia memilih untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu, sedangkan Bian sudah langsung meluncur ke dalam air. Flavia melihat sang suami yang berenang. Tentu saja itu membuatnya ingin segera merasakan air dingin yang mengenai kulitnya. Pasti akan segar sekali. Setelah melakukan pemanasan, Flavia langsung meluncur ke dalam kolam renang. Rasa segar begitu terasa ketika Flavia berenang. Dia berenang sampai ke ujung di mana pemandangan kota terlihat dari ketinggian. Flavia muncul dari dalam air. Dia mengambil udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya yang kosong akibat menahan napas di dalam air. “Aku suka berenang di sini karena bisa sambil melihat pemandangan.” Flavia tersenyum ketika melihat pemandangan kota dari atas. “Perasaan sama saja jika dilihat dari balkon apartemen.” Bian merasa memang tidak ada bedanya. Flavia merasa Bian kembali menyebalkan. Padahal semalam begitu romantis sekali. Flavia merasa jika ternyata dia memang dirinya tidak boleh langsung percaya. “
“Tentu saja tidak. Ini pertama kali aku membelinya.” Bian menatap Flavia. “Kenapa kamu berpikir aku sudah biasa?” tanyanya ingin tahu. “Kamu tampak tenang ketika membeli alat tes kehamilan.” Flavia merasa Bian tidak setakut dirinya. “Aku dan kamu sudah menikah. Bukan berpacaran yang takut untuk membeli alat tes kehamilan. Jika pun anak itu ada, dia ada di dalam pernikahan. Lalu kenapa harus takut?” Bian justru bingung dengan apa yang dipikirkan oleh Flavia. Flavia terdiam. Dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Bian. Memang benar adanya jika dirinyalah yang terlalu berlebihan takut. Padahal mereka sudah menikah, jadi sah-sah saja jika membeli alat tes kehamilan. Bian melajukan mobilnya kembali ke apartemen. Dia tidak mempermasalahkan apa yang dikatakan oleh Flavia. Dia tahu jika sang istri sedang takut. Jadi dia memaklumi. ***Suara ketukan pintu terdengar. Flavia yang sedang menikmati tidurnya segera berangsur bangun ketika mendengar suara itu. Dilihatnya waktu me
Entah kenapa Bian senang ketika tanpa diminta Flavia memeluknya. Itu menandakan jika Flavia mulai nyaman dengannya. Benar kat Bian, naik motor memang secepat itu. Tentu saja itu membuatnya senang. Apalagi tadi ketika Bian menyelip antara mobil-mobil. Begitu seru dan menegangkan. Kebetulan motor Bian terparkir di depan kantor tepat. Karena memang disiapkan khusus untuk anak pemilik perusahaan. Jadi wajar saja. Flavia yang turun dari motor segera membuka helm-nya. Ketika rambutnya tergerai, dia mencium aroma rambut itu. Sayangnya, dia tidak mencium aroma rambutnya apa-apa. “Coba cium, ada bau asap tidak.” Flavia menyodorkan kepalanya untuk dicium oleh Bian. Bian tersenyum. Dia melakukan apa yang diminta istrinya itu. Namun, bukannya mendapatkan bau asap, dia mencium aroma shampoo Flavia yang begitu wangi sekali. “Wangi shampoo.” Bian menjelaskan aroma apa yang diciumnya. “Benar? Coba cium lagi. Siapa tahu terselip aroma asap?” Flavia masih belum percaya. Hingga membuat suaminya
Flavia terdiam. Dia bingung harus menjawab apa. Dia sendiri juga belum tahu perasaannya. Bagaimana bisa menjawab. “Aku belum bisa memikirkan itu semua. Aku memang mulai nyaman denganmu, tapi ….” Masih ada keraguan di dalam hatinya. Bian melihat jelas keraguan dari mata Flavia. “Aku masih punya waktu bukan untuk meyakinkanmu.” Bian menarik tangan Flavia dan menggenggamnya. “Jadi bisakah kamu memberikan waktu untukku?” Dia menatap penuh harap pada Flavia. Berharap Flavia tidak akan mengakhiri pernikahan mereka. “Aku rasa kamu masih punya kesempatan. Buatlah aku yakin jika aku bisa menerimamu. Memaafkan apa yang sudah kamu lakukan.” Flavia membuka pintu hatinya. Mengizinkan Bian untuk masuk. Kenyamanan yang diberikan Bian memang membuatnya terbuai. Jadi dia tidak bisa memungkiri hal itu. Walaupun belum sepenuhnya hatinya terbuka untuk Bian, tetapi dia pun mencoba memberikan ruang Bian untuk meyakinkannya. “Baiklah, aku akan mencoba.” Bian tersenyum. Ketika Flavia membuka hatinya, dia
Di dapur, Flavia langsung membantu mama tirinya itu. Menyiapkan makanan untuk makan siang bersama. Kebetulan Mama Agnes sudah memasak. Jadi Flavia tinggal memindahkan ke meja makan. “Sepertinya kamu sekarang bisa memikat Bian dan mengukuhkan dirimu jadi keluarga Adion.” Mama Agnes menyindir Flavia. “Bukankah bagus jika aku menjadi anggota keluarga Adion? Aku tidak perlu mengganggu Anda yang ingin menguasai uang papa.” Flavia balik menyindir. Mama Agnes kesal. Walaupun itu yang diharapkan tentu saja, dia tetap tidak suka diucapkan secara gamblang.“Bukankah kalian membuat surat perjanjian? Aku belum melihatmu yang hamil. Artinya kamu akan bercerai.” Mama Agnes tersenyum meledek. “Ingatlah, jika kamu bercerai. Jangan pernah sampai kamu ke sini meminta bantuan.” Flavia mengeram kesal. Entah orang tua seperti apa mama tirinya itu. Dia tidak mengerti. Seolah tidak mau melihat anak tirinya bahagia, dan juga tidak mau membantu anak tirinya. “Tenanglah, aku tidak akan pernah ke sini un
“Kamu merindukan mereka?” tanya Bian. “Iya.” Flavia mengangguk.“Nanti kita kunjungi mereka.” Bian membelai lembut rambut Flavia. Flavia segera melepaskan pelukan. “Maksudnya?” tanyanya bingung. “Kita bisa ke makam, lalu kita bisa ke Jerman untuk mengunjungi mama dan adikmu.” Bian tentu saja akan membuat istrinya bahagia. Jadi tentu saja dia akan melakukan hal itu. Flavia terharu sekali. Tidak menyangka jika Bian akan melakukan hal itu. “Sejak kita menikah, kita tidak pernah pergi ke makam orang tuamu. Jadi wajar jika kita harus ke sana.” Bian menghapus air mata Flavia. “Jangan menangis lagi.” Bian mencoba menenangkan Flavia. Flavia mengangguk. Dia berhenti menangis. Kemudian beralih merapikan foto tersebut. Dia berniat membawa foto tersebut pulang. Tak mau sampai foto itu hilang. Bian melihat kamar milik Flavia. Kamar masih tampak rapi sekali meskipun sudah lama ditinggal penghuninya. Sayangnya, memang tidak ada barang. Bian merebahkan tubuhnya di tempat tidur Flavia. Dia ing
“Itu foto aku, mama, dan Ethan. Aku ingin memasangnya di apartemen, Pa.” Flavia memamerkan senyum tipisnya agar papanya tidak curiga sama sekali. Mama Agnes yang mendengar ikut tersenyum tipis. Dia tahu Flavia pasti sangat berhati-hati menjawab. Jadi dia tidak pernah takut. “Oh … baiklah, bawalah foto itu. Agar kamu tidak merindukan mereka.” Papa Harry tersenyum. Flavia mengangguk. Walaupun sebenarnya alasannya membawa itu bukan hanya sekadar rindu. Namun, untuk menyelamatkan foto itu juga. Bian dan Flavia segera berpamitan. Mereka segera kembali ke apartemen mereka. Hari ini, Flavia cukup puas bertemu dengan papanya. Walaupun hanya sebentar saja. Flavia dan Bian yang sampai di apartemen segera membawa kotak kardus itu ke unit apartemen mereka. Namun, alih-alih membawanya ke apartemen Bian, Flavia membawa ke apartemennya. “Kenapa di bawa ke apartemenmu?” Bian meletakkan kardus di atas meja sesuai dengan permintaan Flavia. “Barang-barangku masih di sini. Jadi tidak masalah aku t