Flavia membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut dengan yang dilakukan oleh Bian. Bian menggigit lembut bibir Flavia agar terbuka, kemudian memasukkan coklat yang masih berada di dalam mulutnya yang masih tersisa. Dengan segera Bian melepaskan tautan bibirnya tersebut setelah memberikan coklatnya. “Coklatnya sudah aku berikan. Jangan menarikku lagi.” Bian tersenyum. Dia berangsur bangun dari tubuh Flavia. Tidak aman untuk adik kecilnya jika berada dalam posisi intimnya.Flavia hanya terpaku. Dia menyesap coklat yang berada di mulutnya. Walaupun Bian tidak benar-benar menciumnya, tetapi bibir mereka sempat menempel.“Kenapa ini?” Flavia memegangi dada sebelah kiri. Di mana jantungnya berada. Dia merasa debaran jantungnya tak beraturan. Flavia tidak berani menyimpulkan apa-apa. Karena dia merasa takut dengan kesimpulannya itu. ***Pagi ini Flavia memilih berangkat lebih dulu ke kantor. Meninggalkan pesan pada Bian untuk menikmati sarapannya. Dia berusaha untuk mengh
Flavia sampai di rumah. Saat membuka pintu, aroma masakan tercium. Tentu saja itu membuat Flavia bingung. Siapa gerangan yang memasak. Dengan langkah cepat Flavia masuk. Dilihatnya sang suami yang sedang asyik memasak. Dari belakang punggung Bian tampak lebar sekali. Membuat Flavia yang melihat ingin rasanya memeluk dari belakang. Menyandarkan kepalanya di punggung itu. Astaga, kenapa aku berpikir seperti itu. Flavia menyingkirkan pikirannya yang berlebihan itu pada Bian. Dia merasa jika pikirannya sudah terlalu liar. “Kamu sudah pulang?” Ketika berbalik, Bian melihat Flavia. Tentu saja itu membuatnya senang. Siapa yang tidak senang melihat wanita yang baru saja membuatnya bahagia datang. Sejak mendapati jawaban Flavia tadi, Bian begitu bahagia sekali. Dia seolah mendapatkan pintu hati Flavia yang terbuka sedikit. “Iya.” Flavia mengangguk sambil mengayunkan langkahnya. “Kamu masak?” tanya Flavia yang mendekat ke arah Bian.“Baru mau masak.” Bian memang baru saja datang. Jadi dia
Pagi ini Flavia dan Bian menuju ke proyek pembangunan hotel Davis. Jika biasanya Flavia pergi dengan Daddy Bryan, kali ini dia pergi dengan Bian. Sebenarnya, Daddy Bryan menyarankan Bian untuk membawa supir saja. Sayangnya, Bian tidak mau. Dia merasa lebih baik berdua saja. Apalagi keadaan jauh lebih baik. Flavia semalaman tidak bisa tidur. Dia memikirkan jika kali ini dia harus lebih berhati-hati. Tak boleh tergoda atau justru menikmati apa yang dilakukan oleh Bian. Tidak mau hal kemarin terulang kembali. Sayangnya, karena semalam dia sulit tidur. Kini dia merasa mengantuk. Di dalam perjalanan Flavia terus menguap. Dia mengantuk sekali. Apalagi, mereka berangkat pagi-pagi sekali seperti sekarang ini. “Jika kamu mengantuk tidurlah.” Bian menoleh sejenak pada Flavia yang tampak begitu mengantuk sekali. “Tidak.” Flavia menggeleng. Dia tidak mau tidur. Apalagi Bian menyetir sendiri, tidak ada teman yang menemani. Bian pun tidak memaksakan jika Flavia memang tidak mau tidur. Lagi pul
Flavia memutuskan untuk berdandan di dalam mobil. Dengan segera dia mengikat rambutnya untuk lebih leluasa ketika merias wajahnya. Flavia menggunakan kaca di atas dashboard karena ukurannya lebih besar dari pada kaca di bedaknya. Bian menurunkan kursinya, setengah merebah, sambil memerhatikan Flavia yang sedang asyik mengikat rambutnya. Sejak kemarin, Bian terus disuguhi dengan leher jenjang milik Flavia. Rasanya, Bian seolah diuji dengan melihat leher jenjang nan putih itu. Sabar, Bi.Bian menguatkan hatinya ketika melihat leher jenjang Flavia tersebut. Karena tak tahan melihat hal itu, Bian memutuskan untuk mengalihkan pandangan lain. Berusaha melihat ke arah lain, tetap saja Bian tidak bisa. Seolah seperti magnet yang terus ingin menariknya, Bian akhirnya kembali ke arah Flavia. Melihat istrinya itu berdandan.Bian melihat jelas wajah Flavia sebelum memakai riasan. Wajah Flavia cantik alami. Riasan yang dipakai membuat wajah istrinya itu semakin cantik. Flavia memoles bibirnya y
Flavia dan Bian menuju ke proyek bersama dengan Aletha dan Axel. Mereka melihat sejauh apa proses pembangunan yang dilakukan oleh Adion. Sudah berjalan dua bulan proses cukup signifikan. Sudah berdiri setengah jalan. Padahal proyek diperkirakan akan selesai selama enam bulan. “Sepertinya akan selesai lebih awal.” Aletha melihat jelas proses yang begitu cepat sekali. “Kemungkinan begitu.” Bian mengangguk. Karena memang pekerja dibuat beberapa sift. Setiap hari non stop pekerjaan selalu ada. Jadi proses memang terbilang cepat. Mereka mengecek setiap bagian proyek. Ditemani pimpinan proyek, mereka mendapatkan penjelasan seberapa jauh pembangunan. Cukup lama Aletha, Axel, Bian, dan Flavia mengecek proyek. Aletha merasa tidak ada masalah dalam pembangunan. Jadi tentu saja itu membuatnya tenang. Mereka melanjutkan dengan makan siang bersama. Saat makan siang, mereka membahas beberapa hal terkait proyek.Aletha, Axel, Bian, dan Flavia kembali ke hotel tepat jam empat sore. Bian memesan ka
“Aku tidak akan pernah macam-macam.” Flavia menatap Bian kesal. Tentu saja dia tidak akan melakukan hal gila itu. “Kita lihat saja.” Bian tersenyum. Flavia malas bicara dengan Bian lagi. Dia memilih untuk segera mengambil bajunya. Tubuhnya sudah sangat lelah jadi ingin segera disegarkan. Bian yang menunggu Flavia pun memilih memainkan ponselnya sambil duduk di kursi yang berada di dalam kamar. Dia mengirim pesan pada mommy-nya. Memberikan kabar jika dia sudah di hotel. Beberapa menit berlalu, Flavia keluar dari pakaian lengkapnya. Bian pikir Flavia akan keluar dengan handuk saja. Namun, ternyata tak seindah bayangannya. Bergantian dengan Flavia, Bian memilih untuk segera masuk ke kamar mandi. Dia juga ingin menyegarkan tubuhnya. Flavia melihat kalender di ponselnya. Dia melihat jika minggu ini adalah jadwal datang bulannya. Namun, dia tidak merasakan tanda-tanda apa pun. “Apa jangan-jangan aku hamil?” Flavia memikirkan akan hal itu, tentu saja itu membuatnya merasa bingung. Dia
Flavia merasa pegal karena tidur dalam posisi miring ke satu sisi. Karena itu, dia mengubah sisi lainnya. Berbalik ke sisi lain agar tidak pegal. Saat Flavia berbalik, Bian masih terus memeluk Flavia. Dia justru semakin mengeratkan pelukannya. Kali ini pelukan diberikan Bian dari belakang. Memastikan jika sang istri tidak kedinginan. Merasakan tangan kokoh yang memeluknya, Flavia merasa terkejut. Untuk memastikan itu, dia membuka matanya perlahan-lahan. Alangkah terkejutnya Flavia melihat tangan Bian yang melingkar di perutnya. Kenapa dia memelukku? Bukankah aku sudah bilang untuk tidak macam-macam.Flavia merasa jika Bian sudah melewati batasannya. Suaminya itu memeluknya dengan sesuka hatinya. Namun, sejenak Flavia menyadari satu hal. Aku yang bergeser mendekat ke arahnya.Flavia menyadari jika tubuhnya sudah jauh dari posisi awal dia tidur. Artinya Flavia sendiri yang mendekat ke arah Bian. Kenapa aku tidak merasakannya?Flavia merasa jika ini adalah kesalahannya. Tentu saja j
Bian memandang Flavia. Walaupun bangun tidur, wajah istrinya tampak cantik sekali. Bian secara impulsif menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Flavia. Tangannya yang berada di wajah Flavia, membelai lembut wajah wanita yang sudah menjadi istrinya selama sebulan itu. “Sejak aku bertemu denganmu di kantor. Aku merasa kamu cantik sekali. Aku sampai berpikir jika pantas daddy menyukaimu.” Bian mengingat bagaimana pertama kali melihat Flava setelah sekian lama tidak bertemu. Pipi Flavia menghangat. Jelas sekarang pipinya itu sudah menyemburkan rona mereka. Wanita mana yang tidak suka dipuji. Tentu saja semua wanita suka dipuji. Termasuk dengan Flavia. Dia sampai lupa jika sekarang berada di dalam pelukan Bian. Bian yang membelai lembut wajah Flavia, perlahan mengangsur wajahnya. Dia mendaratkan bibirnya tepat di bibir Flavia yang sedari tadi menggodanya. Perlahan Bian menyesap bibir tipis dan manis milik Flavia. Geraka yang lembut membuat Flavia memejamkan matanya. Dia menikmati sensa