"T-tapi kak-" "Sekarang!" potong Nora. Reyna terkesiap. 'Nora bangsat!' maki Reyna dalam hati. "Em-baiklah," "Begitu harusnya. Siapkan ponselmu, tunggu aku sebentar," perintah Nora. Reyna menganggukkan kepala mengiyakan. Lalu wanita itu bangun dan duduk di atas sofa. Ia mengambil ponsel miliknya dalam saku celana dan mengutak-atiknya sebentar. Lalu wanita hamil tersebut meletakkan ponselnya dengan di sandarkan pada sebuah toples berisi permen yang memang disediakan untuk tamu. Nora melirik Adenna dan Radhika. Mereka berdua yang memahami arti lirikan sang menantu pun ikut meninggalkan ruang tamu bersama Nora. "Mommy dan Daddy sarapan saja terlebih dahulu. Aku akan mengurus tikus pengganggu itu," kata Nora dengan senyuman. Adenna balas tersenyum. "Baiklah," Setelahnya, sepasang suami istri itu berlalu menuju ruang makan. Sedangkan Nora berjalan menuju kamarnya kembali. Sesampainya di sana, matanya menangkap sosok suaminya yang masih berbaring di atas ranjang d
"Ahh, sakit ..." Reyna rasanya sudah tak memiliki tenaga. Apalagi ia merasakan ada sesuatu yang keluar dari bawahnya. Saat ia melihat, telah benyak sekali noda darah yang merembes dari celana yang ia kenakan. "Tunggu ya Nona, sebentar lagi kita sampai," kata si supir. Tak lama kemudian, mereka telah sampai di unit gawat darurat. Si supir segera turun dan memanggil petugas kesehatan. Mereka muncul seraya membawa brankar. Salah satu petugas laki-laki membuka pintu taksi dan mengangkat Reyna di bantu rekannya untuk di letakkan di atas brankar. "Cepat!" seru salah satu dari mereka. Pria paruh baya itu meremas rambutnya merasa frustasi. "Ada apa denganku hari ini? Kenapa sial sekali?" Ia mengecek kursi tempat Reyna duduk tadi, apakah penumpangnya ini membawa barang atau tidak. Ternyata ada sebuah tas di sana. Supir itu mengambilnya. Matanya mengedar mengamati kursi. "Syukurlah, tidak ada darah yang tertinggal," katanya. Ia membuka tas tersebut dan mengambil ponsel mil
Gian menunggu dengan sedikit cemas. "Dengan berat hati saya mengatakan," Dokter itu menjeda. "Pasien mengalami keguguran." Hati Gian terasa mencelos mendengarnya. Meskipun ia sebenarnya sedikit tidak menginginkan janin dalam rahim Reyna, bagaimanapun itu adalah darah dagingnya sendiri. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi memang saat istri anda sampai sudah mengalami pendarahan yang parah. Janin tidak bisa di selamatkan." jelas Dokter tersebut. Gian merasakan lututnya lemas seketika. Pandangannya masih menatap sang Dokter dengan tidak percaya. "Bagaimana dengan istri saya?" "Istri anda kehilangan banyak darah, saat ini tengah menjalani perawatan dan masih tak sadarkan diri," Pria itu menganggukkan kepalanya. "Baiklah, terima kasih," "Setelah ini, kami akan pindahkan istri anda ke dalam ruang rawat inap," Dokter itu berlalu masuk ke dalam ruangan dan tak lama kemudian, ia kembali terlihat dengan para perawat lainnya. Mereka mendorong brankar yang di
"Dan Gian menelepon ku tadi," Kenzo langsung bangun, la duduk dengan tegak dan matanya memicing menatap Nora. "Untuk apa?" tanyanya dingin. Nora memutar bola matanya malas. "Tentu saja untuk memberitahukan kabar baik! Calon anaknya telah mati!" Nora kembali tertawa cekikikan dengan bahagia. "Bukankah itu kabar yang baik?" tanyanya pada Kenzo. Pria itu menarik Nora dan membaringkannya di atas ranjang, lalu mengunci kedua tangan gadis itu di atas kepalanya. "Ken? Kau kenapa?" Nora merasa heran karena wajah Kenzo sudah tidak enak di pandang. "Mengapa menjadi sebuah kabar baik?" Nora berdecak kesal. "Tentu saja! Karena janin tak berdosa itu tidak akan lahir menjadi anak haram." jawab Nora enteng. Kenzo mendekatkan wajahnya pada wajah Nora. Tatapannya menelisik wajah cantik istrinya ini. "Bukan karena dia akan terbebas dan bisa bersama mu lagi?" "Sepertinya dia sangat ingin memiliki dirimu lagi," "Apakah kau berniat bersamanya kembali?" Seketika Nora m
Ucapan Nora terputus tak kala ponselnya berdering. Mereka saling menatap dengan wajah sinis. Lalu Nora melepaskan bantalnya dan mengambil ponsel miliknya yang berada di atas nakas. "Siapa sih!? Mengganggu saja!" kesalnya. Matanya menyipit saat melihat nama adiknya berada di layar panggilan. Dengan wajah kesalnya, ia mengangkat panggilan dari Reyna. "Hallo!" sapanya tak santai. "Kakak ..." terdengar suara lirih dari seberang sana. "Kenapa?" tanya Nora langsung. Lalu terdengar suara isak tangis dari adiknya. "Kak, Reyna, Reyna keguguran ...." terdengar suara tangisan yang menurut Nora terdengar sangat menjengkelkan. "Kenapa?" "Reyna tak tahu, saat pulang, Reyna mengalami pendarahan, lalu tiba-tiba saja sudah berada di rumah sakit dan janin dalam perut Reyna telah hilang," Nora memutar bola matanya malas. Hal itu tak luput dari penglihatan Kenzo yang sudah menetralkan hasratnya. Pria itu sudah kembali normal. "Takdir." balas Nora malas. "Tetapi kak, janin itu
Terdengar suara berat dari dalam telepon Reyna saat panggilan telah tersambung. "Siapa itu?" tanya Gian. Reyna gugup setengah mati. Tut! Dengan sangat terpaksa, Reyna mematikan sambungan teleponnya. Padahal ia sudah menantikan hal ini. Wanita itu tersenyum manis menatap Gian. "Hanya nomor tidak di di kenal," untung saja, Gian langsung mempercayai ucapan Reyna. 'Sialan! Sedikit lagi!' ucap Reyna di dalam hati. Di lain tempat, Kenzo yang tengah berada di depan cermin menatap ponselnya dengan tatapan bingung. "Mengganggu saja," ujarnya saat mendapati sebuah panggilan dari nomor tak di kenal. Dirinya tengah merapihkan rambut. Klek! Nora datang memasuki kamar dengan wajah yang terlihat sangat cantik. gadis itu melirik Kenzo yang masih mengutak-atik rambutnya. "Mau kemana?" tanyanya. Lalu ia menghampiri sang suami. "Markas," jawab Kenzo. Dirinya masih fokus menatap pantulan wajahnya di dalam cermin. "Untuk apa?" "Sudah cukup lama aku tak kesana, mungkin
"Ken awas!" teriaknya. Ciiiiitttttt!! Kenzo menginjak pedal rem dengan cepat. Mereka berdua menghela nafas lega saat tidak menabrak kucing tersebut dan melihat hewan itu berlari menjauhi mobil. "Huhh, untung saja," ucap Nora lega. Masih dengan jantung berdetak kencang, Kenzo mulai melajukan mobilnya kembali dengan kecepatan sedang. "Ken!" "Hm," Nora menatap sang suami dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan wajahmu?" Kenzo menoleh sekilas dengan alis menyatu. "Apa?" Nora melepaskan sabuk pengaman yang menjerat tubuhnya lalu mendekat pada sang suami. "Apa yang kau lakukan?" tanya Kenzo saat Nora dengan susah payah masuk ke dalam pangkuannya. Gadis itu duduk tepat di paha Kenzo dengan wajah tak bersalah. "Aku tak tahu," jawab Nora. Tangannya bergerak meraih rambut Kenzo dan memainkannya. Namun tidak sampai menghalangi pandangan Kenzo terhadap jalanan di depannya. Kenzo hanya mendengus mendengar jawaban dari Nora. Tubuhnya sedikit menegang saat merasa tan
Kenzo menerimanya dan kembali mendekatkan dirinya pada para pengkhianat itu. "Ingin main kasar? Atau halus?" tanya Kenzo yang di sambut dengan tatapan ketakutan oleh mereka semua. "Tuan, mereka bahkan mencoba mencuri data-data milik kita dan beberapa senjata yang kita gunakan untuk di berikan kepada para musuh yang membayar mereka," ujar Zi. Kenzo tersenyum miring. "Bagus," ucapnya dingin. Suara ketukan kaki Kenzo menjadi pengiring langkahnya menuju para pengkhianat tersebut. "Ampun, tuan, maafkan kami," ucapan mereka dengan nada memohon di sertai isak tangis. Padahal, menyerah pun sudah tidak berguna. Nyawa mereka semua kini berada di tangan Kenzo yang telah berdiri tepat di hadapan mereka semuanya. "Kenapa kalian melakukannya?" tanya Kenzo dengan mata yang menatap mereka satu persatu. Tak ada yang menjawabnya, karena, mereka memang melakukan pengkhianatan karena keinginan mereka, juga karena iming-iming yang para musuh tawarkan, membuat mereka semua tergiur.