Share

Bab 7 Riverbank Bonding

Pagi mulai menyinsing karena semua kesibukan orang di gubuk itu baru berakhir pada saat subuh sudah menjelang maka mereka masih terlelap.Tetapi tidak dengan seorang gadis kecil yang sudah bangun lebih awal untuk mempersiapkan segalanya untuk pertama kalinya tanpa membuat ibunya murka terlebih dahulu.

Hari itu cukup tenang dan damai Nisha mulai membereskan dapur dan memungut beberapa pakaian kotor di ruangan itu.Satu persatu alat-alat makan yang hanya tersedia seadanya dia singkirkan dan disatukan didalam sebuah wadah yang cukup besar untuk dibawa ke anak sungai yang airnya sudah sedikit keruh.Hal ini dikarenakan hujan deras yang terjadi semalam.

Karena tubuh mungilnya tidak mampu membawanya sekaligus dia mendahulukan cucian kotornya terlebih dahulu.Dengan berhati hati gaadis itu menapaki jalan bebatuan yang sudah  berlumut hal yang menjadi alasannya  tidak mau memakai alas kaki saat menuju sungai.Karena alih-alih meringankan masalah dia hanya akan membuatnya lebih buruk lagi jika dia sampai terjatuh.

Orang tuanya sudah kewalahan mengurus Nisham dan Nisha tidak mau membuat mereka repot lebih daripada itu.Satu persatu pakaian yang ada di wadah tersebut dia keluarkan dan di bersihkannya di atas batu.

Suara aliran sungai dan bunyi gemerincing gelangnya menjadi sebuah lantunan melodi yang indah disana.Setidaknya dia tidak merasa sunyi dengan hal itu.Bagaimanapun takutnya toh dia harus membiasakan diri juga.

Namun semakin lama hal-hal janggalpun mulai terasa begitu nyata baginya suara kayu yang runtuh seperti suara langkah kaki yang suaranya semakin mendekat semakin terasa baginya.

“Ada orang disana?” teriaknya mencoba memastikan kemudian matanya menjelajah ke sekitaran namun tak ada satupun orang yang didapatinya kecuali hanya derak batang-batang bambu yang di terpa angin.

Angin mulai menyapu tubuhnya dengan lembut membuat tubuhnya semakin merinding.’Apa jangan-jangan yang dikatakan orang-orang itu benar kalau…’

“Sedang apa disini?” kehadiran Hasan yang tiba-tiba tepat saat Nisha memutar kepalanya sontak langsung membuatnya terkejut.Karena batu yang di tapaki gadis itu benar benar licin membuatnya langsung terpeleset dan tercebur ke bawah.

“Tolong…Paman…Paman” teriaknya sambil menarik-narik nafas di udara mencoba membuat dirinya bertahan agar tetap mengapung.Namun bukannya menolong tawa Hasan semakin menjadi karena tingkah Nisha bocah itu tidak sadar jika dalamnya sungai itu hanya sampai dadanya saja.

Namun gadis itu masih tidak menyadarinya.Melihat hal itu Hasan menjentikkan jarinya di depan wajah Nisha yang rambutnya sudah basah kuyup.

Jentikan itu sukses membuat Nisha tersadar “Kau tidak tenggelam lihat? Airnya bahkan tidak sampai lehermu” menyadari hal itu wajah Nisha memerah antara maarah bercampur dengan rasa malu.

“Paman menyebalkan” bentaknya kemudian menampar air yang didepannya sehingga menimbulkan percikan yang besar yang memang sengaja di buat seperti itu sebagai bentuk dendamnya pada Hasan.

Berkali-kali gadis itu melakukan hal yang sama sampai rasa kesalnya menjadi hilang karena jengkel melihat Hasan yang tak juga menghentikan tawanya.”Hei apakah kau tidak ingin naik?” Hasan melihat sekeliling kemudian menaruh tangannya di sisi mulutnya seakan berbisik dari kejauhan “Aku dengar dari rumor orang disini katanya…” belum saja Hasan meneyelesaikan kata-katanya Nisha dengan terburu-buru naik ke tepian sungai dengan susah payah dia bertumpu pada bebatuan yang ada disana.

Namun harus Hasan akui anak itu benar-benar kuat sampai bisa berhasil naik sendiri.Tetapi sesuatu kemudian mengalihkan pandangannya pergelangan kakinya berdarah.

“Nisha kau berdarah” buru-buru Hasan langsung menghampirinya dan melihat luka anak itu.Hasan meringis melihat hal itu kemudian dia merobek bajunya sendiri dan membalutkan lukanya.

“Bagaimana paman bisa tahu? Aku saja sedari tidak merasakan apa-apa” sambil sibuk membalut luka anak itu Hasan meliriknya sekilas kemudian kembali fokus pada luka Nisha.

“Itu karena rasa sakitnya tertutupi oleh kekesalanmu padaku sedari tadi” ujar Hasan kemudian menyempurnakan balutannya yaang membuat Nisha meringis.

“Apa terlalu ketat? Katakan saja” Nisha menatapnya dan hanya menggeleng.

“Aku rasa sekarang lebih baik” kembali’ anak itu bangkit menuju cuciannya yang masih belum selesai.

“Biar aku yang melakukannya” tepis Hasan.

“Memangnya paman pernah melakukan hal-hal seperti ini sebelumnya,pakaian paman saja masih sama seperti terakhir kali aku menolong paman saat pingsan di pasar” kembali bergantian Nisha yang terbahak.

Mendengar perkataan jujur anak itu Hasan menjadi malu sendiri dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil sedikit tersenyum canggung.

“Hei kau tahukan tujuan baju itu di cuci untuk dipakai lagi aku sudah menggganti pakaianku tahu hanya kebetulan saja kau melihat aku menggunakan pakaian yang masih sama seperti yang kau katakan tadi” sanggah Hasan.

“Benarkah?”

“Yah tentu sekarang menyingkirlah biar aku yang melakukannya” ujaar Hasan sambil melewati Nisha.

Melihat Hasan dengan cekatan mencuci pakaian kotor tersebut, Nisha tak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Bagaimana paman tahu cara melakukan pekerjaan wanita seperti ini?" tanyanya dengan polos.

Hasan menghentikan sejenak tangan yang sedang sibuk memijat kain. Tatapannya lembut menyisir wajah Nisha, seolah-olah mencari sesuatu di dalam matanya. "Aku kan hidup sendiri, Nisha. Di dunia ini, terkadang tak ada perbedaan antara pekerjaan pria dan wanita. Kita hanya harus melakukan apa yang harus dilakukan," jawabnya dengan suara yang merangkak lembut.

Nisha mengangguk mengerti, namun tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Bagaimana seorang pria bisa memiliki pengetahuan sebanyak ini tentang hal-hal yang seharusnya hanya menjadi urusan wanita? Tapi, Nisha memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Hasan adalah orang baik, dan itulah yang lebih penting.

"Begitu ya… aku harap suamiku suatu saat nanti adalah orang yang seperti paman," ujar Nisha, mengungkapkan pikirannya yang tiba-tiba muncul. Matanya memandang ke arah air yang mengalir tenang.

Hasan tersenyum dan memberikan Nisha pujian tulus, "Terima kasih, Nisha. Tapi pastikan suamimu tak sering lupa mengganti bajunya seperti aku!" Mereka berdua kemudian tertawa.

Hasan, yang sebelumnya tengah sibuk mencuci pakaian, memutuskan untuk memecah keheningan itu. "Nisha, kau tahu, saat aku seumurmu, aku belum sekuat dan sesanggup dirimu. Kau benar-benar hebat," puji Hasan, memandang Nisha sambil tersenyum.

Nisha, yang tak terbiasa dengan pujian, hanya tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Paman Hasan. Aku hanya belajar dari orangtua dan dari keadaan." Jawabnya walaupun di selingi nada lelah.

Hasan melihat Nisha dengan tatapan penuh kebanggaan. "Kamu punya hati yang baik, Nisha. Dan hati yang baik itu akan membawamu jauh." Ucapnya sambil tersenyum kemudian kembali’ sibuk lagi dengan kegiatan mencuci pakaiannya.

Nisha mengangguk, merasa beruntung dan bersyukur bisa memiliki sosok seperti Hasan sebagai panutannya. Di saat-saat seperti ini, dia benar-benar yakin bahwa kehadiran Hasan adalah anugerah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status