21++ Tapi Aluna tiba-tiba terpekik saat tiba-tiba tubuhnya diangkat. Belum sempat protes. Bibir Aluna lebih dulu disumpal oleh ciuman Ethan. Ethan membawanya ke kamar mandi. Di sanalah Ethan mengguyur tubuh mereka menggunakan air dingin. “Ini dingin Ethan!” “Maka kita yang harus panas.” Ethan menarik tengkuk Aluna dan kembali mencium bibir Aluna. Ethan menarik dirinya. Jemarinya mengusap bibir bawah Aluna. “Milikku menginginkanmu.” Memasukkan jemarinya ke dalam bibir Aluna. Aluna menuruti keinginan Ethan. Ia menghisap jemari pria itu yang berada di dalam mulutnya. “Lakukan tugasmu sayang.” Menatap Aluna. Keduanya memang dilanda hasrat yang panas. Aluna berlutut. Berhadapan langsung dengan milik Ethan. Pertama ia memegangnya. Saat memegangnya, Aluna mendongak. Menatap wajah Ethan yang menikmati sentuhannya. “Bagus Aluna…” geram Ethan. “Lakukan dengan bibirmu!” titahnya seakan mutlak. Aluna menuritinya. Aluna menjilat milik Ethan seperti sebuah permen. S
“Asistenmu meneleponku,” ucap seorang pria yang memeriksa Ethan. Dokter pribadi keluarga Ethan. Satu-satunya dokter yang dipercaya keluarga Ethan. Umurnya masih begitu muda, bahkan hanya berjarak beberapa tahun saja dengan Ethan. “Dia berlebihan.” Ethan pasrah saat dokter itu memeriksanya. “Dia kawatir bosnya cepat meninggal.” Ethan berdecak. “Kau dokter apa yang mendoakan pasiennya meninggal?” tanyanya. Eric tertawa pelan. “Kau hanya panas ringan. Kau juga sudah meminum obat dengan benar. Tumben sekali kau mau minum obat tanpa paksaanku.” “Dan juga, luka ditanganmu diobati dengan baik. Apa kau pergi ke rumah sakit atau ada orang lain yang mengobatimu?” “Ada yang mengurusku,” balas Ethan dengan senyum yang mencurigakan. “Siapa? Pelayanmu…” Eric mencoba berpikir lebih dalam lagi. “Atau mungkin Grace..” Ethan berdecak pelan. “Aku sudah memberitahu ibumu tentang keadaanmu.” Ethan menyipitkan mata. “Kau memang selalu memberitahukan keadaanku pada keluargaku.” Eric
“Ethan aku membawa brownis kesukaan kamu.” Grace mengangkat paper bagnya. “Dari siapa aku suka brownis?” tanya Ethan. “Dari aunty.” Grace tersenyum. Ethan tersenyum miring. “Mama tidak tahu apa yang aku suka dan tidak aku suka. Jangan memberitahu orang sembarangan.” Margaret menatap Grace. “Aunty tinggal dulu. Kalian bicaralah berdua.” Grace yang kebingungan. Apakah brownis yang dibawanya kesukaan Ethan atau tidak. “Jadi kau tidak suka dengan brownis?” tanya Grace. “Buang saja.” Ethan meliriknya sekilas. Kemudian berjalan melewati Grace begitu saja. Ethan pergi ke dapur untuk mengambil air putih. “Tapi sayang….aku mengantri untuk mendapatkannya.” Grace mengerucutkan bibirnya mengikuti ke manapun Ethan pergi. “Memangnya kenapa kalau antri? Semua orang antri untuk mendapatkan makanan,” balas Ethan kelewat tajam. Setajam silet yang bisa membelah bumi. Ethan memang tidak peduli perkataannya menyakiti lawannya atau tidak. Kalau ia tidak suka ya tidak suka. “Baikl
Brukk! Suara benda terjatuh membuat Ethand an Grace menoleh. Sial! Aluna malah menjatuhkan barang disaat suasaan benar-benar tegang. Padahal rencananya adalah kabur dulu sebelum Grace melihatnya. Tapi sekarang mereka berdua telah melihatnya. “Aluna apa yang kau lakukan di sini?” tanya Grace mendekat. Ia menunduk—hanya melihat beberapa berkas yang dijatuhkan oleh Aluna di lantai. “Kau ingin Ethan melihat berkas-berkas ini?” tanya Grace. Aluna berlutut mengambil berkas. Ia mendongak sebentar. “I-iya..” Grace berkacak pinggang. “Aluna kau tidak mengerti?” Aluna berdiri dengan tangan yang penuh dengan berkas. “Huh?” “Ethan sedang sakit. Tidak seharusnya kau mengganggunya. Kau pegawainya dan seharusnya kau menghandle pekerjaan Ethan lebih dulu.” Grace berkacak pinggang. “Aluna jangan menyusahkan Ethan dengan membawa berkas-berkas itu.” menunjuk berkas yang Aluna pegang. “Oh… iya aku mengerti..” Aluna tersenyum. “Kalau begitu aku akan pergi.” A
“Cepat ke sini!” ucapan Ethan beberapa menit yang lalu. Tidak sampai 10 menit. Aluna kembali menginjakkan kaki di rumah Ethan. Ketika ia baru saja melewati pintu, tubuhnya lebih dulu dipeluk dengan tiba-tiba. “Kenapa..” lirih Aluna. Ethan hanya diam sembari menaruh kepalanya di ceruk leher Aluna. “Aku merindukanmu.” Aluna ingin tertawa. Namun ia berusaha menahannya. “Sungguh?” Ethan mengangguk. “Tapi kita masih bertemu beberapa jam yang lalu. Sungguh kamu merindukanku bukan hanya rayuan belaka?” Ethan melepaskan pelukannya. “Memangnya aku apa? Aku bukan pria perayu asal kau tahu.” Ethan berjalan memunggungi Aluna. Pria itu berjalan meninggalkan Aluna begitu saja. “Dia mau ke mana?” lirih Aluna dengan bingung. “Kenapa kau diam saja?” “Ya?” “Ikut denganku.” Aluna mengikuti Ethan berjalan dari belakang. Pria itu dari belakang saja tampan. Oh tidak, Ethan memang tampan dari dulu. Pantas saja selalu dikejar-kejar wanita. Ethan berhenti di depan seb
Aluna tidak tahu seberapa penting acara ulang tahun perusahaan. Tapi, katanya tim dari Peter, ayah Ethan benar-benar mempersiapkan acara dengan sekuat tenaga. Ada yang bilang acara ini sebagai ajang membuka relasi dari berbagai perwakilan perusahaan yang datang. Aluna berada di sebuah mall. Bersama Grace! Perempuan itu memaksanya untuk menemani memilih pakaian. “Aku lelah,” lirih Aluna. Di tangannya terdapat dua paper bag dari merek terkenal yang memiliki harga fantastis. Anggap saja Aluna sekarang menjadi pembantu Grace. Lihat saja, Aluna membawa barang-barang Grace seperti seorang pembantu yang membawa barang majikannya. Entah sudah berapa banyak store yang mereka kunjungi hanya untuk mencoba pakaian. “Aluna, lihat apa ini bagus?” tanya Grace keluar dari ruang ganti. Aluna mengangguk. “Kau bagus menggunakan apapun Grace. Karena tubuhmu memang benar-benar bagus.” Pujian yang diselingi lelah. Aluna duduk di sofa, Ada dua pegawai di sana yang melayani Grace s
Aluna begitu lelah sampai di Apartemen. Ia melihat tangannya yang memerah karena terlalu lama membawa belanjaan Grace. Sampai-sampai tali dari paper bag itu seperti cap di tangannya. Aluna membuka paper bag pemberian Grace. Warnanya hitam. Cantik dan sedikit memberikan kesan seksi.“Aku tidak bisa menggunakannya,” Aluna melempar dress itu di atas kasur. “Dari mana saja?” suara seseorang yang membuat Aluna hampir berteriak. Ethan berdiri di ujung pintu kamarnya yang terbuka. “Jangan mengagetkanku!” Aluna memegang dadanya. “Kau belum menjawab pertanyaanku!” Ethan memasukkan tangan di dalam saku. Pria itu mendekat. Sepertinya dari kantor langsung ke sini, bisa dilihat dari pakaian pria itu yang masih lengkap menggunakan kemeja dan jas. Ethan mendekat. Bukannya langsung menghampiri Aluna. Ethan malah duduk di sofa. menyulut rokoknya santai. “Katakan padaku dari mana saja kau? Ponselmu juga mati.” Ethan menghembuskan asap rokoknya ke atas. Aluna berdiam diri di tempatnya. Aur
“Tidak..” Ethan mengusap dahi Aluna yang berkeringat. “Kau harus dihukum agar mengerti posisimu.” Ethan menarik lepas kemeja yang digunakan Aluna. Bahkan tidak segan untuk merobek kemeja yang berwarna biru laut itu. Baru saja Aluna ingin protes, Ethan lebih dulu membungkam bibirnya dengan ciuman. Jemari Ethan masuk ke meremas dada Alunan dengan kasar. Tidak peduli meski akan menimbulkan jejak. “Ethan please..” lirih Aluna yang memohon akibat remasan kasar di dadanya. “No Aluna kau sedang dihukum.” Ethan menunduk—mencium puncak dada Aluna sebelum melumatnya. Lumatan kasar yang membawa perih sekaligus nikmat bagi Aluna. Aluna tidak berhenti menjerit karena ulah Ethan yang mengigit dadanya. “Lebih keras sayang.” Ethan tersenyum miring. “Supaya terdengar orang lain…” Aluna menepuk pelan bibirnya sendiri. “Ethan ayo bermain lembut saja ya..” Aluna mengalunkan tangannya di leher Ethan. Ethan tidak menjawab. Namun bibirnya melakukan tugas. Masih sama! Menyentuh