“Kamu tunggu di sini. Biar aku yang periksa.” Aku meninggalkan Jenar di tempat duduknya, lalu berjalan mendekati jendela. Tidak ada siapa-siapa di luar.Aku membuka pintu dan mencari sumber bunyi tersebut. Ternyata ada sebuah batu bata di dekat pagar, dan ada bekas benturan di salah satu besi pagar. Siapa yang melakukan ini? Belum pernah ada orang yang mengganggu di lingkungan ini sebelumnya.Aku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya, lalu memastikan semua tirai tertutup dengan rapat. Jenar keluar dari kamar anak-anak. Mungkin dia memeriksa apa mereka terbangun karena bunyi tadi. Dia menggandeng tanganku, mengajak aku ke kamarnya.Dia tidak yakin Dina sudah pergi untuk selamanya, jadi dia tidak mau tidur di kamar utama. Aku tidak bisa memaksa, karena memang masih ada barang-barang wanita itu di dalam lemari dan laci bufet. Lagi pula, apa yang kami lakukan hanya bisa diselesaikan di kamarnya yang kedap suara.“Ini sarapan dan bekalmu,” kata Jenar sambil memberikan aku sebuah tas b
~Jenar~Aku tidak bisa mengatakan betapa bahagianya aku bisa berada di rumahku sendiri. Perempuan itu sudah pergi, jadi aku bisa tenang bertiga saja dengan anak-anak. Jeff sedang pergi keluar kota, tetapi kami tidak perlu merepotkan Moira lagi.Memasak sarapan pesanan orang, menyiapkan bekal untuk anak-anak bisa aku lakukan dengan santai. Lemari es juga tidak perlu aku kunci, karena tidak akan ada orang yang lancang mengambil makanan yang ada di dalamnya hanya untuk dibuang.“Beberapa orang dari rekaman itu sudah bisa diidentifikasi. Pelakunya berasal dari kelompok yang sama. Bisa jadi, sisa pelakunya akan kamu temukan ketika mereka berkumpul,” kata Moira sambil memberikan sebuah amplop kepadaku.Setelah mengantar anak-anak ke kelas mereka, Moira mengajak aku masuk ke mobilnya. Ternyata dia sudah punya informasi mengenai para pelaku kurang ajar itu. Aku tidak mau melibatkan Bian dalam hal ini, karena aku sangat yakin, akulah penyebab tokonya diserang orang.“Lebih baik aku menunggu sa
Walaupun aku percaya kepada Moira, aku belum siap untuk menceritakan masa laluku kepadanya. Jeff saja belum tahu. Aku terpaksa memberi tahu Franky, karena dia berperan sebagai pengacaraku saat menemui Wahyo. Mengingatnya saja sudah membuat aku takut, apalagi membahasnya.“Maafkan aku. Kalau kamu belum siap untuk menceritakannya, tidak apa-apa. Cukup katakan satu hal saja. Apa dia orang jahat?” tanya Moira, setengah berbisik.Aku segera menganggukkan kepalaku. “Ada hal penting yang perlu aku bicarakan denganmu. Dina kelihatannya akrab dengan pria itu. Suamiku dan anak-anak juga mengenalnya. Apa kamu bisa menyelidiki ada hubungan apa di antara mereka berdua?”“Oh, ya? Aneh. Mengapa teman-temanku maupun Bian tidak mendapati dia pernah bertemu dengan pria itu? Siapa tadi namanya? Ah, iya. Wahyo.” Dia mengeluarkan ponselnya, lalu mengetik sesuatu dengan cepat. “Kita tunggu saja kabar dari temanku.”“Terima kasih, Moira. Lalu mengenai hal penting malam ini,” kataku, mengingatkan.“Tenang sa
Sikap tenang Franky membuat aku semakin gugup. Apa semua pengacara senekat dia? Semua yang dia ketahui mengenai hukum tidak akan ada gunanya kalau dia mati konyol. Oh, Tuhan. Aku bisa masuk penjara lagi jika dia sampai mati di rumah ini, dan aku yang sedang bersamanya.“Franky, sebaiknya aku—” kataku, berusaha untuk melerai mereka. Sebelum Wahyo gelap mata, aku harus bisa menghindari pertumpahan darah.“Ibu jangan khawatir.” Franky meletakkan tangannya di atas tanganku. Wahyo mengikuti gerakan tangannya itu. “Tugas polisi adalah melindungi dan mengayomi masyarakat. Bukan begitu, Pak Wahyo Sudrajat? Mereka membawa senjata tidak untuk menembak orang sembarangan.”“Siapa yang bisa membuktikan bahwa aku tidak menembak penjahat?” tantangnya.“Bapak bisa melihat ponsel yang ada di atas meja sana,” kata Franky sambil melirik ke arah ponsel dengan dudukannya di meja tengah ruangan, bukan di depan kami. “Kameranya sedang merekam kita. Kalau Anda nekat, maka teman saya yang sedang menyaksikan k
Tinggi mereka di bawah rata-rata. Hanya ada dua orang yang sedikit lebih tinggi dariku. Mereka juga tidak punya badan yang atletis. Baguslah. Mereka hanya pria muda lemah yang hanya berani saat bergerombol. Walaupun aku tidak boleh meremehkan mereka, penampilan tidak bisa menipu.“Mengapa kalian menghancurkan toko roti itu?” tanyaku pelan.“Toko roti?” Mereka saling bertukar pandang.“Ah, pasti maksudnya toko si pembunuh itu,” kata salah satu pria yang berdiri di depanku. Mereka tertawa, entah apa yang lucu. Aku mengepalkan tangan, menahan emosiku.“Tidak ada pembunuh yang bisa mencari uang di tempat ini. Kami bertugas menjaga lingkungan ini supaya tidak ada nyawa yang melayang,” kata teman di sebelahnya.“Siapa yang menyuruh kalian melakukan itu?” tanyaku lagi.“Kami yang memegang kekuasaan di sini. Tidak ada seorang pun yang bisa mengatur kami,” kata pria yang pertama bicara tadi. “Siapa kamu? Ada urusan apa dengan pembunuh itu? Kamu temannya?”“Kalian pikir seorang pembunuh tidak p
Jeff menjemput kami dari rumah Moira. Walaupun dia bicara dengan sopan kepada sahabatku itu, aku bisa melihat dia sedang marah. Mungkin ini yang dimaksud Dina dengan rencananya yang tidak gagal. Dia bahkan menggenggam erat setir mobil saat mengemudi ke rumah.Aku tidak pernah melihat Jeff marah, juga tidak mau menyaksikannya. Orang yang emosinya tidak bisa dibaca seperti dia, biasanya sangat menyeramkan ketika marah. Jadi, aku tidak bertanya juga tidak mengajak dia bicara.“Mama,” panggil Jax saat aku membantu adiknya menaiki tempat tidur. Aku duduk di tepi ranjang itu dan menoleh ke arahnya. “Apa Mama dan Papa tidak akan bersama lagi?”Aku tertegun sejenak mendengar kalimat itu. “Mengapa kamu bilang begitu, sayang?”“Tante Dina sudah kembali. Apa Papa baikan lagi dengannya?” tanyanya sedih.“Siapa yang mengajari kamu memanggilnya begitu?” tanyaku khawatir. Aku tidak peduli dengan Dina, tetapi kalau sampai Ibu tahu, Jax bisa ada dalam masalah.“Ardi. Katanya, hanya ada satu mama. Yang
Pada sore harinya, Dina mengajak aku untuk makan malam dengannya dan Jeff. Lauren mengajak mereka untuk kencan ganda. Namun Dina merasa tidak enak membiarkan aku terus menjaga anak-anak di rumah. Tentu saja aku menerima ajakan tersebut. Moira segera mengerti ketika kami mengantar Jax dan Remy untuk bermain di rumahnya. Anak-anak sudah tidur siang karena kelelahan berenang. Jadi, energi mereka sudah penuh lagi untuk bermain dengan temannya. Kebetulan ayah Ardi sedang ada urusan dan tidak menjemput putranya itu. “Sepertinya Lauren belum datang, sayang,” kata Dina yang melihat ke sekeliling restoran. “Mungkin mereka terlambat. Ayo, kita cari tempat.” Pelayan mengantar kami ke meja dengan empat kursi. Aku langsung tahu bahwa ada yang tidak beres. Namun aku bersikap biasa dengan membaca buku menu, lalu menyebutkan pesananku. Jeff dan Dina juga melakukan hal yang sama. Aku tidak heran ketika Dina memesan menu yang sama dengan Jeff. Dia bertingkah persis seperti pada hari pertama aku kelu
~Jeffrey~ Hanya Jenar yang tahu alasan aku tidak pernah mengunjungi dia di penjara. Namun bertahun-tahun tidak bertemu, aku mengerti dia tidak mengenal aku dengan baik lagi. Aku juga mulai meragukan apa yang kami sepakati ketika dia harus masuk penjara. Apakah kami masih di jalan yang sama atau sudah berbeda? Aku tidak suka bertengkar dengannya atau meninggikan suara ketika bicara dengannya. Tetapi dia meminta aku untuk melakukan hal itu. Entah rencana apa lagi yang dia siapkan. Dia belum mau kami berterus terang kepada semua orang. Padahal aku tidak peduli dengan risikonya dan berharap kami bisa bersama tanpa bersembunyi lagi dari pandangan orang lain, termasuk keluargaku. “Jenar sepertinya gugup,” ucap Dina sambil tertawa geli. Dia berbohong lagi. Katanya, Lauren dan suaminya mengajak kami kencan ganda. Mereka malah batal datang dan pria sahabatnya ini yang duduk, bergabung bersama kami. “Apa aku bilang? Dia pasti menyukai kamu, Wahyo.” Kelihatan sekali ini bukan pertemuan yang t