“Dimana semua pakaianku?” aku bertanya kepada diriku sendiri.
“Di ruang tengah,” sahut seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Tidak mungkin! Hugo?
Aku panik dan menutupi tubuhku dengan selimut. Hugo keluar dari kamar mandi dengan telanjang dada dan hanya mengenakan celana tidur.
Apa yang terjadi semalam?
“Hugo?”
“Pakaianmu ada di ruang tengah. Aku tidak sempat membawanya kesini tadi malam,” jawabnya. Mataku masih membelalak tak percaya.
“Apa yang terjadi?” aku bertanya setengah depresi.
“Ayolah Emily, ini bukan pertama kalinya kita bercinta,” kata Hugo dengan tenang.
“Ini yang pertama kalinya aku tahu siapa lawan mainku.” Aku membalas sambil sibuk melilitkan selimut ke badanku sebelum menuju ruang tengah.
“Kau tau aku tidak bercinta dengan sembarang pria,” kataku lagi.
Pagi itu aku cukup kacau dan malu pada diriku sendiri. Tapi aku melampiaskannya kepada Hugo. Dan anehnya aku merasa lebih baik.
Well, sebenarnya aku tidak terlalu menyesal menghabiskan malam dengan Hugo. Aku hanya berharap bisa melakukannya dalam keadaan sadar. Aku salah tingkah dan ini bahaya.
“Kau tidak bercinta dengan sembarang orang tapi memberikan keperawananmu di restaurant erotik?” sindir Hugo.
Aku tergagap. Aku mencoba mencari alasan sambil beranjak dari tempat tidur.
“Itu karena ada alasan khusus. Kau tau? Ulang tahunku,” jawabku cepat.
Kemudian aku setengah berlari menuju ruang tengah mencari bajuku.
Aku menemukan bajuku, tapi astaga…
“Oh maaf, aku merobeknya semalam,” kata Hugo dari belakang. Aku tidak mendengar sama sekali rasa bersalah dari ucapannya.
“Sempurna. Hugo, aku tidak tahu apa masalahmu. Kenapa kau selalu merobek bajuku,” kataku kesal.
“Kau yang minta, Em. Kau bilang sudah tidak tahan dan i-”
“Stop!” Lidahku tiba-tiba kelu. Hugo pasti bisa melihat rona merah di wajahku. Aku berusaha tidak menatap matanya.
Aku mengatupkan kedua bibirku. Dasar wanita murahan! Batinku dalam hati.
Hugo masih berdiri menghadapku. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu.
“Baiklah. Aku akan menceritakan detilnya nanti. Atau tidak perlu?” tanya Hugo dengan santai.
“Tidak, tidak perlu. Itu tidak akan terjadi lagi. Aku memang minum terlalu banyak semalam,” sahutku sambil mengambil pakaian dalamku yang tercecer.
“Kau pasti lapar,” kata Hugo. Aku meliriknya. Sialan! Dia menahan tawa.
“Tidak, sungguh aku baik-baik saja,” jawabku. Tanganku masih sibuk merapikan barang-barangku.
“Tapi chef kita sudah datang,” balas Hugo. Aku berdiri seketika. Tanganku memegang pakaian dalam dan bajuku yang sobek.
“Apa maksudmu chef kita? Chef siapa yang datang?” tanyaku.
Tiba-tiba suara bel pintu berbunyi. Jantungku berdegup kencang. Astaga! Aku masih telanjang.
“Itu Felix dan chef kita,” kata Hugo dengan tenang. Dia mendekat kepadaku.
“Temukan sesuatu di ruang pakaianku. Tapi aku tidak keberatan jika kau lebih nyaman seperti ini,” lanjut Hugo menggodaku.
Aku tidak bisa menutupi rasa panik dan kesalku. Hugo tampak menikmati itu semua. Dia menepuk bokongku sambil terkekeh dan menuju ke pintu depan.
Sial! Aku berlari menuju ruangan Hugo menyimpan koleksi pakaiannya. Sekilas terdengar suara Hugo berbincang dan tertawa bersama Felix dan beberapa orang.
Mataku mencari-cari baju apa yang cocok untuk kukenakan. Bingo! Kemeja putih adalah pilihan paling aman. Kemudian aku merapikan rambut dan wajahku di kamar mandi dengan cepat.
“Emily kemarilah,” teriak Hugo. Apa dia lupa aku bukan lagi personal asistennya?
Aku berjalan setengah gugup menemui Felix dan entah siapa teman Hugo yang barusan datang.
Dan saat aku melihat orang yang Hugo maksud dengan “chef kita”, aku benar-benar tidak menyangka bahwa dia adalah seorang Michelin Stars Chef, Master Chef David Kinch!
Holy Shit!
David mengobrol santai dengan Hugo. Mereka tampak akrab.
“Dave, ini dia Emily Hale,” kata Hugo sambil menarik tangan dan setengah memelukku, saat dia mengenalkanku kepada Chef David.
“Cantik sekali. Berlian milik Theodore.”
David menghampiriku dan langsung memelukku. Dia juga mengecup manis pipi kanan dan pipi kiriku.
Aku hanya bisa tersenyum dan menyembunyikan rasa gugup.
“Theodore adalah pria yang manis. Kau mirip dengannya. Jadi sekarang aku bekerja untukmu?” tanya David.
“Hi, David. Aku senang bertemu denganmu,” sapaku.
Hugo dengan kasual meletakkan tangannya di pinggangku seolah-olah kami adalah teman akrab. Bukan. Seolah-olah kami adalah sepasang kekasih. Gosh!
“Dave akan memasak spesial menu untuk kita hari ini. Untuk mengenang Theo,” kata Hugo.
“Aku merencanakan ini untukmu,” bisik Hugo kepadaku. Ada bunga merekah di dalam hatiku. Entah kenapa aku senang dengan sikap manis Hugo yang langka ini.
Hugo mengajakku duduk di kursi tinggi meja dapur utama sambil melihat David dan asistennya bersiap memasak. Ini adalah live cooking terbaik dalam hidupku!
Felix membawakan wine dan aku mendengar percakapan mereka tentang keakraban hubungan yang mereka miliki bersama Theo.
“Kau tahu Emily? Teman dekat Theo banyak mendengar tentangmu. Kami bahkan menyebutmu Berlian Milik Theodore,” kata David sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan malu-malu.
“Hugo, kau masih ingat senator bajingan si Andrew yang hampir dibunuh Theo di restaurant Are You Hungry Baby?’, bukan?” kata David.
Mendengar nama Andrew disebut, aku jadi ingat kembali kelakuanku tadi malam yang berakhir dengan kegaduhan di kamar Hugo.
“Ya aku masih ingat. Aku berhasil menghentikannya,” kata Hugo.
“Andrew mantanku?” tanya ku kepada David dan Hugo.
“Ya! Dia adalah pelanggan di ‘Are You Hungry Baby?’. Dan Theo sangat kesal hingga ingin membunuhnya!” ujar David bercerita.
Hugo mulai melihat ekspresi wajahku yang berubah. Dia mengalihkan topik pembicaraan.
Saat itu aku semakin yakin alasan Theo memintaku putus dari Andrew tahun lalu.
“Mari bersulang untuk Theodore,” kata Hugo. Aku tahu dia mencoba mengalihkan perhatianku.
Kemudian kami bertiga menyantap brunch istimewa buatan Chef David. Sepanjang acara Hugo mencurahkan banyak perhatian untukku dan tersenyum lebih sering.
Sulit bagiku untuk tidak mengira Hugo menginginkan sesuatu dariku. Karena itu alasan yang masuk akal. Dia tidak mungkin jatuh cinta kepadaku, bukan?
“Oh aku lupa waktu lagi, waktunya aku pulang,” ucap Chef David.
“Tentu. Terima kasih banyak Dave,”
“Emily aku akan memasak lagi untukmu, okay? Semoga kau betah tinggal disini,” kata David sambil beranjak dari kursi.
“Terima kasih Chef David, tapi aku-”
“Dia lebih menyukai masakanku, benar begitu Emily?” sahut Hugo memotong perkataanku. David tertawa.
Aku melirik ke arah Hugo. Tadinya aku berkata bahwa aku tidak tinggal di rumah Hugo.
“Aku sungguh-sungguh Dave, aku sangat menikmatinya. Terima kasih,” kataku. David memelukku dengan hangat.
Hugo mengantar David keluar dari apartemennya. Sekilas aku mendengar mereka berbicara.
“Apa dia sudah tahu tentang Emily?” tanya David.
“Kuharap belum,” jawab Hugo singkat.
“Oh, hidup ini kejam bukan? Oke. Bye, Man.”
David sudah pergi. Hugo kembali masuk ke ruang utama. Aku memikirkan percakapan mereka tadi.
Dia siapa? Siapa yang dimaksud Dave?
“Emily, waktunya shopping,” kata Hugo. Aku masih terdiam. Siapakah “dia” yang mereka maksud tadi. Aku tidak mungkin bertanya kepada David, dan akan berbahaya jika aku langsung bertanya kepada Hugo. “Shopping?” tanyaku. Hugo menganggukkan kepala. Dia berjalan ke arahku. Gerak bola matanya melihatku dari ujung rambut ke ujung kakiku. “Kau terlihat sexy. Tapi kau perlu baju baru,” kata Hugo. “Tidak, terima kasih. Aku tidak terlalu suka belanja,” balasku.“Emily, jika kau terus berpakaian seperti itu aku tidak bisa menahan diriku untuk-” “Oke. Ayo shopping!” sahutku cepat. Aku seperti berada di kandang predator. Mata Hugo seperti memiliki kekuatan super tembus pandang dan dia baru saja menelanjangiku.Aku mendengar Hugo berpura-pura mendesah kecewa. Wajahnya menahan senyum yang menggelikan. Dia sangat menikmatinya ketika menggodaku. Aku berlari ke kamar dan mengambil tasku dan segera kembali ke ruang depan. Hugo sudah siap dengan wajah tampannya.“Hugo, kau tahu aku bukan pelacurmu
“Emily, lihat aku. Lihat aku,” Hugo memegang pipiku berusaha menyadarkanku.“Semua akan baik-baik saja. Kau akan kembali ke apartemenku,” kata Hugo. Dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Mataku terbuka lebar. Pelukan Hugo tidak mampu menghangatkan tubuhku kaku. Sekilas aku teringat pesan Anthony. Aku benci berada dalam pusaran cinta dan benci ini!“Hugo, apa kau ada hubungannya dengan ini semua?” tanyaku dengan serius. “Kau bercanda?” balasnya. Kami saling memandang dengan tajam layaknya musuh.“Kau boleh berpikir apapun, tapi aku tidak ada kaitannya dengan ini,” kata Hugo lagi. Aku tidak menjawab. Tiba-tiba seseorang masuk.“Miss. 512?” tanyanya. Aku terkejut dan menatap laki-laki itu. “Aku tetangga apartemenmu. Ada kerusuhan tadi sore. Seorang laki-laki datang merusak kamarmu mengira kau adalah penghuni lama. Entah apa yang dia cari tapi dia menggila,” katanya. “Seorang laki-laki?” Aku tertegun. “Apa ada barangmu yang hilang? Pihak keamanan sudah menghubungimu?” tanyanya la
Aku berpikir sejenak. Mencoba untuk menjadikan penjelasan Hugo masuk akal untuk diterima oleh logikaku.“Aku tetap akan menghubungi Anthony,” balasku. Aku berusaha menyembunyikan kecurigaanku.“Tentu. Sampaikan salamku,” ucap Hugo. “Kau mengenalnya?” tanyaku reflek.“Bagaimana tidak? Dia pengacara Theodore sebelum menjadi pengacaramu,” jawabnya. “Apa kau mengenal baik Anthony?” tanyaku lagi. “Oh, tidak tidak. Jangan lakukan itu kepadaku Yang Mulia Pengacara Sexy…” Hugo mendekatiku dan merengkuh tubuhku. Dia menciumku dengan bibir rasa kopi yang wangi dan lembut. Aku reflek membalas ciumannya. “Kau tidak akan menginterogasiku di pagi yang cerah ini,” bisiknya. Suara seksi Hugo hampir saja membawaku terbang ke dunia fantasi. “Chef, pancake-mu…” kataku mengingatkan Hugo yang langsung beranjak ke kompor listriknya dan membalik pan-nya dengan lincah.Handphone-ku berdering. Kulihat di layar ada panggilan masuk dari Anthony. Kebetulan sekali.“Anthony, Hi. Aku baru saja akan meneleponm
Semua orang mengucapkan selamat atas pertunanganku. Aku sama sekali tidak memperdulikan mereka. Satu hal yang memenuhi pikiranku, Chef paling seksi ini adalah milikku!Aku masih belum bisa beranjak dari rasa bahagia yang meluap sejak minggu lalu. Meskipun di sosial media banyak orang membenciku, tapi aku tidak terlalu memikirkannya.Hari ini aku akan bertemu dengan Anthony. Sungguh ironis. Pada awalnya Anthony menyuruhku untuk berhati-hati kepada Hugo, namun akhirnya aku justru akan menikahinya.“Anthony, apa aku perlu membuat perjanjian pra nikah?” tanyaku.“Tentu saja. Kau memiliki aset dan saham hampir sama besar dengan Hugo. Dan ketika kalian menikah akan ada harta gono gini dari pernikahan kalian,” jawab Anthony dengan tegas.“Aku tahu, aku hanya ingin memastikan.”Akhirnya aku mengetahui rasanya keti
Semua orang mengucapkan selamat atas pertunanganku. Aku sama sekali tidak memperdulikan mereka. Satu hal yang memenuhi pikiranku, Chef paling seksi ini adalah milikku! Aku masih belum bisa beranjak dari rasa bahagia yang meluap sejak minggu lalu. Meskipun di sosial media banyak orang membenciku, tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Hari ini aku akan bertemu dengan Anthony. Sungguh ironis. Pada awalnya Anthony menyuruhku untuk berhati-hati kepada Hugo, namun akhirnya aku justru akan menikahinya. “Anthony, apa aku perlu membuat perjanjian pra nikah?” tanyaku. “Tentu saja. Kau memiliki aset dan saham hampir sama besar dengan Hugo. Dan ketika kalian menikah akan ada harta gono gini dari pernikahan kalian,” jawab Anthony dengan tegas. “Aku tahu, aku hanya ingin memastikan.” Akhirnya aku mengetahui rasanya ketika seseorang kusarankan membuat perjanjian pra-nikah. Kau menyerahkan hidupmu kepada seseorang, tapi tidak boleh mempercayainya. Ini sungguh ironis. “Emily, aku harus menya
Hugo keluar dari kamar mandi dan melihatku mematung di depan meja, melihat ke arah handphone miliknya. “Emily, kau baik-baik saja?” tanyanya. Aku hanya melihatnya. Bibirku diam tak menjawab. Aku bingung bagaimana harus merespon ini semua. Hugo mendatangiku dan mengikuti arah mataku. Dia mengambil handphone nya dan membaca pesan itu. “Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi, Hugo,” kata ku menahan semua kengerian ini. “Apa maksudmu? Jangan lagi, Em. Kau masih berpikir aku menyembunyikan sesuatu di belakangmu?” dia bertanya balik padaku. Aku menatap wajahnya. “Apa maksud pesan itu? Siapa dia? Kenapa dia menyebut nama Theo?” tanyaku bertubi-tubi. “Emily, ada hal yang tidak perlu atau belum perlu kau ketahui saat ini. Aku dan Theo memulai bisnis ini dari sejak lama dan tentu saja kami mengalami banyak hal! Tapi kau tak perlu mengkhawatirkan apapun selama kau disisiku dan percaya kepadaku. Kau mengerti sayang?” kata Hugo mencoba meyakinkanku. Aku benar-benar tidak siap menghada
Aku tidak bisa menundanya lagi. Pencarian barang bukti harus kulakukan sekarang juga. Aku segera menuju ruang kerja Hugo, tempat dimana dia paling sering menghabiskan waktunya.Ruang kerja Hugo cukup luas dengan dominasi warna monokrom. Hugo tidak pernah menyalakan lampu utama dan hanya menggunakan lampu mejanya. Dia senang berada di kegelapan. Aku segera menyalakan lampu utama dan mulai mencari petunjuk disana. Tidak ada foto satupun. Lemari hanya berisi buku-buku koleksi Hugo. Di mejanya juga tidak ada dokumen penting. Aku terus menggeledah. Tiba-tiba terdengar bel pintu berbunyi. Aku merasa was-was namun kemudian cukup lega ketika mengetahui bahwa orang yang datang adalah Matilda, pembantu Hugo. “Kau terlihat pucat Miss Emily,” katanya menyapaku. “Aku kurang tidur Matilda. Maaf rumah berantakan,” jawabku. Kemudian aku kembali ke ruang kerja Hugo. Matilda tampak bingung dengan sikapku tapi seperti biasa dia tidak terlalu suka ikut campur. Aku mencari-cari tombol rahasia di mej
Aku masih ingat Matilda menepuk-nepuk pipiku. Setelah itu, aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi. Kemudian aku terbangun dengan kepala yang masih terasa pusing. Mataku mengerjap beberapa kali saat aku mencoba mengumpulkan nyawa.Suara seseorang terdengar memanggil namaku. Mataku menangkap sosok seorang laki-laki namun penglihatanku masih kabur. “Emily? Emily? Kau sudah sadar?” Itu adalah suara Hugo. Penglihatanku berangsur membaik tapi tidak dengan perasaanku. Orang yang paling tidak ingin aku temui saat itu adalah Hugo. Apapun keadaanku, aku harus segera pergi dari dunia Hugo. Namun justru dia yang ada disampingku saat aku terbangun. “Apa yang terjadi?” tanyaku dengan suara lirih. Hugo hanya tersenyum dan mengelus rambutku. Beberapa saat kemudian aku menyadari bahwa aku berada di rumah sakit. Dokter datang dan mengecek pupil mataku. Aku menganggukkan kepala beberapa kali untuk merespon kata-kata dokter. “Emily, kau sudah merasa lebih baik?” tanya Hugo. Aku menatap Hugo tanpa b