“Yang penting kamu tidak perlu berpikir macam-macam,” sahut Siska seraya menaruh kentang goreng yang dibeli Pasha ke piring. “Aku sama Roni kan sudah jalan sendiri-sendiri, kami masih terhubung karena ada anak-anak di antara kami.”Pasha menyandarkan punggungnya ke kursi.“Iya, aku paham kok.” Dia menganggukkan kepalanya. “Aku yakin kamu juga paham situasi kamu. Tapi kalau Roni mau mengambil kamu kembali, dia harus melangkahi mayatku dulu ...”“Pasha!” tegur Siska keras seraya memandang suaminya dengan tatapan kurang suka. “Bisa tidak kamu bercandanya jangan kelewatan?”“Astaga Sis, aku cuma bercanda.” Pasha jadi terkaget-kaget. “Sumpah, aku tidak bermaksud apa-apa.”Siska sedikit cemberut, tapi dia tetap menyodorkan sepiring kentang goreng itu untuk pasha sampai selesai.“Marahnya jangan lama-lama,” goda Pasha sambil mencomot kentang yang dia beli. “Bercanda kamu kali ini sama sekali tidak lucu,” komentar Siska ketus. “Buat apa bawa-bawa mayat segala? Aku merinding, tahu.”“Oke, oke
“Iya, kelihatannya dia lelah sekali.” Pasha sependapat seraya duduk di samping Siska.Tidak berapa lama kemudian, Aruna berlari ke arah mereka dengan hanya melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya saja sementara Ririn terlihat kerepotan mengejarnya.“Ibu! Ayah Pasha!” serunya sambil mengusap-usap wajahnya yang basah.“Run, apa-apaan ini? Ayo, pakai baju dulu.” Siska menyuruh.“Bajunya dibawa Tante Ririn semua,” jawab Aruna beralasan. Siska menoleh saat Ririn tiba sambil membawa setumpuk pakaian bersih yang sudah dia siapkan.“Biar aku saja yang urus Runa,” ujar Siska. “Kamu dan Roni kelihatan capek sekali.”“Jelas saja, banyak gerak dia.” Ririn mengangguk angkuh seraya mengulurkan beberapa potong pakaian milik Aruna. Setelah itu dia kembali lagi ke belakang untuk menyuruh pelayan menyiapkan minum.Siska menarik Aruna lebih dekat dan mulai mengeringkan tubuh serta rambut anaknya dengan handuk. Setelah itu dia membantu memakaikan baju hingga menutup tubuh anaknya yang terlihat segar
“Syukurlah,” gumam Pasha, dia cepat-cepat membereskan amplop itu dan menyimpannya di tempat yang aman agar tidak ditemukan Siska. Setelah itu dia berlalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya yang sudah lengket.Cilla baru saja menutup bukunya ketika Siska duduk di sampingnya.“Om Andra mana, Bu?” tanya Cilla ingin tahu.“Ayah kamu baru pulang kerja,” jawab Siska yang berusaha membiaskan cilla supaya mau memanggil Pasha dengan sebutan ayah. “Kita makan dulu, yuk?”“Om Pasha masih lama?” tanya Saga seraya mengikuti ibunya berjalan ke dapur.“Masih mandi sepertinya,” jawab Siska. “Kalian makan duluan saja, setelah itu tidur. Besok kan kalian harus sekolah.”Saga mengangguk patuh dan segera duduk di kursi sementara Siska mengambil nasi dan lauk untuk mereka.Setelah menemani anak-anak makan malam, Siska membereskan piring yang sudah kotor dan membawanya ke bak cuci. Dibiarkannya Aruna menggosok gigi dan memakai piyama tidurnya sendiri, sampai dia menyusulnya dan meliha
“Jangan lupa susunya diminum.” Pasha juga ikut mengingatkan anak sambungnya. “Masa anak ayah lemas begini, sih? Ayo semangat!”“Wah, roti panggang!” sela Cilla sambil mencomot bagian-bagiannya. “Om, ayo balapan makan sama aku?”Pasha melirik Cilla yang sudah mengenakan seragam sekolah lengkap.“Balapan apa? Om baru saja selesai makan,” sahutnya enteng.“Om Pasha curang!” seru Cilla dengan pipi menggembung. “Harusnya kan Om menunggu aku sadar dulu.”Siska menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis, diulurkannya segelas susu cokelat kepada Saga yang masih mengunyah makanannya.“Om bisa kalah kalau menunggu kamu,” sahut Pasha sambil tertawa kecil, ditunjukkannya arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Om tunggu kalian di mobil.”Aruna buru-buru meminum susunya saat melihat ayah sambungnya berdiri dan berjalan pergi meninggalkan dapur.“Pelan-pelan, Run. Ayah kan sudah bilang kalau mau menunggu kamu,” tegur Siska. “Nanti kamu bisa tersedak kalau minumnya cepat-cepat seperti i
“Run, kamu ... benar sekali!” Siska tidak dapat menemukan kalimat yang pas untuk menjawab komentar Aruna yang kadang membuatnya ingin mencubitnya karena gemas.Sementara itu Pasha hanya tertawa kecil menyaksikan tingkah Aruna yang menggemaskan. Dia segera menginjak pedal gas dan membelokkan setirnya untuk mengantar putri sambungnya lebih dulu ke sekolah, setelah itu dia langsung mengarahkan mobilnya ke kantor.“Akhir pekan ini kamu istirahat saja seharian di rumah,” saran Siska dengan pandangan yag terarah lurus ke depan.“Aku tidak bisa, Sis. Aku sudah janji sama Runa kalau kita mau pergi liburan akhir pekan ini,” sahut Pasha seraya fokus mengemudi.“Kamu jangan sering-sering memanjakan Runa,” ujar Siska sedikit keberatan. “Nanti dia jadi banyak menuntut.”“Sekali-kali tidak apa-apa, kamu kan tahu sejak bercerai, Runa dan anak-anak kamu sempat kehilangan figur seorang ayah.” Pasha menyahut. “Jadi biarkan aku memberikan sedikit perhatian kepada anak-anak sambungku.”Siska menarik napa
“Kamu ini sering sekali mengingatkan aku soal jangan sampai capek, istirahat yang cukup, dan selalu minum vitamin. Sekarang kamu sendiri yang kecapekan,” ujar Pasha dengan wajah prihatin. “Aku bikinkan kamu teh hangat ya, sebentar.”Siska tidak menjawab dan membiarkan Pasha keluar dari kamarnya, dia berbaring miring dan memegang kepalanya. Pandangannya masih terhalang dengan bintang-bintang kecil yang masih menari-nari dalam penglihatannya.Tidak berapa lama kemudian Pasha kembali sambil membawa secangkir teh hangat dan beberapa tablet penambah darah.“Kamu minum dulu,” suruh Pasha sambil duduk di tepi tempat tidur mereka. Siska bangun dengan hati-hati kemudian menyandarkan tubuhnya pada bantal yang sudah dia tumpuk.“Masih pusing?” tanya Pasha sambil mengulurkan tehnya.Siska menggeleng kemudian meneguk sedikit teh hangat buatan Pasha, setelah itu dia meminum tablet penambah darah yang sudah disiapkan suaminya.“Kamu tidur saja sekarang,” suruh Pasha. “Besok kalau kamu belum enakan,
Jujur, ada hawa yang membuat Siska merasa sangat tidak nyaman ketika dia melangkah memasuki ruangan.“Halo, istri aku?” Sebuah suara menyambut kedatangan Siska, membuatnya mendongakkan pandangan dan melihat Pasha sedang bersandar di pembaringannya.Siska berjalan cepat mendatanginya tanpa pikir panjang lagi.“Kenapa?” tuntut Siska dengan mata yang sudah berembun. “Kenapa kamu tidak mau bilang apa yang sebenarnya terjadi?”Pasha tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Siska yang berdiri mematung di dekat pembaringannya.“Kemarilah,” pinta Pasha lembut.Siska menggelengkan kepalanya sementara air matanya mulai menitik satu per satu.“Sis, cuma keberadaan kamu di samping aku yang sanggup bikin aku bertahan sampai sejauh ini.” pasha6 melanjutkan. “Aku butuh kamu.”Pasha menganggukkan kepalanya dengan tangan masih terangkat, membuat Siska akhirnya merasa tidak tega jika terus menolaknya. Dia segera menghambur dan merangkul Pasha sambil terisak.“Kamu ... selama ini kamu ... sudah bo
“Memang,” timpal Pasha. “Aku tidak mau diperlakukan seperti orang sakit, justru aku lebih suka kalau kamu dan keluargaku nantinya menganggap bahwa tidak ada yang terjadi sama aku sedikitpun.”Siska menarik napas setelah mengirimkan pesannya dengan sukses, setelah itu dia keluar untuk menemui Saga."Om Pasha sakit apa, Bu?” tanya Saga sambil berdiri begitu ibunya muncul."Om Pasha kecapekan,” jawab Siska. "Kamu kan belum boleh pegang mobil, kamu pulang pakai taksi atau ojol saja ya? Ini uangnya.”Setelah Saga menerima uang itu, Siska bergegas masuk lagi ke ruangan Pasha.“Aku ... aku tidak tahu harus ngomong apa,” katanya dengan wajah yang berselimut mendung tebal. “Tapi malam ini aku akan bersikap bahwa ... tidak terjadi apa-apa sama kamu, dan kita akan melewati malam ini apa adanya seperti biasa.”Seulas senyum terukir di wajah Pasha yang tegas.“Aku senang kamu mau mengerti apa yang sedang aku rasakan,” katanya dengan nada ringan. “Mau seperti apa pun ganasnya penyakit ini, aku ingin